• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Peran Pesantren dalam Kehidupan Kartini

Kartini resah pada pendidikan agama yang membungkam tanya, menumpulkan logika, dan meminggirkan makna.

Thoah Jafar Thoah Jafar
21/04/2025
in Publik
0
Peran Pesantren

Peran Pesantren

760
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bukan Eropa yang mengislamkan Kartini. Bukan pula Belanda yang mengenalkannya pada makna. Justru peran pesantren, lembaga yang dulu dianggap pinggiran, yang membalikkan arah pikirnya tentang iman. Kartini pernah kecewa pada agama, tapi bukan karena ia membenci nilai-nilainya.

Kartini kecewa karena berhadapan dengan agama tanpa pemahaman. Kitab suci disucikan sampai-sampai tak boleh kita terjemahkan. Bahasa Arab dianggap terlalu mulia untuk terjamah lidah Jawa. Dan di situ, kebutaan spiritual justru terlanggengkan oleh semangat semu menjaga kesakralan.

Kartini tidak melawan Islam, tetapi menantang kebekuan dalam cara menyampaikan Islam. Ia resah pada pendidikan agama yang membungkam tanya, menumpulkan logika, dan meminggirkan makna. Kartini rindu Islam yang hidup, yang masuk akal, menyentuh hati, dan dekat dengan keseharian.

Maka, ketika tafsir pegon dari Mbah KH Sholeh Darat datang menghampirinya, kegelisahan itu seperti menemukan rumah. Untuk pertama kalinya, Surat Al-Fatihah tak sekadar ia dengar, tetapi mampu ia pahami. Dari situlah muncul kembali cinta, bukan karena terwariskan, tapi karena kita kenali.

Menilik Peran Pesantren

Di sinilah peran pesantren menunjukkan kelasnya. Bukan hanya institusi pendidikan, tetapi ruang budaya, spiritual, dan intelektual yang menyatukan wahyu dan realitas. Pesantren membumikan kitab-kitab dengan bahasa rakyat. Mengajak santri berpikir, bukan sekadar tunduk, seperti yang hari ini banyak dituding atau orang-orang salahpahami.

Baca Juga:

Kisah Sopyah dan Pentingnya Pendidikan bagi Masa Depan Perempuan

Sejarah Kartini (1879-1904) dan Pergolakan Feminis Dunia Saat Itu

Kartini Tanpa Kebaya

Kebaya, dari Pakaian Hingga Simbol Perlawanan Perempuan

Guru di pesantren tidak hanya mengajar, tetapi menanamkan adab berpikir dan kerendahan hati. Inilah Islam yang Kartini cari, Islam yang diterjemahkan, kita mengerti, dan kita rasakan. Islam yang tidak anti tanya, tidak menakutkan, dan tidak asing dari kehidupan.

Karena, sebagaimana firman Allah Swt:

ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ

“Allah Pelindung orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” (QS. Al-Baqarah: 257)

Ayat ini adalah bentuk kehadiran Allah dalam membimbing orang-orang beriman menuju ilmu dan pemahaman yang mengeluarkan mereka dari kebodohan. Dan dalam konteks Kartini, cahaya itu datang dari metode pesantren yang tidak memisahkan nalar dari iman. Model inilah yang berhasil menyelamatkan Kartini dari kekecewaan, bukan dogma yang tak bisa ia pertanyakan, bukan pelajaran agama yang berjarak dengan nalar dan batin.

Meneguhkan Kembali Peran Pesantren

Akan tetapi, hari ini, pesantren tidak hanya perlu bangga karena pernah menerangi Kartini. Lebih dari itu, pesantren harus kembali meneguhkan jati diri sebagai tempat bertemunya kitab dan konteks, antara teks dan akal, antara wahyu dan budaya.

Tafsir pegon bukan sekadar warisan, tapi metode berpikir. Islam tidak hanya perlu kita ajarkan, tapi kita manusiakan. Sebab keimanan tanpa pemahaman akan mudah tergelincir, dan pemahaman tanpa kehangatan akan kehilangan ruh.

Di tengah ledakan digital, banjir informasi, dan kebisingan ideologi hari ini, model pendidikan ala pesantren menjadi semakin relevan. Pesantren harus tetap menjadi ruang yang ramah untuk berpikir, bersuara, dan mencari makna.

Di sanalah tempat paling mungkin bagi lahirnya Kartini-Kartini baru yang kritis tetapi taat. Salehah tetapi intelektual, yang tidak takut bertanya dan tidak ragu mencintai agamanya. Dan semua itu kita mulai dari cara menjelaskan Tuhan kepada manusia, seperti yang Mbah Sholeh Darat lakukan kepada Kartini.

Peran pesantren yang seperti itulah, yang layak menyandang nama “Pesantren Kartini.” Wallahu a’lam bis-shawab. []

 

Tags: emansipasihari kartinikiaiMbah Sholeh DaratPeran PesantrenSantri
Thoah Jafar

Thoah Jafar

Pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version