Mubadalah.id – Cerita keperkasaan dan kekuasaan begitu mewarnai kerja penulisan sejarah. Baik itu penulisan sejarah pada umumnya, bahkan hingga penulisan sejarah perempuan, sangat kental dengan heroisme.
Sejarah, Peristiwa Penting pada Masa Lalu
Kita belajar bahwa sejarah adalah peristiwa penting yang terjadi pada masa lalu. Dalam doktrin ini, orang-orang umumnya memahami peristiwa penting itu seputar momen-momen keperkasaan dan kekuasaan. Tentang sejarah orang hebat melawan penjajah, cerita-cerita heroik, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa masa lalu yang nampaknya hebat untuk kita abadikan.
Bambang Purwanto, dalam Menggugat Historiografi Indonesia, melihat mitos kandungan arti penting dari suatu masa lalu untuk dapat disebut sejarah, sebagai satu persoalan dalam historiografi. Kenapa? Dampaknya adalah banyak realitas keseharian pada masa lalu yang sebenarnya merepresentasikan kehidupan manusia itu sendiri; seperti realitas orang-orang kecil, cerita perempuan di akar rumput, dan sebagainya, malah terasa sebagai masa lalu saja dan tidak cukup penting sebagai kategori sejarah.
Berbagai peristiwa masa lalu yang tidak perkasa dan kuasa, seakan hanya peristiwa keseharian biasa. Padahal, itu adalah gambaran bagaimana manusia menjalani hidupnya pada masa lalu. Namun, kita terlanjur menganggap peristiwa penting adalah, apalagi kalau bukan, seputar keperkasaan dan kekuasaan.
Tak ayal, para sejarawan dan juga pemerintah yang bertugas di bidang sejarah lebih excited, dalam mengabadikan keperkasaan dan kekuasaan dari raja-raja atau kalangan elit di daerah mereka. Sementara, cerita orang-orang kecil maupun para perempuan di akar rumput yang jauh dari heroisme, tidak begitu membuat mereka bergairah. Tidak ada menariknya. Apa pentingnya kisah mereka?
Kelampauan dari mereka yang sebenarnya merupakan gambaran kehidupan masa lalu, namun terpandang kurang penting karena tidak heroik.
Sejarah Perempuan dan Jebakan Heroisme
Sejarah seputar kekuasaan dan keperkasaan, sebagaimana Kuntowijoyo dalam Metodologi Sejarah, merupakan dua hal yang umumnya menjadi milik laki-laki. Historiografi yang berfokus pada heroisme membuat penulisan sejarah perempuan menjadi terbelakang.
Sebab, peristiwa-peristiwa yang kita anggap sebagai kejadian penting pada masa lalu adalah seputar kegiatan dalam lingkaran aktivisme laki-laki. Hal ini tanpa sadar membuat sejarah bersifat androcentric (berpusat pada laki-laki). Ia menjadi sangat his-story dan minim her-story.
Tentu, perempuan juga punya riwayat keperkasaan dan kekuasaan. Dalam sejarah bangsa, kita mengenal Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Nurtina Gonibala Manggo, dan banyak lagi. Namun, dalam heroisme sejarah ini, aktor-aktor utamanya tetap kebanyakan laki-laki, karena kelampauan yang kita kulik sebatas pada aktivisme demikian.
Kalaupun ada aktor perempuan, seperti nama-nama yang sudah saya sebutkan, adalah mereka yang terlibat dalam arena keperkasaan dan kekuasaan. Jika perempuan-perempuan itu tidak terlibat dalam pertempuran bersama laki-laki, atau tidak punya sumbangsih yang waw, apakah kelampauan mereka menjadi cukup penting sebagai sejarah? Jawabnya, tidak, kalau kita berpegang pada mitos peristiwa penting masa lalu seputar heroisme.
Seakan hanya cerita perempuan heroik, perkasa dan kuasa, yang kita abadikan sebagai sejarah. Cerita mereka yang tidak perkasa dan kuasa, kita abaikan. Di titik ini, her-storiography sebatas menjadi nostalgia terhadap sosok-sosok perempuan perkasa dan kuasa. Hanya menjadi legitimasi superioritas masa lalu. Alih-alih menjadi kerja yang benar-benar membaca kelampauan perempuan itu sendiri.
Penulisan Sejarah Perempuan Bukan Sebatas Nostalgia Superioritas
Tentu, tulisan ini bukan untuk mengatakan heroisme perempuan dalam sejarah sebagai suatu masalah. Itu bukan masalah. Itu juga penting dalam kerja her-storiography. Sejarah perempuan-perempuan heroik menjelaskan bahwa keperkasaan dan kekuasaan bukan milik mutlak laki-laki. Aspek ini menjadi penggambaran bahwa perempuan bukan makhluk inferior.
Namun kalau benar-benar ingin melakukan her-storiography, kita harus bisa menyajikan sesuatu yang lebih. Sejarah yang tidak hanya seputar nostalgia superioritas perempuan, melainkan sejarah yang benar-benar menuliskan kehidupan perempuan pada masa lalu.
Dalam konteks ini, entah perempuan heroik di lingkar kekuasaan maupun cerita keseharian mereka di akar rumput, semua adalah peristiwa penting yang menjadi bagian dari kelampauan perempuan.
Tidak hanya sejarah perempuan penguasa, namun juga sejarah perempuan pekerja yang mengolah makanan dan menjadikan kehidupan manusia tidak mati kelaparan. Bukan hanya sejarah perempuan perkasa melawan penjajah, namun juga sejarah para perempuan bertahan hidup, meski dengan sebiji umbi, di tengah perjuangan kemerdekaan. Semua adalah peristiwa penting dalam her-storiography. []