Mubadalah.id – Istilah ‘santri’ di zaman sekarang sudah mengalami perluasan makna. KH Mustofa Bisri atau Gus Mus pernah mengatakan bahwa kehidupan santri bukan saja ia yang belajar di Pondok Pesantren. Santri, menurutnya, kelompok yang juga mencintai negaranya, sekaligus menghormati guru dan orang tuanya kendati keduanya telah tiada. Pendek kata, siapa saja ia yang memiliki sifat-sifat kesantrian, ia bisa kita sebut santri.
Dalam perspektif saya, kehidupan santri yang saya pahami, selain yang mondok di Pesantren, juga ia yang belajar ilmu agama kepada gurunya. Di samping itu, ia yang seorang aktivis organisasi NU serta memiliki akhlak yang baik, juga bisa kita kategorikan sebagai santri.
Nah, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, santri perlu menerapkan atau mengimplementasikan prinsip-prinsip maqashid syariah. Bagi kaum santri, istilah maqashid syariah ini bukan istilah asing lagi. Sebab saya yakin, mereka yang benar-benar santri, minimal pernah sekali mendengar istilah ini, entah di majlis ilmu atau di pengajian.
Apa itu Maqashid Syariah?
Maqashid Syariah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan syariah. Kata maqashid merupakan bentuk jamak dari ‘maqshad’ yang artinya “maksud dan tujuan”. Sedangkan syariah bermakna “hukum-hukum Allah yang tetap untuk manusia agar menjadi pedoman untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”.
Dengan demikian, maqashid syariah artinya adalah upaya manusia untuk mendapatkan solusi yang sempurna dan jalan yang benar berdasarkan sumber utama ajaran islam, al-quran dan hadis Nabi Muhammad saw. Adapun inti dari teori maqashid syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid syariah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.
Nah, penerapan maqashid syariah ini bertujuan untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Implementasi maqashid syariah terdapat dalam beragam kehidupan masyarakat.
Para fuqaha (ahli fiqih) mengklasifikasi maqashid syariah menjadi lima bagian penting, yaitu: hifdz al-din (menjaga agama), hifdz al-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-‘aql (menjaga akal), hifdz al-nasl (menjaga keturunan/keluarga), dan hifdz al-maal (menjaga kepemilikan harta).
Tingkatan Maqashid Syariah
Klasifikasi tradisional membagi maqashid menjadi tiga tingkatan yaitu keniscayaan (dharuriyat), kebutuhan (hajiyat), dan kelengkapan (tahsiniyat). Pada hakikatnya, ketiga tingkatan itu maksudnya untuk memelihara atau mewujudkan kelima pokok seperti yang saya sebutkan di atas. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda satu sama lain.
Dharuriyyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau kita sebut dengan kebutuhan primer. Bila kelima pokok itu kita abaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok itu. Sementara itu, tingkatan hajiyat disebut juga sebagai kebutuhan sekunder, yang manusia perlukan untuk mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan maupun kesempitan. Jika ia tidak ada, akan terjadi kesulitan dan kesempitan yang implikasinya tidak sampai merusak kehidupan.
Sedangkan kebutuhan dalam kelompok ketiga, yakni tahsiniyat, ialah kebutuhan yang tidak sampai kepada kebutuhan dharuriyyat atau kebutuhan hajjiyat. Namun kebutuhan ini perlu kita penuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Singkatnya, kebutuhan tahsiniyat sebagai pelengkap bagi kebutuhan dharuriyat dan hajiyat.
Bagaimana mengimplementasikan maqashid syariah?
Setelah kita memahami maqashid syariah, lalu pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sih contoh kongkrit penerapan prinsip maqashid syariah pada kehidupan sehari-hari, khususnya di kalangan kaum santri.
- Menjaga agama (hifzh din)
Memelihara agama dalam tingkat dharuriyat yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu kita abaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama. Santri menjalankan sholat lima waktu, puasa, membayar zakat, dan lain sebagainya, itu sudah termasuk hifzh din.
Selain itu, santri bisa pula menjaga agama dengan menyampaikannya (dakwah). Misalnya, kalau di era sekarang, melalui metode dakwah digital. Melakukan aktivitas podcast, atau membikin konten-konten islami yang tujuannya adalah memberi wawasan keagamaan kepada umat.
- Menjaga jiwa (hifzh nafz)
Santri berkewajiban untuk menjaga diri sendiri dan orang lain. Sehingga tidak saling melukai atau melakukan pembunuhan antar sesama manusia. Santri harapannya saling menyayangi dan berbagi kasih sayang dalam bingkai ajaran agama Islam serta yang Nabi Muhammad Saw teladankan.
Dalam upayanya menjaga jiwa, harus teriring pula dengan perilaku-perilaku yang dapat menyehatkan jiwa dan raga. Berolahraga dan mengonsumsi makanan yang bergizi, misalnya. Olahraga dan mengonsumsi makanan yang bergizi dapat menyehatkan tubuh seorang santri dan jauh dari penyakit. Maka ketika santri itu sehat, ia dapat melaksanakan perintah Allah swt dengan baik.
Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup, serta menjaga tubuh agar tetap sehat merupakan kebutuhan dharuriyat. Kemudian mengonsumsi makanan yang lezat dan mahal atau berolahraga memakai sepatu merek kelas dunia, itu merupakan kebutuhan sekunder atau hajiyat.
Menjaga Kemuliaan Manusia
- Menjaga akal (hifzh al-aql)
Hal yang membedakan manusia dan binatang adalah akal. Kedua makhluk hidup ini sama-sama miliki otak, tapi tidak dengan akal. Hanya manusia yang dikaruniai akal. Menjaga akal berarti menjaga kemuliaan manusia. Sementara merusaknya berarti meruntuhkan kemuliaan manusia.
Menjaga akal bagi santri salah satunya dengan tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang memabukkan, yang dapat merusak akal. Nabi Muhammad saw bersabda, “Segala yang memabukkan itu adalah khamar dan setiap khamar itu haram.” (HR Muslim).
Selain itu, upaya lain yang dapat seorang santri tempuh adalah dengan membaca. Membaca merupakan aktifitas yang secara langsung menstimulus akal agar mampu memahami makna yang tersirat dari setiap huruf dan kata serta yang tersurat dari makna-makna yang ada dalam bacaan tersebut.
- Menjaga keturunan (hifzh an-nasl)
Agama Islam melarang umatnya untuk berzina, maka dari itu santri wajib untuk menjaga kehormatannya. Hal-hal yang berbau zina atau mendekati zina harus dihindari oleh kaum santri. Dilarang berzina dan disyariatkannya nikah ini merupakan konsep memelihara keturunan dalam tingkatan dharuriyat.
- Menjaga harta (hifzh mal)
Konsep hifzh mal tidak hanya kita terjemahkan sebagai upaya untuk menjaga harta dari gangguan orang lain. Konsep ini juga dapat kita artikan sebagai hak seseorang untuk mendapatkan harta dengan cara yang halal, misalnya bekerja.
Kemaslahatan Hidup Santri
Harta sendiri jangan kita kategorikan berbentuk uang saja. Harta juga bisa berupa buku, sandal, laptop, dan handphone. Santri, dalam hal ini, mempunyai peranan penting untuk menjalankan prinsip hifzh mal ini. Menjaga barang-barang pribadi, ketika di Pondok atau di tempat-tempat umum, merupakan sebuah keniscayaan.
Selain itu, santri dituntut pula untuk menjaga harta milik temannya. Maka dari itu, perbuatan ghasab (mencuri sandal) temannya apalagi mencuri sandal pak Kiai, tidak kita benarkan.
Tak hanya itu, saya kira seorang santri juga perlu mengimplementasikan sikap yang dermawan. Misalnya, mendistribusikan sebagian hartanya kepada fakir miskin, anak yatim, atau kepada temannya yang membutuhkan. Ini juga termasuk konsep hifzh mal, yakni menyalurkan harta itu ke jalan Allah swt.
Dengan menjaga unsur-unsur maqashidus syariah tersebut, kemaslahatan hidup santri dapat tercapai dan mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin serta mencegah timbulnya kesulitan-kesulitan lainnya yang dapat terjadi di masa depan. Wallahu’alam Bisshawab. []