• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Firdaus dan Perlawanannya pada Budaya Patriarki

Pada akhirnya pengekangan ini menemukan celahnya sendiri. Dari pembatasan yang ada, akhirnya muncul suara lantang walaupun hanya suara “tidak”.

Dimas Candra Dimas Candra
18/12/2023
in Buku
0
Budaya Patriarki

Budaya Patriarki

959
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Firdaus adalah seorang pemberontak. Pemberontak yang berjuang untuk integritasnya, yang memaksa. Melawan suatu sistem yang mengekangnya.

Mubadalah.id – Kisah-kisah mengenai perlawanan perempuan telah banyak terbit di berbagai belahan dunia. Entah dengan gaya penulisan fiksi maupun non-fiksi. Meski dengan kultur dan budaya yang berbeda, semuanya memiliki irisan yang sama: melawan budaya patriarki.

Sebut saja Virgina Woolf dengan karyanya yang berjudul A Room of One’s Own atau Midah Simanis Bergigi Emas milik Pramoedya Ananta Toer. Serta jangan lupakan Woman at Point Zero besutan Nawal El Saadawi yang akan coba saya ulas di tulisan ini.

Malapetaka

Lahir sebagai seorang perempuan adalah sebuah malapetaka, setidaknya begitu yang Firdaus, tokoh utama dalam novel ini, alami. Ia tumbuh dan terjebak dalam lingkungan patriarki yang terkemas dalam ketaatan religius. Perempuan tak lebih dari objek yang hanya perlu melakukan pekerjaan domestik dan tak boleh menuntut.

Segalanya tercermin dari kesehariannya. Bagaimana Firdaus yang harus mencuci kaki laki-laki—baik ayah ataupun suaminya—lebih sering dari pada ia mendapat makan serta pukulan-pukulan yang ia terima dari suaminya—yang juga merupakan seorang alim. Semuanya terlegitimasi dengan dalih kewajiban seorang istri dan hak seorang suami.

Sementara itu, tak ada yang membatasi laki-laki. Mereka memegang penuh kekuasaan, termasuk berkuasa atas perempuan yang mereka “miliki”. Entah miskin atau kaya, berpendidikan tinggi ataupun tidak, semuanya serempak menasbihkan kedudukannya di atas perempuan dan memperbudak mereka dengan cara yang legitimate.

Baca Juga:

Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

Aurat dalam Islam

Dengan cara apa pun perempuan selalu dikekang. Tindakannya, pendidikannya, pikirannya dan keputusannya, semua dibatasi. Perempuan tak memiliki otoritas, bahkan untuk hal-hal dalam ranah privatnya. Perempuan  haram untuk berpikir apalagi mengatakan bahwa ia ingin hidup mandiri.

Namun pada akhirnya pengekangan-pengekangan ini menemukan celahnya sendiri. Dari pembatasan-pembatasan yang ada, akhirnya muncul suara-suara lantang walaupun hanya suara “tidak”.

Mendobrak Dinding Patriarki

Firdaus bisa saja tetap diam, menerima keadaan yang ada dan meromantisasi kisah hidupnya sebagai seorang perempuan dan istri yang taat. Merajakan suaminya dan mengikhlaskan dirinya sebagai budak yang terlegitimasi oleh pernikahan.

Lalu menutup keinginan untuk melanjutkan pendidikan dan melayani nafsu suaminya. Menahan dan menerima pukulan dari suaminya lalu menangis ketika suaminya sedang keluar rumah. Melahirkan anak yang kelak—jika perempuan—akan mendapat perlakuan yang sama seperti dirinya atau melakukan hal yang sama terhadap dirinya jika itu seorang laki-laki.

Namun, Firdaus tak melakukan itu. Ia tak berhenti dan berpasrah dengan keadaan. Ia memilih untuk melawan. Mendobrak dinding-dinding patriarki yang selama ini mengekangnya. Merebut sesuatu yang memang seharusnya ia miliki meski dengan cap sebagai “perempuan kotor”.

Firdaus memilih menjadi seorang pelacur. Sebuah pekerjaan yang hina di mata sebagian masyarakat “bermoral”. Namun, Firdaus tak memedulikannya. “A successful prostitute was better than a misled saint,” (p. 117). Bagi Firdaus, menjadi pelacur jauh lebih baik ketimbang istri yang diperbudak. Menurutnya pelacur adalah perempuan yang paling sedikit mendapatkan tipu daya. Ia tidak perlu tunduk pada laki-laki mana pun. Ia berhak untuk menentukan nilainya sendiri.

Firdaus adalah seorang pemberontak. Pemberontak yang berjuang untuk integritasnya, yang memaksa. Melawan suatu sistem yang mengekangnya. Ia menemukan kebebasan dan suaranya. Menyadari bagaimana selama ini hak-haknya telah terenggut dan kini mampu untuk memperjuangkannya. Firdaus yang kini sendirian itu jauh lebih kuat dan teguh ketimbang laki-laki di sekelilingnya yang berkoloni.

Kisah yang Abadi

Firdaus tidak membenci perempuan yang taat pada suaminya. Ia tidak membenci perempuan, ia mengasihaninya. Firdaus menyadari bagaimana perempuan hanyalah korban penipuan dari laki-laki. Menurutnya, perempuan dipaksa menuruti aturan-aturan yang melemahkannya, lalu kemudian dihukum atas kelemahannya. Menerima penindasan yang berulang tanpa mampu melakukan perlawanan atau bahkan bersuara untuk menolak.

Sementara laki-laki sibuk untuk memperkaya diri dan memperbanyak gelarnya untuk melanggengkan kekuasaannya. Berkoloni untuk memperkuat aturan-aturan yang melemahkan perempuan. Semuanya terkemas sedemikian rupa sehingga siapa pun yang melawan berarti biadab dan tak bermoral.

Begitu seterusnya sehingga perempuan semakin lemah dan laki-laki semakin tak terbendung. Firdaus tidak membenci perempuan, ia membenci laki-laki.

Firdaus hanyalah secuil kisah yang tampak dan kisah ini tidak akan sirna. Nyatanya, meskipun sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, kisah ini masih selalu relevan. Firdaus adalah perwujudan perempuan yang terbunuh mimpinya.

Di luar sana masih banyak Firdaus dalam wujud perempuan lain. Perempuan-perempuan yang mimpinya terbunuh dan terkubur oleh praktik-praktik budaya patriarki. Perempuan-perempuan yang terpaksa memenuhi standar keperempuanan yang entah siapa pembuatnya.

Firdaus dan pemberontakannya pada budaya patriarki harus kita kenang, dan terabadikan. Ia memang mendekam dan mati di penjara. Namun, ia tak menyerah pada pendiriannya. Penjara di akhir hidupnya bukanlah penjara sungguhan, melainkan hanya tembok-tembok besi yang memisahkannya dengan dunia luar. Ia tetap memiliki kebebasan dan kemandiriannya.

Penjara sesungguhnya adalah kehidupannya sebelum menjadi pelacur, yang merampas kebebasannya. Firdaus yang menerima hukuman mati ketimbang mengirimkan surat permohonan kepada presiden menunjukkan usaha terakhir dalam pemberontakannya. Ia lebih memilih mati ketimbang terdepak dari sakramen personalnya. []

 

Tags: Budaya PatriarkifeminismeNovelperempuanperlawanan perempuanResensi Novelwoman at point zero
Dimas Candra

Dimas Candra

Mahasiswa matematika di Universitas Brawijaya. Lahir dan besar di Semarang. Bosan dengan bahasa yang ndakik-ndakik. Suka nulis apa aja, tapi juga sering  malas menyelesaikan tulisan. Sementara sedang berselancar untuk mendalami isu gender, pendidikan, sosial, dan lingkungan.

Terkait Posts

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Falsafah Hidup Penyandang Disabilitas dalam “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”

25 April 2025
Buku Sarinah

Perempuan dan Akar Peradaban; Membaca Ulang Hari Kartini Melalui Buku Sarinah

23 April 2025
Toleransi

Toleransi: Menyelami Relasi Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagaman

23 Maret 2025
Buku Syiar Ramadan Menebar Cinta untuk Indonesia

Kemenag RI Resmi Terbitkan Buku Syiar Ramadan, Menebar Cinta untuk Indonesia

20 Maret 2025
Disabilitas Emosional

Dari Disabilitas Emosional hingga Kritik Sosial dalam ‘Seberapa Candu Cinta itu’

19 Maret 2025
Althusser

Althusser, Seorang Filsuf Marxis yang Membunuh Isterinya

17 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Kesaksian Perempuan

    Kritik Syaikh Al-Ghazali atas Diskriminasi Kesaksian Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Perempuan Menurut Abu Hanifah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama
  • Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro
  • Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?
  • Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai
  • Aurat dalam Islam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version