Mubadalah.id – Senin lalu menjadi salah satu hari tergelap di Turki dan Suriah. Bagaimana tidak, kedua negara yang berbagi batas wilayah ini harus dihadapkan pada goncangan gempa dahsyat dengan Magnitudo (M) 7,8. Saking kuatnya kekuatan gempa, getarannya bahkan terasa hingga ke Lebanon dan Israel.
Gempa Turki dan Suriah
Gempa Turki ini tercatat sebagai gempa bumi dengan dampak skala terbesar sejak 1939 yang menewaskan lebih dari 30 ribu jiwa. Menurut pemberitaan AFP, gempa yang terjadi sekarang bisa saja menimbulkan dampak negatif dengan skala yang sama. Terlebih, menurut para pakar, banyak faktor yang menyebabkan mayoritas warga tidak waspada ketika bencana terjadi. Yakni gempa yang terjadi dini hari, kurang kuatnya konstruksi bangunan, serta garis patahan yang relatif tenang.
Berdasarkan laporan sementara, jumlah korban jiwa telah mencapai lima ribu. Melalui pemberitaan media, dikabarkan korban akan terus bertambah karena proses evakuasi masih berjalan. Selain penyebabnya tertimpa reruntuhan gempa, korban meninggal dunia telah Badan Kesehatan Dunia (WHO) prediksi akan terus meningkat. Karena saat ini Turki dan Suriah sedang menghadapi musim dingin. Hal tersebut tentu kian mempersulit situasi di lapangan, utamanya yang berkaitan dengan penyediaan akomodasi yang nyaman dan aman untuk para pengungsi.
Kearifan Lokal Simeulue dalam Mitigasi Gempa
Seperti halnya Turki dan Suriah, potensi bencana gempa di Indonesia juga cukup tinggi. Bahkan intensitas dan frekuensi gempa di Indonesia terhitung lebih sering dibandingkan dua negara tadi. Lalu, bagaimana masyarakat kita dapat bertahan dari goncangan gempa yang dahsyat selama ini?
Kunci bertahannya masyarakat salah satunya berkaitan dengan menerapkan kearifan lokal yang efektif untuk meminimalisir bencana. Seperti penerapan di Simeulue, Aceh ketika tsunami tahun 2004 lalu. Di saat daerah lain warganya banyak yang meninggal dunia, pulau Simeulue hanya mencatatkan enam orang korban jiwa saja.
Setelah ditelusuri, warga di sana menekan angka kematian dengan cara mengimplementasikan budaya Smong. Smong sendiri secara sederhananya, merupakan budaya menumbuhkan kewaspadaan terhadap bencana yang sudah ada sejak 1970, dan masih mereka terapkan hingga sekarang. Berikut adalah dua bait syair lagu yang bercerita tentang Smong karya Muhammad Riswan dengan nama tenarnya Moris, salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue.
Enggel mon sao surito…
Inang maso semonan…
Manoknop sao fano…
Uwi lah da sesewan…
(Dengarlah sebuah cerita)
(Pada zaman dahulu)
(Tenggelam satu desa)
(Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon…
Fesang bakat ne mali…
Manoknop sao hampong…
Tibo-tibo mawi…
(Diawali oleh gempa)
(Disusul ombak yang besar sekali)
(Tenggelam seluruh negeri)
(Tiba-tiba saja)
Kearifan lokal smong memiliki hubungan dekat dengan mitigasi bencana tsunami secara tradisional, dan telah tersampaikan melalui puisi-puisi yang terkandung dalam manafi-nafi (cerita rakyat), mananga-nanga (lagu pengantar tidur), nandong (bersenandung) yang telah mereka perkenalkan pada keturunan dari buaian sampai usia tua (Gadeng et al. 2017). Kearifan lokal ini terbukti efektif mengingat pada saat itu belum ada sistem peringatan dini terhadap ancaman bencana tsunami di pulau tersebut.
Makna Smong dan Kewaspadaan terhadap Bencana
Sejak itu, kata Smong begitu akrab di kalangan masyarakat Simeulue. Smong mereka artikan sebagai hempasan gelombang air laut yang berasal dari Bahasa Devayan, Bahasa asli Simeulue. Secara historis, Smong merupakan kearifan lokal dari rangkaian pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.
Apa yang terjadi di masa lampau, membuat warga lokal mengambil banyak hikmah, termasuk menjadikannya pelajaran dan peringatan bagi generasi selanjutnya. Tak heran kisah Smong mereka ceritakan secara turun-temurun melalui nafi-nafi. Nafi adalah budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisikan nasihat dan petuah kehidupan, termasuk Smong. Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda agar mereka dapat mengambil kebaikan dari apa yang dituturkan.
Cerita Smong tersampaikan kepada generasi muda termasuk anak-anak dalam berbagai kesempatan. Seperti saat memanen cengkeh, salah satu produk yang banyak Pulau Simeulue hasilkan. Anak-anak yang membantu orangtuanya setiap memanen cengkeh, menjadikan kisah-kisah Smong sebagai selingan di tengah kesibukan mereka memetik hasil pertanian.
Dari budaya sederhana Smong, warga lokal Simeulue menjadi jauh lebih waspada ketika bencana datang dibandingkan kelompok masyarakat lain di wilayah Aceh. Hal ini selanjutnya berefek positif pada rendahnya korban jiwa saat tsunami melanda. (Bebarengan)