• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Hari Guru dan Meneladani Perjuangan Dewi Sartika

Pernikahan tidak menganggu karir, cita-cita dan perjuangan dari seorang istri dalam perjuangannya memajukan bidang pendidikan bagi perempuan.

Ahmad Ali Ahmad Ali
24/11/2024
in Publik, Rekomendasi
0
Dewi Sartika

Dewi Sartika

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ketika berbicara mengenai Hari Guru Nasional, pendidikan dan perempuan, tentu sosok yang langsung teringat di benak sebagian besar bangsa Indonesia adalah RA.Kartini. namun, selain Kartini, ada lagi sosok pahlawan perempuan yang sama-sama memperjuangkan kepetingan pendidikan untuk perempuan yakni Dewi Sartika.

merupakan satu dari sekian tokoh perempuan Indonesia yang berjasa terhadap perjuangan hak-hak perempuan dalam mengakses bidang pendidikan.

Pendidikan Masa Belanda

Pada abad ke-19, penjajah Belanda di Indonesia membuka sekolah kepada masyarakat Indonesia atau bumipoetra sebagai lembaga pendidikan, pelatihan dan keterampilan yang sesuai dengan kepentingan ekonomi kaum penjajah. Ternyata pendidikan inilah yang kemudian menjadi faktor utama dalam proses transformasi masyarakat Indonesia.

Salah satu hasil dari pendidikan, pelatihan dan keterampilan tersebut adalah lahirnya cara pandang baru perempuan Indonesia, pada waktu itu bahwa memang pendidikan adalah alat yang mampu untuk mengubah keadaan ke arah kemajuan bagi masyarakat, termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan yang bersifat sosial dan meningkatkan derajat perempuan.

Pada masa penjajahan, kezaliman bukan hanya dirasakan oleh kaum laki-laki, namun juga kaum perempuan yang mungkin lebih mendapatkan kezaliman, hal ini karena adanya pandangan rendah terhadap perempuan yang juga dibawa oleh cara pandang Belanda. Bahkan cara pandang diskriminatif kulit putih kepada kulit berwarna.

Baca Juga:

Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

Film Pengepungan di Bukit Duri : Kekerasan yang Diwariskan

Cara Pandang Baru Perempuan Indonesia

Pandangan baru dari para perempuan yang terpelajar ini sesuai apa yang dikatakan oleh Schrieke bahwa pendidikan melepaskan mereka dari cengkraman lingkungan lama sekaligus menghancurkan pandangan lama dalam hal moral dan kaidah-kaidah sosial.

Maka perempuan terdidik tadi mulai membuat gerakan kearah perubahan untuk perbaikan dan kesejahteraan sosial melalui jalur pendidikan.

Adalah Raden Dewi Sartika yang memulai gerakan perubahannya melalui jalur pendidikan. Ia pernah berkata dalam bahasa Belanda “Wet is het algemeen nooding voor de intelellectueele en moreele opheffing der Inlandzche vrouw ? Naar mijn bescheiden meaning zal dit ten opzichte van de vrouw in dit geval wel wet erg veal verschilen met de manner. Zij zal nevens een behoorlijke opvoeding degelijk geschoold moeten wezen. Uitbreiding van kennis zal van invloed zijn op het moral der Inlandsche vrouw”.

Tokoh yang lahir pada masa penjajahan Belanda, biasanya fasih berbicara dan menulis memakai bahasa Belanda. Dalam hal ini Dewi Sartika mengatakan bahwa;

“Apa yang dibutuhkan pada umumnya untuk meningkatkan moral dan intelektual perempuan pribumi? Menurut pendapat saya yang sederhana perempuan dalam hal ini tidak berbeda banyak dari kaum laki-laki. Dia juga untuk pendidikan yang baik harus disekolahkan dengan baik pula. Pengembangan pengetahuan akan berpengaruh terhadap moral perempuan pribumi”

Sekolah Kautamaan Istri

Dalam bukunya Rochiati Wiriaatmadja berjudul Dewi Sartika, menyebutkan bahwa dalam  mewujudkan cita-citanya, ia mendirikan Sekolah Kautamaan Isteri pada 1904 di Bandung. Sekolah  ini sangat sederhana, namun antusiasme dan semangat yang besar dari para perempuan untuk belajar tidaklah menjadikannya halangan dalam menambah ilmu pengetahuan.

Adapun para pengajar terdiri dari perempuan-perempuan priyayi terdidik dan dengan sukarela membantu perjuangan Dewi Sartika.

Sekolah Kautamaan Istri ini merupakan sekolah yang jelas berbeda dengan sekolah buatan Belanda yang diskriminatif terhadap golongan lemah. Sekolah ini adalah sekolah bagi rakyat jelata, hal ini sesuai dengan sikap dan pandangan hidup dari seorang tokoh perempuan Sunda yang demokratis ini.

Adapun pelajaran di sekolah Kautamaan istri adalah pelajaran domestik seperti memasak dan menjahit. Lalu ada pula pengajaran mengenai ilmu-ilmu agama.

Pada tahun 1906, Raden Dewi Sartika menikah dengan R. Kd. Agah Suriawinata, seorang guru yang kemudian menjadi kepala sekolah di Eerste Klasse School Karang Pamulang.

Ternyata, pernikahannya tersebut tidak menghalangi cita-cita dan perjuangannya, bahkan suaminya memberikan pengertian bahkan bantuan sepenuhnya kepada istrinya. Kedisiplinan dan pembagian waktu yang tepat adalah kunci keserasian dan kerjasama suami-istri ini dalam menghadapi pekerjaan dan tugas rumah tangga.

Semangat Mubadalah dalam Sejarah Perjuangan Dewi Sartika

Dari kenyataan sejarah ini, Dewi Sartika menunjukan bahwa peran perempuan dalam sektor publik sangat penting. Terutama dalam perjuangannya terhadap kondisi pendidikan perempuan di tanah Sunda sejak abad ke-19.

Gerakan perjuangannya juga menunjukan sejarah kelam kehidupan perempuan masa penjajahan Belanda. Yaitu adanya ketidakadilan gender dalam hal ruang dan akses pendidikan, dalam hal ini rakyat pribumi, khususil khusus perempuan yang hanya sebagai simbol dan sebagai gundik oleh penjajah Belanda.

Lalu ternyata, kemubadalahan atau kesalingan antara suami-istri dalam menjalankan peranan di sektor publik dan kehidupan rumah tangga sudah pula terlihat juga oleh Dewi Sartika dan suaminya yaitu R. Kd. Agah Suriawinata.

Hal ini menunjukan bahwa pernikahan tidak  menganggu karir, cita-cita dan perjuangan dari seorang istri dalam perjuangannya memajukan bidang pendidikan bagi perempuan.

Dalam hal urusan domestik rumah tangga, Dewi Sartika dengan suaminya tersebut menjalin kedisiplinan, kerjasama dan pembagian tugas yang tentunya adil. Inilah semangat mubadalah dalam realitas sejarah dari sosok Raden Dewi Sartika yang patut kita insyafi dan teladani. []

 

 

 

Tags: Dewi Sartikahari guruMeneladaniPahlawan Perempuanpendidikanperjuangan
Ahmad Ali

Ahmad Ali

Terkait Posts

Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID