Mubadalah.id – Idulfitri berarti hari di mana umat Muslim kembali berbuka. Maksudnya, sudah tidak dalam kewajiban puasa sebagaimana di bulan Ramadan. Al-Fithrun artinya buka puasa. Namun, makna yang lebih umum dalam masyarakat kita, Idulfitri sebagai hari kembali pada fitrah atau kembali suci.
Makna kembali suci juga tidak salah. Mengambil kata al-fithratun yang berarti suci. Secara praktik, Idulfitri memang adalah hari di mana umat Muslim sudah tidak lagi dalam kewajiban puasa Ramadan. Dan, secara dampak, puasa Ramadan seharusnya telah membawa kita pada fitrah diri sebagai manusia.
Momen untuk Kembali Suci
Ramadan tidak hanya tentang aktivitas menahan lapar dan haus, yang muaranya adalah hari kembali berbuka. Secara ideal, Ramadan juga tentang momen untuk kembali suci. Hal ini tidak lepas dari aktivitas puasa itu sendiri, yang sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Muslim; …yada’u syahwatahu wa tha’aamahu min ‘ajlii (meninggalkan (atau mengontrol) syahwat dan makan karena-Ku (Allah SWT)).
Jadi, menahan lapar dan haus hingga hari kembali berbuka, serta juga mendidik nafsu diri dalam ikhtiar pertobatan kembali suci.
Perihal penyucian diri, ada firman Allah SWT; Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya. (Q.S. al-‘Ala ayat 14). Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, mengomentari ayat ini; …thahara nafsahu min al-‘akhlaaqi ar-radziilati wa taaba’a maa ‘anzala-llahu ‘alaa ar-rasuli. Artinya, menyucikan diri dari perbuatan yang buruk dan mengikut apa yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya.
Berdasarkan makna ayat ini, puasa Ramadan sebagai momen untuk kembali suci berhubungan dengan upaya menyucikan diri dari keburukan dan meneladani kebaikan yang Nabi Muhammad SAW telah contohkan.
Menyucikan Diri dari Nafsu Menyakiti
Dalam pemahaman Ramadan sebagai momen pertobatan kembali suci, amalan puasa tidak hanya tentang memperbanyak salat sunah, tadarus, dzikir, dan lain-lain. Namun, itu juga berkaitan dengan upaya untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk; ...thahara nafsahu min al-‘akhlaaqi ar-radziilati.
Di antara keburukan itu adalah laku intoleran terhadap umat yang berbeda agama. Terlebih, dalam masyarakat kita yang plural, kekerasan terhadap pemeluk agama lain termasuk keburukan yang merusak kerukunan antarumat. Maka, bagi Muslim Nusantara, penting untuk menyucikan diri dari perbuatan buruk ini.
Dalam konteks individu, upaya itu dapat kita lakukan dengan melunturkan noda hati berupa nafsu menyakiti umat yang berbeda agama. Nafsu menyakiti yang saya maksud mencakup watak kekerasan, ego klaim kebenaran, rasa mayoritarianisme, dan berbagai hasrat diri yang bermuara pada laku intoleran terhadap pemeluk agama lain.
Jika kamu orang yang puasa, dan hidup dalam masyarakat yang beragam agama, upaya melunturkan noda ini termasuk aktivitas puasa untuk kembali suci.
Kalau sebelumnya kamu tidak senang melihat gereja di desamu, sebab noda mayoritarianisme di hatimu, maka belajarlah untuk menerima kenyataan bahwa ada umat Kristiani di sekitarmu. Dan layaknya kita, mereka pun butuh rumah ibadah. Itu contoh sederhana melunturkan nafsu menyakiti umat yang berbeda agama.
Noda yang seharusnya tidak mengotori hati alumni Ramadan.
Idulfitri: Merayakan Kesucian Hati, Merayakan Toleransi
Sucinya hati dari nafsu menyakiti umat yang berbeda agama, membawa kita pada kemampuan menjalin relasi ma’ruf antarumat. Nabi Muhammad SAW, sebagai insan yang kita yakini terjaga kesucian dirinya, termasuk sosok teladan dalam hal ini. Dalam hal menyucikan diri dengan meneladani Nabi; …taaba’a maa ‘anzala-llahu ‘alaa ar-rasuli, maka toleransi menjadi akhlak bagi alumni Ramadan.
Nabi yang suci dari nafsu menyakiti telah banyak meneladankan relasi ma’ruf antarumat beragama. Ia mendoakan orang Yahudi; Jammalakallah (semoga Allah memperindah dirimu). Ia menerima dan melindungi orang-orang Yahudi sebagai bagian dari masyarakat Madina. Dan, banyak lagi sikap toleran yang Nabi contohkan. Itu semua menggambarkan kalau hatinya suci dari noda nafsu menyakiti pemeluk agama lain.
Alumni Ramadan dalam konsep idealnya merupakan Muslim bertakwa, yang menyucikan hatinya dari nafsu menyakiti pemeluk agama lain, sehingga dirinya mampu menjalin relasi ma’ruf antarumat. Kalaupun tidak menjalin relasi antarumat, selemahnya iman alumni Ramadan adalah tidak ingin menyakiti pemeluk agama lain.
Dalam hal ini, Idulfitri dalam makna hari kembali suci, tidak hanya tentang merayakan kemenangan atas nafsu selama Ramadan, namun juga tentang merayakan toleransi atas sucinya hati dari nafsu menyakiti umat yang berbeda agama. []