• Login
  • Register
Sabtu, 19 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Gempa Keluarga

Alissa Wahid Alissa Wahid
16/09/2020
in Keluarga, Rekomendasi
0
112
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Video tentang antrean orang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Bandung ramai dipercakapkan netizen Indonesia. Video ini melengkapi berita dari sejumlah kota di Indonesia yang mengabarkan melonjaknya kasus perceraian di tengah pandemi Covid-19 ini. Lonjakan ini tidak jauh berbeda dengan data dari beberapa negara, seperti Perancis, China dan Korea Selatan.

Banyak dikemukakan sebaga ialasan perceraian adalah hilangnya penghasilan dan ketidakpastian yang menciptakan tekanan mental berat bagi pasangan suami istri. Belum lagi masuk tahun ajaran baru,anak-anak mesti mengikuti sistem pembelajaran jarak jauh, membuat orangtua harus ikut blingsatan menyediakan gawai dan pulsa yang tidak sedikit merogoh kocek mereka.

Alasan lainnya adalah tekanan psikologis akibat hidup bersama yang menciptakan ketegangan bahkan sering kali berujung pada kekerasan. Kekerasan tidak hanya terjadi di antara suami-istri, tetapi juga dilakukan orangtua saat menghadapi anak-anak yang frustrasi dengan perubahan kehidupan mereka. Biasanya sebagian beban pengasuhan dan pendidikan diserahkan ke sekolah sehingga orangtua punya waktu jeda saat anak-anaknya pergi kesekolah. Di masa pandemi ini orangtua bertindak penuh sebagai pengasuh dan pendidik.

Cuplikan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, pada periode 10-22 Mei 2020 saja, layanan kesehatan jiwa dibanjiri aduan kekerasan sebanyak 453 kasus dalam bentuk kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis.

Sebelum masa pandemi, orang mengeluhkan kurangnya waktu bersama orang-orang yang dicintainya. Tahun 2017, Badilag mencatat, setidaknya terjadi 1.000 perceraian per hari di Indonesia dan penyebab utama yang dilaporkan adalah cek-cok berkepanjangan. Orang menuduh karier, terutama karier perempuan, sebagai penyebab kehancuran keluarga karena terlalu sibuk di luar rumah.

Baca Juga:

Mengantar Anak Sekolah: Selembar Aturan atau Kesadaran?

Fenomena Eldest Daughter Syndrome dalam Drakor When Life Gives You Tangerines, Mungkinkah Kamu Salah Satunya?

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

Kala Kesalingan Mulai Memudar

Orang juga menuduh ketidakhadiran ayah, lagi-lagi karena kesibukan mencari nafkah dan berkarier, menyebabkan rusaknya mental generasi muda yang kurang mendapatkan panduan nilai-nilai kehidupan secara langsung. Ironis, pandemi Covid-19menyediakan beberapa hal yang diributkan tersebut. Karir tak lagi menghalangi karena suami-istri tidak harus menghabiskan belasan jam di luar rumah. Secara leluasa, ayah dan ibu sama-sama hadir bagi anak-anaknya.

Mengurus rumah yang sebelumnya lebih banyak dibebankan kepada Ibu, kini dapat ditangani bersama. Waktu yang dulunya menjadi barang begitu langka, sekarang tersedia 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu.

Namun, alih-alih menjadi kesempatan untuk memperkuat kualitas keluarga, justru waktu penuh selama beberapa bulan saja berbuah bencana.Ketegangan yang biasanya membuat pasangan suami-istri hanya merasa perlu break atau me-time saat ini mendorong mereka memutuskan untuk keluar sepenuhnya dari ikatan perkawinan mereka.

Pandemi ini membuktikan bahwa ternyata bukan waktu dan kebersamaan fisik yang menjadi persoalan keluarga selama ini. Bukan juga soal anak-anak yang menguji kesabaran karena 24 jam orang-tua harus menjadi orangtua, bahkan mendadak juga harus menjadi guru.

Kehancuran keluarga juga ternyata bukan soal karier dan segala efek turunannya, termasuk beban ganda istri yang bekerja dan mengurus rumah-tangga tanpa uluran setara dari suami. Bahkan, sejatinya kemiskinan, kondisi ekonomi, atau ketidakpastian masa depan juga bukan penyebab.

Sebagian besar generasi yang lahir di tahun 1970-an tumbuh dalam kondisi ekonomi keluarga yang kurang sejahtera, tetapi faktanya sebagian besar orangtua mereka juga tidak bercerai.Pengalaman keluarga-keluarga Indonesia di masa pandemi ini semakin menebalkan keyakinan dasar penulis sebagai psikolog bahwa ketangguhan keluarga menjadi faktor paling penting dalam menentukan seberapa besar daya lenting keluarga menghadapi dinamika kehidupan keluarga.

Bagaikan bangunan, konstruksi yang kokoh akan tahan terhadap gempa, hujan badai, dan gangguan lainnya. Sementara gempa ringan bisa langsung merobohkan konstruksi bangunan yang lemah karena fondasi yang kurang kuat atau pilar yang hampir patah.

Fondasi keluarga yang kuat adalah berupa prinsip-prinsip luhur yang menghidupi keluarga. Misalnya prinsip keadilan dan keseimbangan. Faqihudin Abdul Kadir (2018) menambahkan prinsip kesalingan. Apabila ketiga prinsip ini dijadikan sebagai pijakan dalam setiap tindakan keluarga, niscaya setiap tantangan akan lebih mudah dikelola.

Di ujung lain, prinsip kemaslahatan menjadi perspektif payung yang akan mengayomi keluarga. Dengan prinsip ini sebagai atap, kehidupan keluarga diarahkan untuk dapat memberikan kebaikan bersama bagi setiap anggotanya. Kekerasan dalam rumah tangga dan semua praktik keluarga berisiko, seperti perkawinan anak dan poligami akan bisa dihindarkan dengan prinsip ini.

Komitmen merupakan salah satu pilar bangunan keluarga, diikuti dengan keyakinan bahwa perkawinan dikelola berpasangan bagaikan sepasang sayap. Demikian juga sikap baku-baik dan dialog (musyawarah). Pilar-pilar ini menjadi panduan bersikap, berperilaku di dalam keluarga. Anggota keluarga saling berlaku baik, mampu mendialogkan ketegangan, bahkan mampu berkonflik dengan baik dan benar.

Dengan fondasi, pilar, dan atap bangunan keluarga yang terpelihara baik, masa pandemi ini dapat menjadi masa yang lebih nyaman. Bahkan, hidup #dirumahaja menjadisebuah pengalaman yang memperkuat keluarga. Pandemi ini adalah sebuah gempa berskala sedang bagi semua keluarga. Seberapa besar dampaknya akan sangat bergantung pada kekuatan dan kekokohan bangunan keluarga itu sendiri.

Bangunan keluarga yang tangguh membuat keluarga tetap aman di tengah ayunan gempa. Namun, bangunan keluarga yang rapuh membuat anggota keluarga berhamburan karena ayunan gempa memorak porandakan bangunan keluarga. Bukan Covid-19 yang menyebabkannya. Semoga kita dapat belajar dari masa-masa ini dan memperkokoh bangunan keluarga. []

Via: https://kompas.id/baca/opini/2020/09/06/gempa-keluarga/
Tags: keluargaKesalinganPandemi Covid-19perceraian
Alissa Wahid

Alissa Wahid

Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Indonesia

Terkait Posts

Mengantar Anak Sekolah

Mengantar Anak Sekolah: Selembar Aturan atau Kesadaran?

18 Juli 2025
Wonosantri Abadi

Harmoni Iman dan Ekologi: Relasi Islam dan Lingkungan dari Komunitas Wonosantri Abadi

17 Juli 2025
Representasi Difabel

Dari Layar Kaca ke Layar Sentuh: Representasi Difabel dalam Pergeseran Teknologi Media

16 Juli 2025
Menikah

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

15 Juli 2025
Krisis Ekologi

Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

14 Juli 2025
Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Penindasan Palestina

    Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan
  • Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID