Mubadalah.id – Islam datang untuk mengubah akhlak, bukan identitas budaya. Selain itu, Islam juga hadir sebagai risalah terakhir, yang kita gadang-gadang dapat menjadi jawaban atas segala problematika zaman. Alih-alih menjadi jawaban, umat Islam saat ini masih saja bersiteru dalam ruang perbedaan madzhab, keyakinan, suku, bahasa, dan masih banyak lagi.
Umat Islam belum mampu sepenuhnya memahami, bagaimana perbedaan merupakan rahmat dari-Nya yang seharusnya kita syukuri. Sehingga, sangat tidak bisa terelakkan jika masih saja terjadi konflik yang mengatasnamakan agama terjadi di berbagai belahan dunia.
Konflik yang tidak saja berskala kecil, tetapi juga berskala besar yang memberikan dampak kerugian pada hilangnya materi, nyawa dan juga keamanan bagi keselamatan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Agama telah menjadi senjata yang mematikan, bukan menghidupkan dengan penuh kebahagiaan.
Jika telah demikian, maqashid syariah yang utama maupun segala bentuk turunannya sangat mustahil untuk kita wujudkan dan kita rasakan. Sudah saatnya umat Islam menata ulang pemahamannya terkait visi misi Islam yang sesungguhnya. Agar semua yang berkaitan dengan agama tersebut menjadi rahmat untuk seluruh alam. Bukan rahmat bagi diri atau kelompoknya saja.
Menyempurnakan Akhlak Mulia
Innamaa bu’itstu li utammima makaarim al-akhlaaq. Pernyataan Kanjeng Nabi tersebut sungguh masyhur dan tidak ada umat Islam yang tidak mengetahuinya. Untuk menyempurnakan akhlak madzmumah menjadi karimah. Akhlak madzmumah merupakan akhlak yang menggerus nilai-nilai keadilan Tuhan yang berada di bumi, yang sifatnya intimidasi, diskriminasi, dan monopoli atas pihak yang lain.
Menyempurnakan tidak sama dengan mengganti, hingga dapat kita maknai, jika telah ada kebaikan dan karimah yang tidak madarat atas hak asasi manusia di era sebelumnya. Maka tidak perlu untuk kita sempurnakan dan kita formalisasi dengan paksa atas risalah tersebut. Di mana yang kita sempurnakan akhlak lho, bukan identitas leluhur dan juga kebiasaan baik yang sudah membudaya di masyarakat tertentu.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya mengungkap berbagai data penelitiannya, tentang bagaimana kondisi alam dan geografis sebuah wilayah sangat berpengaruh pada identitas suatu kelompok manusia. Yakni dari profesinya, warna kulitnya, karakternya, makanannya, dan masih banyak lagi.
Jadi, keberagaman itu adalah keniscayaan. Sangat sulit bagi kita untuk menjadikan orang-orang dengan kondisi kulit gelap karena tinggal di daerah dengan sinar cahaya yang sangat berlimpah untuk memiliki kulit yang terang.
Sangat sulit bagi kita meminta orang-orang dengan mata pencaharian sebagai pedagang ataupun peternak di tengah gurun untuk menjadi petani padi atau juga nelayan ikan di lautan. Itu sungguh sangat merepotkan dan kecil kemungkinan untuk berhasil.
Keragaman Bumi
Kondisi bumi sebahaimana penjelasan Ibnu Khaldun, dengan berbagai musimnya, dan penerimaan cahaya mataharinya, sungguh membentuk karakter dan budaya kehidupan masyarakat yang berbeda-beda. Bahkan juga terhadap kondisi fisiknya. Apakah kita tetap ingin memaksa untuk menyeragamkannya? Sangat mustahil.
Oleh karena itu, kondisi yang Ibnu Khaldun catat tersebut sangat relevan dengan bunyi Alquran Surah Al-Hujurat ayat 13. Di mana memang Tuhan menjadikan kita semua ini berbeda dalam jenis kelamin, suku dan bangsa untuk saling mengenal, hingga kemudian saling mengasihi dan menyayangi. Bukan justru saling menghakimi dengan perspektif tunggal yang kita miliki.
Ayat tersebut juga meneguhkan, bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang tidak perlu selalu kita ributkan. Karena tidak akan ada ujungnya, dan semua pihak memiliki standar kebaikannya masing-masing bagi diri maupun kelompoknya. Bumi Tuhan itu tidak saja tanah yang kita pijak dengan segala udara yang kita hirup. Tapi bumi Tuhan juga diinjak oleh orang lain di belahan dataran, maupun lautan yang lain dari segala penjuru mata angin. Di mana hanya Dia Yang Mengetahui batas ujungnya.
Pendekatan Dakwah Walisongo
Para Walisongo sangat memahami teks Alquran dan Sunnah dengan berbagai pendekatan. Tidak saja pendekatan tunggal tekstual yang bersifat qawliyah, tetapi juga pendekatan kontekstual lainnya yang bersifat kawniyah. Sunan Kalijaga membawa ajaran tauhid melalui budaya pertunjukan wayang tanpa merubah lakonnya. Bahkan pakaian lurik dan blangkon yang nenjadi identitas sukunya sangat melekat pada potret beliau.
Sunan Kudus tetap membawa arsitektur candi pada bangunan masjid yang didirikannya, bahkan melarang penyembelihan sapi yang masyarakat sekitar keramatkan, walaupun syara menghalalkannya. Sunan Ampel dengan pondok dan santrinya, juga dengan aksara pegonnya, mengukuhkan bahwa tradisi dan budaya baik tidak perlu kita ganti. Karena visi misi Islam yang sejati adalah menjadi rahmat untuk seluruh makhluk di bumi dengan akhlak baik yang tertanam dari dalam hati.
Dari sini kita akan memahami pernyataan Pak Karno yang menyatakan bahwa kalau jadi orang Hindu, jangan jadi orang India. Sedangkan kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Lalu, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat-budaya nusantara yang kaya raya ini. Juga pernyataan Gus Dur yang berbunyi “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita. Pertahankan apa yang menjadi milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan budaya Arabnya.”
Jika umat Islam dan pemeluk agama lainnya memahami hal ini dengan sangat baik, tentu visi misi baik seluruh keyakinan akan tercipta. Yakni dunia yang tenang dan damai dari segala bentuk huru-hara. Tidak ada yang memaksa, tidak ada yang kita paksa. Lalu, tidak ada yang merasa kita rugikan, dan tidak ada identitas budaya yang berubah. Semuanya tetap menjadi beragam sebagaimana kuasa yang Tuhan kehendaki. []