Mubadalah.id – Pernahkah menghitung total sampah plastik yang kamu produksi setiap hari atau kurun satu minggu? Berapa total karbon yang kamu keluarkan, dari penggunaan listrik, kendaraan bermotor atau mobil, kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya, mulai dari bangun tidur hingga beristirahat di malam hari? Tahukah kamu kalau segala sesuatu yang kamu produksi memiliki dampak yang signifikan pada perubahan iklim di Bumi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak lain saya tujukan kepada diri sendiri, yang masih ceroboh, semena-mena dan berlebihan dalam mempergunakan sesuatu. Saya juga sempat melempar pertanyaan serupa ke tetangga sekitar rumah. Di situ saya mendapati jawaban yang umum, yakni mereka tidak menghitung sampah masing-masing.
Pun tentang emisi karbon yang ternyata kurang familier di telinga mereka. Lalu ketika saya beralih menanyakan satu kegiatan keseharian mereka tentang alasan membuang popok bayi ke sungai dan apakah tahu dampaknya, mereka dengan santai menjawab bahwa itu sudah menjadi kebiasaan, “Kan dari dulu buangnya juga di situ (sungai).”
Dari jawaban tersebut saya bisa memahami bahwa ada realita yang belum beranjak di masyarakat, yakni minimnya literasi tentang perubahan iklim. Bahkan krisis iklim yang telah menjadi isu global dan tengah kita rasakan dampaknya saat ini, tidak banyak mendapatkan tempat atau respon yang berarti. Sebagian besar masyarakat masih abai pada lingkungan di sekitarnya. Bahkan ketika Hari Bumi diperingati setiap 22 April, yang banyak terlihat hanya poster-poster tanpa aksi, alias tidak membawa pengaruh dan kesadaran baru untuk lebih peduli terhadap krisis di Bumi yang manusia tempati.
Memulai Langkah Kecil
Menumbuhkan kesadaran dan kepedulian terhadap Bumi yang semakin tua dan rapuh memang membutuhkan kerja keras. Bahkan masing-masing dari kita mesti berjuang seumur hidup untuk bisa mendorong tercapainya misi penyelamatan bumi dari krisis yang makin ekstrem. Jika kesadaran tersebut baru tumbuh hari ini, maka kita bisa mulai dari diri sendiri untuk bergerak sekaligus memberi contoh bagi kerabat dan sanak saudara yang lain, agar melakukan tindakan yang sama dan untuk tujuan yang satu, yakni memulihkan Bumi.
Mengutip dari laman earthday.org, peringatan Hari Bumi 2021 mengambil tema Restore Our Earth. ‘Pulihkan Bumi Kita’ bagi saya tidak sekadar ajakan, tetapi dorongan yang mendesak dan memaksa untuk disegerakan. Kemudian di laman tersebut juga ditampilkan beberapa macam tindakan yang bisa dilakukan, mulai dari masing-masing individu. Pertama, dengan mengurangi limbah plastik dan berhenti membuang sampah di sembarang tempat.
Kedua, mendorong kampanye penanaman pohon secara berkelanjutan. Menanam pohon menjadi satu upaya yang penting dilakukan untuk mengurangi dampak deforestasi besar-besaran yang terjadi kurun 10 tahun terakhir. Kampanye ini sekaligus mendorong pemulihan fungsi hutan yang nantinya juga berdampak luas pada kelangsungan hidup flora dan fauna. Jadi penanaman pohon dan pengembalian fungsi hutan merupakan satu paket solusi dalam mencegah kepunahan massal.
Ketiga, dari langkah kecil tiap-tiap individu, agenda kolektif bisa disusun. Misalnya dengan kampanye literasi perubahan iklim, menggandeng pemerintah atau stakeholder untuk mempromosikan kebijakan-kebijakan yang punya dampak langsung pada pengurangan limbah dan polusi. Berawal dari diri sendiri kemudian mengajak orang lain untuk melakukan pembersihan ruang publik, mulai dari sampah rumah tangga sampai pada upaya pengurangan gas rumah kaca yang berasal dari tempat pembuangan akhir yang terbuka.
Literasi tentang perubahan iklim juga bisa dimulai dari ruang pendidikan, yakni mendorong pemerintah untuk segera membuatnya menjadi kurikulum yang wajib dipelajari di tiap-tiap jenjang pendidikan, bahkan mulai dari sekolah dasar. Memberikan literasi tentang iklim dan perubahan lingkungan sejak dini akan membantu siswa berpikir secara lebih kritis, membangun kepedulian terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga bisa membentuk paradigma yang menempatkan alam sebagai subjek yang tidak bisa diperlakukan semena-mena.
Namun demikian, ketika satu orang berhasil menanam pohon atau ketika kampanye demi kampanye digalakkan, tetapi pemerintah masih bersikukuh melakukan pembukaan lahan untuk sawit atau tambang dan masih memberikan kebebasan investor menjarah hutan dengan dalih pembangunan, maka bisa jadi agenda mulia itu sia-sia. Berbeda jika aksi kecil tiap-tiap individu tersebut dihargai dan didukung oleh kebijakan pemerintah yang berpihak pada pelestarian alam, termasuk memulihkan hutan dengan konservasi.
Meskipun sampai tulisan ini saya buat, pemerintah belum menunjukkan i’tikad baik dalam menjalankan Kesepakatan Paris, yakni menurunkan emisi karbonnya, tapi saya akan tetap berkhusnudzon kepada pemerintah, bahwa suatu hari nanti pemerintah dapat membuat kebijakan strategis yang berpihak pada pemenuhan keadilan ekologi. Sebab tantangan menanggulangi krisis iklim tidak hanya dirasakan oleh satu dua golongan. Masalah krisis iklim ini merupakan isu global yang menuntut tanggung jawab seluruh manusia di muka bumi. []