• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Gereja, Simbol Ketuhanan, dan Kekuasaan

Konflik dan peperangan tidak selalu dan melulu melahirkan kebencian, ia justru mampu mengajarkan kedewasaan bersikap, dan mereka yang pernah mengalami masa sulit dalam konflik, dan perang biasanya mampu mengelola potensi baik-buruk karena ia sudah begitu mengenal dirinya

Hijroatul Maghfiroh Hijroatul Maghfiroh
04/09/2021
in Pernak-pernik, Rekomendasi
0
Gereja

Gereja

68
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setiap agama memiliki tempat suci yang diyakini sebagai tempat paling dekat dan cepat menemui Tuhan. Rumah Tuhan, begitu kita sering menyebutnya. Sebagaimana rumah pada umumnya, setiap (umat) agama berlomba-lomba ingin mempersembahkan rumah terbaik bagi Tuhan. Beragam alasan rumah Tuhan dibangun, tentu tidak sekedar agar para tamu (umat beragama), betah bertandang ke rumahNYA tetapi lebih dari itu agar mereka mendapat pengakuan dari Tuhan melalui pengakuan dari umat manusia.

Seperti gereja orthodox Serbia yang merupakan gereja kristen orthodox terbesar di Eropa bahkan konon di dunia, gereja ini bisa aku bilang dibangun sebagai bentuk ‘balas dendam’ setelah Ottoman Turki membumi hanguskan kota Belgrade termasuk di dalamnya gereja-gereja. Saint Sava adalah nama yang dipilih sebagai bentuk penghormatan kepada pendiri gereja orthodox yang konon makamnya ada di lokasi tempat pendirian gereja ini.

Sebenarnya desain gereja ini sudah ada sejak 1926, desainnya diambil menyerupai Hagia Sophia di Turkey, bahkan saat ini gencar disebutkan bahwa Saint Sava merupakan pengganti dari Hagia Sophia, setelah Hagia Sophia di Turki resmi berfungsi sebagai masjid. Proses pembangunan gereja yang konon didukung oleh Rusia ini memakan waktu cukup lama, hampir satu abad.

Kondisi politik dari perang dunia dua yang saat itu gereja ini dijadikan gudang oleh pasukan Jerman, kemudian kembali dibangun setelah perang usia, tetapi lagi-lagi mengalami penghentian ketika partai komunis berkuasa di Serbia, rezim ini tidak mengizinkan melanjutkan pembangunan gereja yang berat kubahnya mencapai empat ribuan ton.

Komunis tumbang, berganti rezim, dan rezim saat ini adalah rezim yang sangat mendukung pembangunan Saint Sava. Bagi pemerintahan saat ini, Saint Sava bukan hanya tempat ibadah, Saint Sava adalah simbol kemenangan Serbia sekaligus mengumumkan kepada dunia bahwa Kristen Orthodox adalah agama resmi mayoritas penduduk Serbia. Segala kekuatan negara ditujukan untuk pembangunan gereja ini. Konon pajak penduduk yang tidak semua pengikut Orthodox-pun diperuntukkan bagi pembangunan gereja yang saat ini masih berlangsung.

Baca Juga:

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Dokumen Abu Dhabi: Warisan Mulia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb Bagi Dunia

Two State Solution: Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?

Merawat Toleransi, Menghidupkan Pancasila

Pemerintah yang saat ini berkuasa seolah ingin menjadikan Kristen Orthodox sebagai identitas resmi etnis Serb dan agama lain hanyalah pendatang. Mereka ingin menjadikan orthodox sebagai simbol nasionalisme. Makanya tidak heran ketika aku berkesempatan mendengarkan paduan suara gereja yang sangat menawan, 3 dari 5 lagu yang disajikan adalah lagu kenegaraan ; Oh Serbia, Tear of Kosovo, dan Serbian Girl.

Serbia memang bukan ‘negara agama’, tetapi agama menjadi ornamen penting dalam sejarah dan politik Serb. Agama bukan hanya ekspresi spiritualitas pengikutnya, agama adalah ekspresi kemenangan penguasa di suatu negara, di Serbia. Masa lalu dan bangunan boleh suram, tapi tidak demikian dengan wajah-wajah penduduk Serbia. Mereka sangat cantik dan ganteng tapi yang lebih utama dari itu mereka sangat super duper ramah.

Pagi kemarin rute lari ku menuju masjid di Beogard. Masjid ini adalah satu-satunya yang tersisa dari 200-an masjid di wilayah Beogard di masa penguasaan Ottoman Turki. Eit, jangan su’udzon dulu, begitulah siklus penaklukan dan perlawanan. Di sini kita bisa belajar, bagaimana Islam yang dibawa dengan pedang tidak bisa bertahan lama.

Tapi jangan takut, orang-orang Serbia terutama yang aku temui di Beogard, sama sekali tidak ada wajah dendam apalagi kebencian kepada orang asing, termasuk kepada muslim. Mereka sangat ramah, pengalamanku dan teman-teman lain ketika keliling kota, dan kesulitan mencari lokasi tujuan, kepada siapapun bertanya, kami mendapatkan respon yang sangat hangat dan membantu meski sebagian mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Kalaupun mereka tidak tahu, mereka akan meminta maaf dengan gesture yang sangat menenangkan (yang aku temui yang banyak gak taunya anak-anak muda/remaja, tapi justru kalau orang tua, mereka akan berusaha mencari tau dan membantu).

Dulu waktu kecil aku merasa hanya orang-orang Indonesia yang paling ramah, suka senyum dan hangat pada orang asing. Setelah banyak mengunjungi negara-negara dengan beragam ekspresi wajah penduduknya, akhirnya menyadari bahwa memang potensi kebaikan dan keburukan ada pada semua manusia tanpa pandang asal negaranya. Kebaikan seseorang bukan sekedar dari ‘wajah senyumnya’ tetapi juga dari bagaimana penerimaannya terhadap orang lain, orang asing.

Orang-orang ras Serb (sebagian besar penduduk Serbia adalah ras serb, sebagian kecil lainnya  bosniak dan hungarian), memang bukan kategori ‘wajah tersenyum’ tapi mereka juga bukan termasuk ‘wajah dingin’. Mereka menurutku sudah pada tahap ‘mengenal dirinya’. Tentu karena  melalui sejarah panjang, dari segi infiltrasi agama, Serbia melalui proses panjang dari Kristen ortodok kemudian dikuasai Islam melalui Ottoman Turki lalu kembali ke kekuasaan Kristen Ortodok. Dari segi kenegaraan, Serbia juga mengalami perubahan dari Republik Serbia setelah penguasaan Austria – Jerman kemudian bersatu menjadi Yugoslavia (meliputi Bosnia, Kroasia, Macedonia dan Montenegro), dan pecah kemudian kembali menjadi republik Serbia.

Dari perjalanan panjang tersebut sedikit banyak memengaruhi mental dan karakter orang-orangnya. Orang-orang Serbia yang aku temui adalah orang-orang yang matang, tidak kagetan, tidak memandang ‘aneh’ dengan yang berbeda, dan karenanya aku merasa diterima, nyaman berada di sudut kota Beogard manapun. Kebetulan di kota ini sangat sedikit aku temui perempuan berkerudung, tetapi sedikitpun tidak ada pandangan aneh, gesturnya alami saja.

Jadi, konflik dan peperangan tidak selalu dan melulu melahirkan kebencian, ia justru mampu mengajarkan kedewasaan bersikap, dan mereka yang pernah mengalami masa sulit dalam konflik dan perang biasanya mampu mengelola potensi baik-buruk karena ia sudah begitu mengenal dirinya. Paling tidak itu yang aku temui dari orang-orang Serbia. []

Tags: gerejakeberagamanmasjidpengalaman perempuanPerdamaianPolitik GlobalSerbiatoleransi
Hijroatul Maghfiroh

Hijroatul Maghfiroh

Studying Sustainability and Environmental Studies, Macquarie University - Australia dan Penulis buku Dakwah Ekologi: Panduan Penceramah Agama tentang Akhlak pada Lingkungan

Terkait Posts

Wahabi

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

30 Juni 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Beda Keyakinan

Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

30 Juni 2025
Seksualitas Perempuan

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

29 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Sakinah

Tafsir Sakinah

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID