Mubadalah.id – International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional adalah hari perayaan sekaligus peringatan atas prestasi perempuan di seluruh dunia dalam ranah politik, ilmu pengetahuan, budaya, oleh raga, teknologi dan ranah lainnya. Penetapan hari perayaan ini pada 8 Maret 1978 oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Dan, setelah itu IWD terus kita peringati setiap tahunnya dengan mengusung tema yang berbeda-beda.
Pada 2023 tema IWD yang diusung oleh UN Women adalah “DigitALL: Inovation and technology for gender equality. Sementara tema dari IWD sendiri yaitu #EmbraceEquity. Meski mengusung dua tema yang berbeda, tetapi keduanya memiliki esensi yang sama yaitu menyuarakan kesetaraan dan kesempatan bagi perempuan.
Sejarah International Women’s Day
Pada awal abad ke 19 tenaga perempuan tidak dihitung sebagai pekerja produktif. Mereka dinilai sebagai pekerja domestik non produktif alias tanpa dibayar. Sementara laki-laki adalah pekerja produktif. Laki-laki dapat menjabat sebagai apa saja, bahkan melakukan pekerjaan domestik sekalipun mereka tetap terhitung sebagai pekerja produktif (pekerja yang dibayar).
Selain itu, kondisi perang dunia juga turut memetakan posisi perempuan dalam dunia kerja. Ketika perang dunia terjadi perempuan mulai bekerja di luar rumah dan memproduksi pakaian seragam tentara, senjata, dan juga turut serta sebagai tenaga medis palang Merah.
Hal ini tentunya merupakan angin segar bagi para perempuan pekerja. Akhirnya kesempatan untuk bekerja di ranah non-domestik mereka dapatkan juga. Tetapi sayangnya meski bekerja di luar ranah domestik, perempuan belum mendapat hak-haknya sebagai pekerja. Maka dari itu pada akhir abad ke-19 perempuan-perempuan pekerja mengorganisir diri. Mereka umumnya bergabung dalam partai sosialis yang berkembang di Amerika dan Inggris.
Perempuan-perempuan pekerja yang bergabung dengan partai sosialis bersuara sangat lantang atas hak-hak perempuan yang terabaikan oleh para buruh laki-laki. Kemudian mereka juga menuntut lingkungan kerja lebih baik, upah yang layak, dan jam kerja yang lebih manusiawi.
Maka, pada akhir abad ke-19 inilah momentum bersejarah terjadi. Momentum tersebut adalah berupa konsolidadi diri sebagai pekerja yang memperjuangkan haknya. Dan pada 8 Maret 1957, buruh perempuan pabrik garmen di New York melakukan aksi untuk memperjuangkan kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang rendah. Selanjutnya di tanggal yang sama pada tahun 1908 tidak kurang dari 15.000 buruh perempuan di New York turun ke jalan untuk memperjuangkan jam kerja yang lebih pendek, dan menuntut hak suara bagi perempuan.
Pengakuan Dunia terhadap Kiprah Perempuan
Meski dalam sejarahnya IWD adalah perjuangan kelas pekerja di Amerika dan Inggris, tetapi hal tersebut adalah pijakan awal untuk pengakuan seluruh negara di dunia atas kerja perempuan. Sehingga pada tahun 1910 pada Konferensi Kaum Sosialis Internasional di Swis, Clara Zetkin (aktivis sosialis) mengusulkan perlu adanya peringatan hari perempuan. Kemudian usulan tersebut menjadi kesepakatan bersama dari delegasi 17 negara.
Tahun-tahun berikutnya hingga tahun 1917 peringatan IWD mereka laksanakan pada akhir bulan Februari hingga awal Maret. Selanjutnya menjelang terjadinya perang dunia pertama. Kemudian menjadi momentum bersama hari perempuan internasional secara serentak setiap tahun pada 8 Maret.
Di awal abad ke-20, perempuan tidak hanya turun ke jalan untuk menuntut haknya agar mendapatkan upah yang layak dan jam kerja yang lebih pendek. Pada tahun 1913 perempuan-perempuan Rusia turun ke jalan untuk menolak perang. Dan, pada 8 Maret 1917 terjadi aksi mogok yang menuntut berhentinya Perang Dunia. Aksi tersebut terkenal sebagai aksi ‘roti dan perdamaian.’
Tantangan IWD Hari Ini
Sejak penetapan sebagai hari internasional untuk perempuan oleh PBB, IWD terus mengusung tema yang berbeda-beda setiap tahunnya. Dan pada tahun 2023 temanya adalah DigitALL: Inovation and technology for gender equality.
Memang perlu kita sadari bahwa teknologi digital adalah sebuah keniscayaan di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Tema ini mengajak perempuan-perempuan untuk melek teknologi digital. Mengapa demikian? Hari ini kesempatan untuk berkiprah di dunia teknologi digital terbuka luas. Tidak hanya laki-laki yang dapat berperan di dalamnya, tetapi perempuan juga diberikan kesempatan dan peluang yang setara.
Tetapi, kejahatan gender berbasis digital (online) juga terjadi hari ini. Data dari Komnas Perempuan menyatakan bahwa laporan kasus kekerasan berbasis gender online menempati posisi tertinggi. Yaitu mencakup 69% dari total kasus yang terhimpun oleh Komnas Perempuan pada tahun 2022.
Artinya, selain ada peluang yang baik dengan hadirnya teknologi digital, ancaman bahaya kekerasan berbasis online juga nyata di depan mata. Maka kita pandang penting untuk memberikan edukasi terkait digital untuk perempuan-perempuan. Khusunya bagi mereka yang sering berselancar di dunia maya.
Sementara, tema yang diusung oleh IWD 2023 adalah #EmbraceEquity. Tema ini bertujuan untuk mengusung nilai-nilai inklusifitas demi dunia yang bebas dari bias, stereotipe, dan diskriminasi. Selain itu, tema ini kira-kira mengajak perempuan-perempuan seluruh dunia untuk saling merangkul dan berpegangan tangan di atas perbedaan yang ada. Karena perbedaan yang ada di atas dunia adalah penuh dengan makna dan tentunya harus kita rayakan dengan riang gembira. Perbedaan bukanlah sesuatu yang harus kita cari titik samanya. Bukan juga untuk kita cemooh apalagi kita diskriminasi.
IWD dan Perempuan Indonesia
Sebagai salah satu negara yang merayakan IWD, Indonesia turut menyuarakan tema-tema yang diusung baik oleh UN Women atau oleh IWD. Tentu perayaan dan peringatan IWD di Indonesia bukan hal yang datang dari ruang hampa, pasti penuh akan makna dan sejarah.
Coba kita sedikit menoleh ke belakang, di era kolonial citra perempuan sangat buram dan buruk. Perempuan Indonesia disebut-sebut sebagai ‘gundik’ orang Eropa. Selain itu perempuan pribumi juga tidak memiliki status politik, sehingga mereka tidak dapat terpilih atau memilih dalam kontestasi demokrasi waktu itu.
Hal yang lain lagi adalah perempuan-perempuan Indonesia di era kolonial tidak memiliki akses terhadap pendidikan. Termasuk perempuan-perempuan dari kalangan priyai, mereka juga dihargai sama rendahnya dengan perempuan lain. Memang, dari sini kemudian bermunculan tokoh-tokoh pemberdayaan perempuan terutama di bidang pendidikan seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Roehana Koedoes, dan Maria Walanda Maramis.
Dari nostalgia yang kelam atas kondisi perempuan Indonesia, tentunya peringatan IWD adalah merupakan selebrasi sekaligus juga tantangan bagi perempuan Indonesia. Sebuah selebrasi karena perempuan-perempuan Indonesia berhasil berdaya dan keluar dari stereotipe negatif yang terkenal sebagai gundik dan dipekerjakan tidak layak oleh bangsa lian. Ditambah, perempuan Indonesia juga kini mampu dan bebas melenggang ke ruang publik dan ruang demokrasi.
Tetapi, yang perlu kita ingat adalah IWD bukan hanya sebatas selebrasi atas perjuangan-perjuangan perempuan yang berhasil kita lalui. IWD adalah perjuangan jangka panjang yang harus tetap kita upayakan secara terus menerus. Hal ini karena masih banyak pekerjaan rumah di hadapan kita yang terus bermunculan dan antre untuk kita selesaikan. Karena zaman terus bergerak, dan perempuan terus bertumbuh. Sehingga persoalan yang menyangkut perempuan pun akan terus bermunculan.
Maka dari itu, jangan biarkan IWD hanya sebatas selebrasi tanpa terus bertumbuh dan melakukan edukasi terhadap perempuan-perempuan Indonesia. Selamat Hari Perempuan Internasional! []