• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Hari Ibu, antara Hegemoni dan Ironi

Tia Isti'anah Tia Isti'anah
23/12/2019
in Publik
0
hari, ibu

Ilustrasi: Northern Virginia Magazine

121
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Pada 91 tahun lalu, 30 Organisasi Perempuan dari 12 Kota berkumpul di Yogyakarta untuk menyelenggarakan konferensi tentang pendidikan, kesehatan serta Hak-hak Perempuan. Acara itu dihadiri sekitar 600 perempuan dari berbagai sektor dengan nama Kongres Perempuan Indonesia 1.

Sejumlah organisasi perempuan yang terlibat menurut Susan Blackburn dalam bukunya Kongres Perempuan Pertama (2007) adalah Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Aisyiyah, Darmo Laksmi, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik dan beberapa sayap perempuan dalam organisasi pergerakan Indonesia.

Setiap tahunnya kemudian mereka menyelenggarakannya kembali dengan grand tema yang berbeda-beda. Pembahasannya sudah melampaui masyarakat yang saat itu masih berstatus masyarakat jajahan. Contohnya di tahun 1930 temanya adalah terkait perkawinan di bawah umur yang sekarang sudah masuk menjadi bagian dari RPJMN namun permasalahannya belum juga selesai. Perempuan kita saat itu sudah begitu maju fikirannya bahkan di tahun itu pula disebutkan bahwa gerakan perempuan adalah bagian dari gerakan nasional.

Pemerintah RI melalui Deskrit Presiden RI No.316 Tahun 1953 menetapkan hari itu (21 Desember) sebai hari Ibu. Sayangnya  masuk ke abad 21 hari Ibu digantikan dengan hegemoni persembahan kepada ibu-ibu dengan memuji luar biasa kerja domestik mereka disertai membeli barang-barang berlabel diskon hari ibu. Perjuangan akan kemajuan digantikan dengan konsumsi barang dengan skala besar-besaran. Pergeseran nilai hari Ibupun tidak bisa dihindari.

Tentu saja itu juga hal bagus, memberikan sebuah nafas segar bagi ibu-ibu kita yang sudah terlampau lelah sekali menghidupi kita namun namanya tidak pernah disebutkan dalam acara wisuda. Akan tetapi  kesadaran akan hakikat hari Ibu tetap perlu kita perhatikan, karena nyatanya dihari ini sangat sedikit status whatsapp (yang saya baca) yang juga membahas tentang isu perempuan global atau lokal dalam merayakan Hari Ibu atau setidaknya terkait sejarahnya

Baca Juga:

Bekerja itu Ibadah

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

Jangan Malu Bekerja

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

Hal-hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh pemilihan kata “Ibu” bukan kata “Perempuan”.  Mungkin itu dipengaruhi oleh negara-negara lain yang menggunakan kata “mother’s day” . Padahal di Indonesia, kata “Ibu” memiliki makna yang majemuk tidak seperti kata “mother”. Dalam KBBI, Ibu bisa berarti orang yang melahirkan kita, bisa juga sebagai sebutan orang yang sudah bersuami, atau berarti suatu bagian yang pokok seperti Ibu jari dan Ibu Kota.

Padahal kita memerlukan banyak suara untuk kemajuan Perempuan namun beberapa fakta penyelewengan atau ketidaktahuan sejarah akan hari Ibu membuat kita malah mendomestifikasi peran perempuan. Padahal permasalahan perempuan semakin bertambah.

Ditahun ini belum disahkan juga RUU-PKS yang sangat strategis dalam mencegah dan mengobati kekerasan seksual.  Kasus kawin anak juga menjadi PR kita bersama. Sunat Perempuan atau P2GP (pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan) juga masih marak di negeri kita terncinta ini. Masih terlalu banyak kasus dan tema yang harus kita bahas agar menjadi kesadaran kolektif masyarakat kita. Mengutip pernyataan Salwatore Quasimodo bahwa berdiam diri dan tidak peduli memiliki satu nama; pengkhianatan.

Saya sangat menyadari betul bahwa ucapan Hari Ibu kepada Ibu-ibu kita juga tidak bisa dilewatkan. Namun membicarakan kemajuan Perempuan yang menjadi latar belakang dari lahirnya Hari Ibu juga harusnya tidak boleh dilewatkan. Kita tidak bisa berjuang sendiri dan membiarkan perempuan-perempuan yang kelelahan berjuang sendiri.

Mari tidak berdiam diri, mari membahas tentang Perempuan di hari Ibu, mari bangun kesadaran kolektif, dan mari bergandengan tangan untuk berjuang melawan ketidak adilan.

Selamat Hari Ibu.

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah, kadang membaca, menulis dan meneliti.  Saat ini menjadi asisten peneliti di DASPR dan membuat konten di Mubadalah. Tia juga mendirikan @umah_ayu, sebuah akun yang fokus pada isu gender, keberagaman dan psikologi.

Terkait Posts

Ahmad Dhani

Ahmad Dhani dan Microaggression Verbal pada Mantan Pasangan

5 Juli 2025
Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Gerakan KUPI

    Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kholidin, Disabilitas, dan Emas : Satu Tangan Seribu Panah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bekerja itu Ibadah
  • Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi
  • Jangan Malu Bekerja
  • Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID