• Login
  • Register
Sabtu, 19 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Peran Pesantren dalam Kehidupan Kartini

Kartini resah pada pendidikan agama yang membungkam tanya, menumpulkan logika, dan meminggirkan makna.

Thoah Jafar Thoah Jafar
21/04/2025
in Publik
0
Peran Pesantren

Peran Pesantren

760
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bukan Eropa yang mengislamkan Kartini. Bukan pula Belanda yang mengenalkannya pada makna. Justru peran pesantren, lembaga yang dulu dianggap pinggiran, yang membalikkan arah pikirnya tentang iman. Kartini pernah kecewa pada agama, tapi bukan karena ia membenci nilai-nilainya.

Kartini kecewa karena berhadapan dengan agama tanpa pemahaman. Kitab suci disucikan sampai-sampai tak boleh kita terjemahkan. Bahasa Arab dianggap terlalu mulia untuk terjamah lidah Jawa. Dan di situ, kebutaan spiritual justru terlanggengkan oleh semangat semu menjaga kesakralan.

Kartini tidak melawan Islam, tetapi menantang kebekuan dalam cara menyampaikan Islam. Ia resah pada pendidikan agama yang membungkam tanya, menumpulkan logika, dan meminggirkan makna. Kartini rindu Islam yang hidup, yang masuk akal, menyentuh hati, dan dekat dengan keseharian.

Maka, ketika tafsir pegon dari Mbah KH Sholeh Darat datang menghampirinya, kegelisahan itu seperti menemukan rumah. Untuk pertama kalinya, Surat Al-Fatihah tak sekadar ia dengar, tetapi mampu ia pahami. Dari situlah muncul kembali cinta, bukan karena terwariskan, tapi karena kita kenali.

Menilik Peran Pesantren

Di sinilah peran pesantren menunjukkan kelasnya. Bukan hanya institusi pendidikan, tetapi ruang budaya, spiritual, dan intelektual yang menyatukan wahyu dan realitas. Pesantren membumikan kitab-kitab dengan bahasa rakyat. Mengajak santri berpikir, bukan sekadar tunduk, seperti yang hari ini banyak dituding atau orang-orang salahpahami.

Baca Juga:

Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih

Kisah Sopyah dan Pentingnya Pendidikan bagi Masa Depan Perempuan

Sejarah Kartini (1879-1904) dan Pergolakan Feminis Dunia Saat Itu

Kartini Tanpa Kebaya

Guru di pesantren tidak hanya mengajar, tetapi menanamkan adab berpikir dan kerendahan hati. Inilah Islam yang Kartini cari, Islam yang diterjemahkan, kita mengerti, dan kita rasakan. Islam yang tidak anti tanya, tidak menakutkan, dan tidak asing dari kehidupan.

Karena, sebagaimana firman Allah Swt:

ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ

“Allah Pelindung orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” (QS. Al-Baqarah: 257)

Ayat ini adalah bentuk kehadiran Allah dalam membimbing orang-orang beriman menuju ilmu dan pemahaman yang mengeluarkan mereka dari kebodohan. Dan dalam konteks Kartini, cahaya itu datang dari metode pesantren yang tidak memisahkan nalar dari iman. Model inilah yang berhasil menyelamatkan Kartini dari kekecewaan, bukan dogma yang tak bisa ia pertanyakan, bukan pelajaran agama yang berjarak dengan nalar dan batin.

Meneguhkan Kembali Peran Pesantren

Akan tetapi, hari ini, pesantren tidak hanya perlu bangga karena pernah menerangi Kartini. Lebih dari itu, pesantren harus kembali meneguhkan jati diri sebagai tempat bertemunya kitab dan konteks, antara teks dan akal, antara wahyu dan budaya.

Tafsir pegon bukan sekadar warisan, tapi metode berpikir. Islam tidak hanya perlu kita ajarkan, tapi kita manusiakan. Sebab keimanan tanpa pemahaman akan mudah tergelincir, dan pemahaman tanpa kehangatan akan kehilangan ruh.

Di tengah ledakan digital, banjir informasi, dan kebisingan ideologi hari ini, model pendidikan ala pesantren menjadi semakin relevan. Pesantren harus tetap menjadi ruang yang ramah untuk berpikir, bersuara, dan mencari makna.

Di sanalah tempat paling mungkin bagi lahirnya Kartini-Kartini baru yang kritis tetapi taat. Salehah tetapi intelektual, yang tidak takut bertanya dan tidak ragu mencintai agamanya. Dan semua itu kita mulai dari cara menjelaskan Tuhan kepada manusia, seperti yang Mbah Sholeh Darat lakukan kepada Kartini.

Peran pesantren yang seperti itulah, yang layak menyandang nama “Pesantren Kartini.” Wallahu a’lam bis-shawab. []

 

Tags: emansipasihari kartinikiaiMbah Sholeh DaratPeran PesantrenSantri
Thoah Jafar

Thoah Jafar

Pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon

Terkait Posts

COC

COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

18 Juli 2025
Sirkus

Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan

17 Juli 2025
Disabilitas dan Kemiskinan

Disabilitas dan Kemiskinan adalah Siklus Setan, Kok Bisa? 

17 Juli 2025
Wonosantri Abadi

Harmoni Iman dan Ekologi: Relasi Islam dan Lingkungan dari Komunitas Wonosantri Abadi

17 Juli 2025
Zakat Profesi

Ketika Zakat Profesi Dipotong Otomatis, Apakah Ini Sudah Adil?

16 Juli 2025
Representasi Difabel

Dari Layar Kaca ke Layar Sentuh: Representasi Difabel dalam Pergeseran Teknologi Media

16 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan
  • Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID