• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Senyuman Paus Fransiskus: Warisan Damai yang Menyala

Paus Fransiskus telah pergi, tapi senyumnya tetap bercahaya di hati mereka yang mencintai damai.

Siti Rohmah Siti Rohmah
23/04/2025
in Publik
0
Paus Fransiskus

Paus Fransiskus

1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam lautan konflik dan dunia yang kerap diliputi oleh kebisingan politik serta luka-luka sosial, senyuman Paus Fransiskus menjadi oase yang menenangkan. Ia bukan hanya pemimpin tertinggi Gereja Katolik, tetapi juga simbol moral dan spiritual yang melampaui batas agama.

Kini, ketika dunia berkabung atas kepergiannya, kita tidak hanya kehilangan seorang tokoh agama, tapi juga kehilangan seorang filsuf hidup, seorang bapak yang lembut, dan duta damai sejati. Namun, senyumnya tetap tinggal bukan sekadar dalam kenangan, tapi dalam kata-kata, dan tindakannya yang mengakar dalam etika kasih dan teologi pengharapan.

Sebagai manusia, kita memang akan berlalu, namun nilai yang kita tanamkan dalam cinta akan hidup jauh melebihi jasad yang fana. Itulah warisan Paus Fransiskus: cinta, damai, dan kemanusiaan.

Paus Fransiskus dan Wajah Cinta Universal

Dalam filsafat Islam, ada konsep tentang wujūd (eksistensi) yang diterangi oleh maḥabbah (cinta ilahiah). Cinta, dalam pemahaman para sufi dan filsuf Muslim seperti Ibnu Arabi dan Al-Ghazali, adalah dasar dari segala penciptaan. Allah menciptakan karena cinta, dan manusia hidup untuk mencintai sesama sebagai cerminan cinta kepada Sang Pencipta.

Paus Fransiskus menunjukkan hal ini dalam praktik. Ia memeluk yang terpinggirkan, mengunjungi para pengungsi, merangkul mereka yang selama ini dicap “berbeda.”

Dalam Islam, tindakan seperti ini sangat dijunjung tinggi. Sebab Allah SWT berfirman dalam Qur’an: “Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra: 70). Maka setiap manusia, tanpa memandang agama atau latar belakangnya, memiliki kehormatan yang harus kita jaga.

Baca Juga:

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Senyuman Paus Fransiskus adalah manifestasi dari pengakuan terhadap kemuliaan manusia tersebut. Ia melihat sesama bukan dari pakaian agamanya, melainkan dari kemanusiaannya. Inilah ajaran tauhid sosial dalam Islam: bahwa semua manusia adalah ciptaan Allah yang satu, dan kedamaian adalah bentuk tertinggi dari pengabdian kepada-Nya.

Islam dan Perdamaian

Islam adalah agama salam perdamaian. Bahkan ucapan sehari-hari seorang Muslim kita mulai dengan “Assalamu’alaikum”, yang berarti “semoga keselamatan dan kedamaian tercurah atasmu.” Dalam teologi Islam, Allah SWT adalah As-Salam (Yang Maha Damai), dan hamba-Nya yang mulia adalah mereka yang membawa damai.

Paus Fransiskus, meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, telah menjadi duta As-Salam itu. Ia datang ke negara-negara Islam dengan penuh penghormatan. Ia duduk sejajar dengan para ulama, berdialog dengan adab, menyapa dengan hati. Pada tahun 2019, ia menandatangani Document on Human Fraternity di Abu Dhabi bersama Grand Syeikh Al-Azhar Ahmad Al-Tayyeb sebuah tonggak bersejarah dalam dialog lintas agama.

Dari perspektif teologi Islam, tindakan itu adalah bentuk nyata dari ta’aruf (saling mengenal) sebagaimana diajarkan dalam QS. Al-Hujurat:13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal…”

Paus Fransiskus tidak datang untuk menyebarkan agamanya, tetapi untuk memperluas kemanusiaan. Itulah perdamaian sejati bukan menghapus perbedaan, tapi merangkulnya dalam semangat kasih dan saling menghormati.

Hikmah dalam Senyum dan Tindakan

Dalam filsafat Islam, hikmah (kebijaksanaan) adalah buah dari pemahaman mendalam terhadap hakikat. Seorang bijak adalah mereka yang mampu melihat batin dari lahir, ruh dari bentuk. Paus Fransiskus adalah sosok yang tampak mempraktikkan hikmah dalam keseharian. Ia tidak hanya berbicara, tapi memberi teladan. Ia tidak mencari popularitas, tapi keikhlasan.

Seperti halnya para hukama’ (filsuf bijak) dalam Islam, ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak harus kita teriakkan keras-keras. Terkadang cukup dengan senyum, cukup dengan mendengarkan, cukup dengan memegang tangan orang yang kesepian. Dalam tradisi sufi, ini disebut sukoon: keheningan yang menyembuhkan, ketenangan yang membimbing.

Senyuman Paus Fransiskus adalah sukoon itu sendiri. Ia hadir seperti angin lembut dalam badai. Di tengah dunia yang gaduh, ia memilih diam yang dalam dan senyum yang luas. Ia tidak banyak mengutuk, tapi banyak mengampuni. Ia tidak menyalahkan, tapi merangkul. Ia adalah cermin dari nilai-nilai ihsan dalam Islam: berbuat kebaikan seolah-olah kita melihat Allah.

Warisan yang Harus Terjaga

Kini, ketika beliau telah tiada, umat Islam dan umat manusia tidak hanya berkabung, tetapi juga dihadapkan pada tanggung jawab. Warisan Paus Fransiskus bukan milik Vatikan semata. Ia milik dunia. Ia milik siapa pun yang mencintai perdamaian, kebenaran, dan keadilan.

Dalam Islam, ketika seseorang wafat, amalnya terputus kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh. Kita mungkin tidak bisa menjadi “anak biologis” Paus Fransiskus, tapi kita bisa menjadi anak ideologisnya dengan mendoakan, melanjutkan, dan menjaga ajaran cintanya.

Warisan itu adalah keberanian untuk mendengarkan yang berbeda. Ia adalah kekuatan untuk memaafkan. Warisan itu adalah kesediaan untuk hadir tanpa menghakimi. Dan semua itu, dalam Islam, adalah bagian dari akhlak mulia inti dari ajaran Nabi Muhammad SAW.

Menjadi Pelanjut Senyuman Paus Fransiskus

Paus Fransiskus telah pergi, tapi senyumnya tetap bercahaya di hati mereka yang mencintai damai. Ia meninggalkan dunia dengan wajah tenang, seperti seorang sufi yang telah menyelesaikan rihlahnya. Dan kini, senyum itu berpindah tangan kepada kita.

Apakah kita akan diam dan kembali kepada kebisingan? Ataukah kita akan melanjutkan senyum itu, dalam langkah-langkah kecil yang penuh makna?

Dalam Islam, setiap kebaikan yang terus mengalir dari seseorang yang wafat adalah cahaya yang menyambung ke langit. Maka mari jadikan hidup kita bagian dari cahaya itu. Mari jadikan tangan kita pembawa damai. Dan mari jadikan senyum kita sedekah yang menyambung cinta-cinta yang tak mengenal batas iman, bangsa, atau bahasa.

Karena seperti yang Jalaluddin Rumi katakan: “Jadilah cahaya, bukan penilai. Jadilah pelabuhan, bukan hakim. Jadilah pintu yang terbuka, bukan pagar yang menutup.” Paus Fransiskus adalah pintu itu. Kini giliran kita untuk menjaganya tetap terbuka. []

 

Tags: agamaCahayaCintaimanJalaluddin RumikatolikPaus FransiskusPerdamaian
Siti Rohmah

Siti Rohmah

Penulis merupakan alumni Aqidah Filsafat UIN Bandung sekaligus Mahasiswi Pascasarjana Studi Agama-Agama UIN Bandung

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pengertian dan Hadits Larangan Melakukan Azl
  • Rahasia Tetap Berpikir Positif Setiap Hari, Meski Dunia Tak Bersahabat
  • KB dalam Hadits
  • Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi
  • Menyusui Anak dalam Pandangan Islam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version