Mubadalah.id – Di kaki Gunung Arjuno, sebuah komunitas tumbuh bukan hanya dari tanah, melainkan dari akar keimanan dan semangat pelestarian alam. Komunitas ini bernama Wonosantri Abadi, perpaduan antara “Wono” (hutan) dan “Santri”. Ini mencerminkan identitas mereka sebagai para pelestari lingkungan dengan semangat kesalehan dan pendidikan.
Berbasis di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Wonosantri menjadi salah satu model unik bagaimana ajaran Islam tidak hanya membentuk akhlak individu, tetapi juga mengilhami gerakan kolektif untuk merawat bumi. Di tengah dunia yang semakin terasing dari alam, Wonosantri tampil sebagai contoh nyata dari harmoni antara iman, alam, dan aksi sosial.
Ekoteologi Islam dalam Gerakan Wonosantri
Wonosantri Abdi tidak hanya hadir sebagai kelompok tani hutan biasa. Mereka membawa misi yang lebih luas: membumikan nilai-nilai Islam dalam relasi manusia dengan alam. Sebagai komunitas yang berlandaskan spiritualitas, mereka menghayati konsep khalifah fil ardh (pemimpin di bumi) bukan sekadar sebagai penghias ceramah, tetapi sebagai tanggung jawab nyata dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dengan legalitas sebagai Perkumpulan dan Kelompok Tani Hutan (KTH) di bawah Dinas Kehutanan Jawa Timur, Wonosantri mengelola lahan seluas 133 hektar yang melibatkan lebih dari 150 kepala keluarga. Namun tanah bukan sekadar objek ekonomi; ia adalah titipan Tuhan yang harus dijaga. Filosofi mereka, “Ikhtiar sebagai Doa Lahiriyah, dan Doa sebagai Ikhtiar Bathiniah,” menegaskan bahwa usaha pelestarian lingkungan adalah bagian dari ibadah.
Dalam praktiknya, mereka terlibat dalam konservasi hutan, reboisasi, pertanian berkelanjutan, dan pemanfaatan lahan secara ekologis. Ini bukan sekadar gerakan hijau, melainkan refleksi dari etika lingkungan Islam: menjaga mīzān (keseimbangan), menghindari fasād (kerusakan), dan menjalankan amana (tanggung jawab) terhadap bumi sebagai ciptaan Tuhan.
Kopi sebagai Medium Ibadah dan Edukasi
Salah satu wajah paling menarik dari Wonosantri adalah bagaimana mereka memosisikan kopi bukan hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai instrumen dakwah ekologis. Mereka membudidayakan Kopi Arabika Specialty dengan brand LeMar (Lembah Arjuno), serta kopi robusta dan arabika lokal lainnya. Namun yang membedakan Wonosantri dari pelaku usaha kopi pada umumnya adalah pendekatannya: menanam kopi sambil menanam nilai.
Melalui program Edukopi, Wonosantri membuka ruang pembelajaran lintas generasi dan disiplin. Edukopi menjadi tempat belajar dari hulu ke hilir, dari penanaman, pascapanen, pengolahan, hingga pengelolaan bisnis. Mahasiswa dari berbagai kampus, pelajar SMK, hingga tamu dari luar negeri seperti Jerman dan Malaysia datang untuk menyerap ilmu, tidak hanya tentang kopi, tetapi juga tentang cara hidup yang berkelanjutan.
Kopi menjadi jembatan antara ilmu, alam, dan nilai-nilai Islam. Dalam setiap cangkir yang mereka hasilkan, tersimpan cerita tentang tanah yang dirawat, air yang dijaga, dan manusia yang dihormati.
Bahkan kegiatan Ngopi sak Ngajine dijadikan sarana diskusi pemuda, menggabungkan refleksi spiritual dan perbincangan ekologi dalam suasana santai namun mendalam. Inilah cara Wonosantri menjadikan pertanian sebagai ibadah, dan pendidikan sebagai pemberdayaan.
Gerakan Pemuda dan Kolaborasi Sosial-Ekologis
Wonosantri menyadari bahwa masa depan pelestarian lingkungan bergantung pada generasi muda. Oleh karena itu, mereka membangun sinergi dengan berbagai elemen kepemudaan seperti GP Ansor, remaja masjid, komunitas ngaji, hingga para barista dan pelaku industri kreatif di Malang Raya. Lewat pendekatan grassroots, mereka menghidupkan ruang-ruang dialog di tengah masyarakat, mengajarkan bahwa mencintai alam adalah bagian dari pengabdian kepada Tuhan.
Gerakan konservasi yang dilakukan pun tidak bersifat eksklusif. Wonosantri aktif menjalin kemitraan dengan berbagai pihak: dari institusi pendidikan seperti UB, UM, dan UPN Yogya, lembaga pemerintahan seperti BPDAS Brantas, hingga menjadi binaan Bank Indonesia.
Mereka bahkan memperoleh pengakuan nasional, seperti Juara 1 Wana Lestari Nasional 2023 dan Juara Kinerja KTH Terbaik Jawa Timur—sebuah validasi bahwa gerakan berbasis iman dan komunitas bisa bersaing secara profesional di level nasional.
Kolaborasi ini bukan semata demi reputasi, tapi sebagai bentuk dakwah sosial. Dengan menggandeng pihak luar, mereka membuka ruang dialog antara agama, ilmu pengetahuan, dan praktik ekologi. Wonosantri bukan hanya komunitas tani, tetapi menjadi simpul peradaban lokal yang mengintegrasikan spiritualitas, sains, dan aksi nyata.
Menjaga Bumi Sebagai Bentuk Syukur
Wonosantri Abadi hadir sebagai jawaban atas krisis spiritual dan ekologis zaman ini. Di tengah arus modernisasi yang kerap mengorbankan alam, mereka menunjukkan bahwa Islam bisa menjadi dasar etis dan praksis untuk merawat bumi. Bahwa iman tidak hanya dilafalkan dalam doa, tetapi diwujudkan dalam cara kita memperlakukan tanah, air, pohon, dan sesama.
Melalui Wonosantri, kita belajar bahwa keberlanjutan tidak bisa hanya kita bebankan pada kebijakan pemerintah atau teknologi tinggi, tetapi harus lahir dari komunitas—dari mereka yang mencintai tanah tempat mereka berpijak. Islam mengajarkan bahwa bumi ini bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu. Wonosantri adalah penjaga titipan itu, dengan peluh, doa, dan semangat kolektif yang tak pernah padam. []