Semua yang kulakukan sebagai suami sepuluh tahun terakhir, rasanya bagai asap yang menguap di udara. Untuk pertama kalinya merasa tak diinginkan saat perempuanku membuat pernyataan mengejutkan sore ini.
“Aku tak ingin bersama kamu di surga nanti. Cukup di dunia. Di akhirat kita masing-masing saja.”
Ucapan itu meluncur bagai es balok yang menghantam batok kepala. Bukan hanya karena isinya, tetapi juga ekspresi saat mengatakannya. Satu dasawarsa menikahi Nina, membuatku cukup terlatih bermain teka-teki. Wajah dan lidahnya seringkali tidak sinkron dengan isi hati dan kepalanya.
Hari ini Nina membuatku siaga satu. Pertama, dia menggunakan aku dan kamu. Sapaan yang sudah lama menghilang sejak kami menjadi suami istri. Kedua, wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Tak ada rengekan atau rajukan sebagaimana selalu dia tunjukkan saat mengeluhkan naiknya tarif dasar listrik. Wajah datar dan suara lempengnya hanya menunjukkan satu hal. Nina benar-benar serius dengan ucapanya.
“Memangnya kenapa Dinda gak mau sama Kanda di surga?” Seakan ada yang menggelitik perut, kugunakan lagi panggilan mesra saat awal menikah dulu. Nina memicingkan mata. Dia tahu jurus pertama kalau aku mau merayu. Kepalanya hanya menggeleng pelan sebelum meninggalkanku menuju dapur.
Kuhela napas panjang. Tingkah perempuan memang kadang menyebalkan. Selalu membuat segalanya tampak ruwet di mata lelaki. Nina tenggelam lama di dapur. Menyiapkan makan malam yang kuhitung mungkin sudah lebih dari tiga ribu kali ia lakukan semenjak jadi istriku.
Pikiranku masih menerka-nerka maksud ucapan Nina. Baru minggu kemarin dia dengan semangat emak-emak mengejar diskonan bilang kalau kami perlu merumuskan kembali tujuan pernikahan. Agar bisa bersama-sama satu keluarga sehidup sesurga. Kenapa bisa berubah lagi? Apa karena mantan cinta pertamanya yang sebulan lalu bertemu tak sengaja itu? Mengingatnya saja ulu hatiku langsung ngilu. Selain tajir, siapa pun akan setuju kalau Rio lebih ganteng dari aku. Sialan!
Kutengok Nina yang sedang mengaduk masakannya di atas kompor. Kulirik sekilas potongan wortel berenang bersama pentol bakso. Sup lagi? Ini keempat kalinya Nina menyajikan sup dalam sepekan ini.
“Ayah sudah lapar?” tanya Nina tanpa mengalihkan perhatiannya ke permukaan panci. Dicicipinya sebentar sebelum mematikan kompor dengan wajah puas.
“Duduk sini … tadi masalah surga belum beres.” Kutarik dua kursi di meja makan yang menyatu dengan dapur. Nina menatap heran sebelum menuruti perintahku.
“Kalau Bunda gak sama mau Ayah, terus maunya sama siapa? Katanya Bunda ingin sehidup sesurga?” Nina memandang beberapa apel dan jeruk di tengah meja. Tangannya mengambil satu apel dan meninggalkan satu gigitan di sana.
“Bunda itu mau istirahat dengan damai di akhirat nanti. Ayah sih enak. Ditemani banyak bidadari. Lha terus Bunda ngapain bareng Ayah? Nonton Ayah cekikikan sama perempuan lain? Ogah!” Nina kembali menggigit apelnya sebelum kembali berkata, “Bunda itu udah capek hidup sama Ayah. Tiap hari ngurus keperluan Ayah. Mending nanti kita masing-masing aja.”
“Jadi, Bunda cemburu sama bidadari surga?” Senyumku terkembang lega. Paling tidak bukan Rio yang Nina inginkan.
“Gak! Ngapain?”
Nina kembali meninggalkanku yang termangu di meja makan. Apa iya seserius itu Nina menangkap gambaran tentang surga? Nina pasti membayangkan enaknya para lelaki yang dikelilingi bidadari. Padahal istrinyalah yang selama ini melayani segala kebutuhannya di dunia. Lalu, istri dapat apa? Bukankah harusnya surga itu membahagiakan lelaki dan juga perempuan?
Hatiku kembali berdenyut nyeri. Semenderita itukah Nina selama menjadi istriku? Kukejar Nina yang sedang membereskan tempat tidur kami. Kutarik tangannya untuk duduk di tepi ranjang.
“Bunda yakin gak kalau Allah itu maha adil?” Kupandang lurus bola mata hitam yang kelopaknya hampir layu itu.
“Bunda yakin …,” katanya dengan menggigit ujung bibir. Tampak tak yakin dengan jawabannya sendiri.
“Apa Bunda sedang merasa tidak adil dengan gambaran surga yang terlalu menyenangkan bagi lelaki dan tidak untuk perempuan?” Nina mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum mengangguk pelan. “Lelaki dan perempuan itu sama-sama hamba Allah. Surga juga diciptakan untuk keduanya. Tentu saja apa yang didapat laki-laki akan didapat juga oleh perempuan. Ketika Allah menjanjikan bidadari, itu berlaku sebaliknya. Perempuan juga akan dapat bidadara. Apa sih yang enggak buat hamba-Nya yang beriman?”
“Apa iya seperti itu?” jawab Nina antusias. Aku mengangguk untuk meyakinkan. “Kayaknya terdengar lebih adil.”
“Lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya agar kita bisa menghuni surga.” Aku berbaring meluruskan punggung yang mulai pegal. Nina menganggukkan kepalanya tanda setuju. “Ayah sih maunya sama Bunda lagi. Biar ada teman ngobrol mengenang masa hidup di dunia.”
“Kalau gitu Ayah harus lebih baik sama Bunda. Mana ada perempuan yang mau hidup untuk kedua kali sama lelaki yang pernah menyusahkannya di dunia?” Nina ikut berbaring memandang putihnya atap di atas kami.
“Memangnya selama ini Ayah kurang baik sama Bunda?” Kumiringkan badan untuk melihat wajah Nina.
“Yah enggak juga …. Coba Ayah ingat kapan terakhir ngasih hadiah buat Bunda? Terus kenapa tiap hari lebih suka lihat hape dibanding ngajak ngobrol Bunda? Kapan terakhir bantuin Bunda beresin rumah? Udah gitu bilang cinta atau sayang juga gak pernah. Di dunia aja sering dicuekin apalagi ….”
“Ayah sayang Bunda ….” Kukecup kening Nina dan memotong ucapannya dengan mantra ajaib tersulit untuk dikatakan para suami kepada istrinya. Terpaksa … sebelum Nina mengurai lebih lanjut orasi ilmiah berdasarkan pengalaman dan studi empirisnya. []
***