Mubadalah.id – Mengambil judul “Gaza Utara antara Mati dan Deportasi” dari ulasan Sari Bashi di Human Rights Watch. Menggambarkan bagaimana mencekamnya Gaza Utara hari ini. Bukan lagi hancurnya misi kemanusiaan, namun juga lingkungan. Gaza, sebagaimana warganya, melebihi kota mati.
Sari Bashi, mengutip PBB, menuliskan 87 persen perumahan dan sekolah hancur lebur. 68 persen lahan pertanian ikut rusak. 80 persen fasilitas komersial dan 68 persen jalan, infrastruktur air, energi dan semua universitas ambruk.
Artinya, andaikan ada orang yang bertahan hidup di Gaza hari ini, maka tinggal menunggu hari kematiannya tanpa bantuan dari luar. Dan memang saat ini, Israel memblokade semua jalur pengiriman bantuan. Maka tak heran, hampir 2 juta warga Gaza mengungsi.
Itulah kejahatan Israel. Dan bukan hal baru Israel berbuat kejam di sekitar negara tersebut, sebagaimana kata Joseph Massad. Yang baru hanyalah skala genosida yang lebih besar dari sebelumnya. Niat dan visi-misi dan bahkan konspirasinya sama: menumpas orang Gaza Utara khususnya.
Joseph menyebutkan, “Meskipun skala genosida di Gaza – yang telah menewaskan sekitar 200.000 orang menurut perkiraan terbaru – memang belum pernah terjadi sebelumnya, kekejaman seperti itu merupakan hal rutin di semua pemerintahan Israel.”
Trauma Mendalam Melanda Warga Gaza
Majalah Jewish Currents 23 Oktober 2024 lalu melaporkan hasil wawancaranya dengan 4 warga gaza yang terdeportasi.
Zak Hania menceritakan malam mengerikan di Gaza yang memaksanya melarikan diri bersama keluarganya ke Khan Younis. Setelah perpisahan yang emosional dengan keluarganya yang lain, Zak Hania berhasil keluar dari Gaza setelah berbulan-bulan berjuang, termasuk menggalang dana untuk biaya evakuasinya yang tak murah.
Kepergiannya, bukan sekedar meninggalkan tanah air. Tapi teman, keluarga, tetangga, serta segudang kenangan. Bahkan ia berfirasat itu adalah pertemuan terakhir kali dengan mereka, dan itu nyata adanya.
Safa dan Amal Al-Majdalawi, dua saudara perempuan, harus menghadapi keputusan sulit tentang siapa yang akan meninggalkan Gaza. Mereka merasa bersalah meninggalkan keluarga dan teman-teman mereka yang masih terjebak di zona konflik. Meski mereka kini aman di Kairo.
Hidup tanpa izin kerja atau akses layanan kesehatan membuat mereka tetap merasa terperangkap dalam penderitaan. Lebih dari itu, ia menyaksikan penderitaan saudara-saudara mereka dari kejauhan. “Menyaksikan keluargamu terbunuh dari jauh . . . akan sangat menyakitkan jiwamu.”
Mohammed Ghalayini, seorang ilmuwan yang pulang ke Gaza setelah lama tinggal di Inggris, akhirnya harus pergi karena kondisi yang semakin tidak aman. Ia menceritakan bagaimana trauma membayangi kehidupannya. Bahkan suara-suara sederhana seperti kursi yang diseret dapat memicu memori traumatik tentang ledakan bom di Gaza.
Israel Beri 2 Pilihan pada Gaza: Deportasi atau Mati
Meron Repoport menuliskan artikel yang sekarang menjadi kenyataan. Bahwa pada Oktober, November, atau Desember 2024, atau mungkin awal 2025 Gaza Utara steril dari warganya. Pilihannya, deportasi atau mati.
Hal itu sebagaimana fakta yang berlangsung sekarang. Di mana militer Israel meluncurkan operasi besar-besaran di Gaza utara, yang disebut sebagai “Operasi Perintah dan Pembersihan.” Kendatipun operasi itu sedikit tersamarkan dari mata publik lantaran Israel mengalihkan ke Lebanon dan Iran.
Dalam operasi ini, Israel menginstruksikan semua warga Palestina di utara Koridor Netzarim untuk segera mengevakuasi diri “demi keselamatan mereka sendiri.” Itu propaganda yang Israel sebarkan. Beberapa menteri sayap kanan, seperti Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, bersikap terbuka tentang rencana tersebut.
Menurut Maron, mereka merujuk pada program yang diusulkan oleh “Forum of Reserve Commanders and Fighters,” dipelopori oleh Mayjen (purn.) Giora Eiland. Program ini mengusulkan pengepungan total, termasuk pemutusan akses air, makanan, dan bahan bakar, hingga warga yang tersisa menyerah atau terancam mati kelaparan. Bila seluruh warga Gaza utara tidak segera hengkang ke Selatan selama diberi waktu satu minggu.
Perintah Pemusnahan Gaza
Masih menurut laporan Maroon. Tokoh-tokoh terkemuka Israel meminta militer untuk melakukan pemusnahan massal di Gaza utara. “Usir seluruh penduduk sipil dari wilayah utara, dan siapa pun yang tersisa di sana akan dihukum secara sah sebagai teroris dan menjalani proses kelaparan atau pemusnahan,”.
Proposal lain ditulis pada bulan Juli oleh beberapa akademisi Israel, berjudul “Dari rezim pembunuh ke masyarakat moderat: Transformasi dan rekonstruksi Gaza setelah Hamas.” Menurut rencana itu, yang diajukan kepada para pembuat keputusan Israel, “kekalahan total” Hamas merupakan prasyarat untuk memulai proses “deradikalisasi”.
Tapi itu hanya propaganda Israel. Mereka mengkambing hitamkan Hamas untuk memusnahkan Gaza. Diksi bahasa-bahasanya pun mereka pilih (sesuai terjemahan, bukan bahasa Asli Israel/Ibrani) dengan nada menyudutkan Gaza. Gaza di bawah Palestina, rezim pembunuh. Tanpa mereka malu bahwa pembunuh sesungguhnya adalah Israel – bukan berarti membenarkan serangan Hamas ke warga sipil 07 Oktober 2023, bila itu benar.
Lebih baik Mati di Tanah Air ketimbang Deportasi dan Rekonsiliasi adalah Kejahatan?
Tetapi rupanya tak sedikit warga memilih bertahan di Gaza Utara di balik reruntuhan gedung, tempat pengungsian, dan lainnya.
Sekitar 300.000 warga Palestina masih berada di antara reruntuhan Kota Gaza dan sekitarnya, menolak untuk pergi.
Mungkin mereka bersikukuh tinggal karena melihat apa yang terjadi pada tetangga mereka yang pergi pada awal perang. Hingga hari ini berkeliaran di jalan-jalan Gaza selatan tanpa tempat yang aman untuk berlindung. Atau warga yang bersikeras percaya, di manapun, kematian tetap menjemputnya sebagaimana curhatan Mahasin Al-Khatib. Dan, “Kami lebih baik mati (di Gaza) dari pada deportasi”.
Segelintir orang termasuk negara-negara sekutu Israel menyeru untuk melakukan rekonsiliasi dan perdamaian dan genjatan senjata. Tidak sedikit tulisan yang menyuarakan hidup damai berdampingan. Tentu saja itu keinginan semua pihak kecuali Israel dan kroninya.
Tetapi ingat, dalam konteks Israel-Palestina rekonsiliasi dan perdamaian adalah kejahatan. Bila tanpa sangsi dan hukuman yang setimpal atas Israel. Tentu saja, warga Palestina memiliki dendam kesumat yang tak pernah mereka inginkan. Israel telah menindas dan membunuh. Lalu bagaimana bisa hidup damai berdampingan bila belum ada hukuman?
Apa lagi setelah mengalami pengusiran paksa dan deportasi. Pengusiran dari tanah air sebagaimana sekarang, menurut ayat Al-Qur’an, lebih kejam dari pada pembunuhan:
…وَٱلۡفِتۡنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلۡقَتۡلِۚ…
“…Fitnah itu lebih besar bahayanya ketimbang pembunuhan…” (QS. Al-Baqarah 191).
Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan dalam kitab tafsirnya.
«وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ أي والمحنة التي يفتتن بها الإنسان كالإخراج من الوطن أصعب من القتل لدوام تعبها وبقاء تألم النفس بها»
“Fitnah Lebih besar bahayanya ketimbang pembantaian.” Artinya, ujian yang mana manusia mengalami ujian itu semisal terusir dari negaranya (atau dijajah) itu lebih berat dari pembunuhan, karena penderitaannya senantiasa terasa dan jiwanya terus merasakan kesengsaraan”.
Kendatipun konteks historis ayat tersebut hendak mengatakan bahwa pembunuhan yang dilaksanakan muslim itu lebih mudah ketimbang pengusiran orang kafir kepada penduduk muslim.
Poinnya, meninggalkan tanah kelahiran karena pengusiran adalah lebih berat dari pada mati. Apa lagi bagi warga Gaza. Yahudi-Israel-Zionis tidak hanya mengusir juga membunuhnya. Maka tak heran bila warga sebagian warga Gaza memilih tinggal di tanah kelahirannya dengan segala resiko: mati kelaparan atau kepingan bom.
Rencana Lanjutan Bila Warga Gaza Berhasil Terusir
Bila rupanya warga Gaza terusir dan mampu bertahan. Maka deportasi bisa menjadi strategi awal kemenangan dan bumerang Israel. Dengan deportasi ke luar Gaza Utara, mereka bisa sedikit leluasa menyusun strategi dan mengorganisir dan mobilisasi militer lebih canggih – meski sulit.
Ketika sudah saatnya, mereka menyerang dan mengusir kembali pendudukan Israel di Gaza. Dalam Al-Quran, pengusiran dari tanah air salah satu kebolehan pemeluknya untuk berperang dan berjihad. “Dan bunuhlah mereka (orang msurik) di mana saja kamu temui dan usirlah mereka dari tempat yang mereka mengusir kalian (Makkah)” (QS. Al-Baqarah 191).
Hanya saja dalam menumpaskan musuh-musuh yang sesumbar seperti Israel tetap wajib menjaga etika perang. Yaitu tak boleh melampaui batas dengan cara membunuh warga sipil yang tidak ikut serta mendukung pembantaian Israel ke warga Gaza. Selain itu, warga sipil yang mendukung baik secara materi dan moril absah memberi hukuman sesuai tingkatan dukungan mereka.
Artinya: “Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 194).
Tapi lagi-lagi semuanya masih menjadi misteri Ilahi dari tragedi kemanusiaan ini. Yang jelas pengusiran paksa dan melaparkan warga sipil adalah kejahatan perang. []