Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan KH. Husein Muhammad tentang interpretasi Gus Dur atas Al-Kulliyyat al-Khams, maka Gus Dur memaknainya secara lebih luas, inklusif, dan kontekstual.
Gus Dur tak selalu patuh pada tafsir-tafsir konvensional-konservatif, meski tetap menghargainya dan mengadopsinya untuk mendukung sebagian pikiran-pikirannya.
Dalam tafsir-tafsir konvensional, hak perlindungan atas agama/keyakinan (hifzh al-din), misalnya, memiliki konsekuensi kewajiban jihad, larangan murtad (pindah agama) dan bidah (menyeleweng).
Jihad, dalam terma konvensional, hampir selalu dimaknai perang militeristik dengan seluruh agresivitasnya. Gus Dur justru memaknainya secara terbalik.
Untuk tema ini, Gus Dur memperjuangkan sistem sosial yang anti kekerasan, penghapusan hukuman mati.
Termasuk menolak hukuman mati untuk orang yang murtad, mendukung kebebasan beragama/berkeyakinan, dan menghargai inovasi-inovasi dan kreativitas kebudayaan dan ilmu pengetahuan manusia yang beragam.
Komitmen Gus Dur untuk hal ini ditunjukkan, antara lain, dengan keputusannya memberikan hak hidup agama Konghucu.
Gus Dur juga tidak memaknai jihad sebagai perang militeristik, melainkan sebuah perjuangan dalam maknanya yang luas.
Keberaniannya mengusulkan pencabutan atas TAP MPRS XXV tahun 1966, misalnya, jelas menunjukkan atas perjuangan visi tersebut.
Meski usulan ini mengundang kontroversi hebat di tengah-tengah masyarakat dan Gus Dur banyak yang menuduh sebagai orang yang hendak menghidupkan komunisme yang ateistik, tetapi ia tetap teguh dengan pendiriannya.
Dalam wacana konvensional tentang hifzh al-nafs (hak hidup/life right), yang banyak menginterpretasikan antara lain sebagai kewajiban qishash (hukuman yang sama/pembalasan). Sementara, Gus Dur justru menentang hukuman mati.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad, dalam buku Samudra Kezuhudan Gus Dur.