Mubadalah.id – Dalam masyarakat yang masih memberikan wewenang kepada para wali untuk menikahkan putri-putri mereka dengan orang-orang yang mereka kehendaki, maka konsep kafaah bisa menjadi pegangan bagi perempuan.
Misalnya, ketika dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sepadan secara sosial, ekonomi, atau pendidikan, maka perempuan berhak untuk menolak.
Jika akad tetap dilangsungkan oleh wali, perempuan masih tetap punya hak untuk membatalkan akad tersebut. Hal ini sejalan dengan Hadis yang diriwayatkan Aisyah r.a:
Aisyah r.a bercerita bahwa suatu saat ada seorang perempuan muda yang masuk ke rumahnya dan mengadu:
“Ayahku telah menikahkanku dengan anak saudaranya, agar ia terangkat derajatnya dengan (derajat)ku, padahal aku tidak suka.”
Lalu Aisyah menjawab, “Duduk, (kita tunggu) Nabi Saw datang kemari.”
Nabi Saw datang dan Aisyah menceritakan kisah perempuan tersebut. Lalu Nabi Saw memanggil ayah perempuan tersebut untuk datang.
Lalu, (di hadapan sang ayah), Nabi memutuskan persoalan ini kepada (pilihan dan kehendak) perempuan tersebut. (Sunan alNasi’i, no. 3282).
Dari teks Hadis di atas, mayoritas ulama memandang bahwa kafaah, terutama bagi perempuan, adalah penting dan harus ia perhatikan.
Sekalipun kafaah bukan menjadi syarat ataupun rukun dalam nikah. Tetapi menjadi hak bagi perempuan untuk menolak rencana pernikahan yang walinya siapkan dengan laki-laki yang tidak sepadan.
Jika sudah menikah, ia masih berhak membatalkannya melalui hakim. Kafaah dalam pernikahan membantu perempuan agar tidak terjebak dalam pernikahan dengan laki-laki yang tidak sepadan yang akhirnya tidak ada kecocokan dalam membangun rumah tangga.
Keseimbangan
Dengan demikian, kafaah bisa kita pahami sebagai keseimbangan antara dua calon mempelai yang bisa menjadi modal dalam menguatkan relasi pernikahan dan menumbuhkan kebahagiaan rumah tangga.
Kafaah harus dikembalikan kepada dua calon mempelai untuk menemukan keseimbangan di antara mereka dan mengembangkannya agar benar-benar menjadi modal relasi yang menumbuhkan dan menguatkan kebahagiaan.
Keseimbangan dalam status sosial bisa berkembang seiring perjalanan karier, jabatan, atau usaha. Keseimbangan status sosial bisa suami dan istri proses bersama.
Suami penting memiliki keseimbangan dengan istri, begitu pun istri penting memiliki keseimbangan dengan suaminya.
Pun dengan keseimbangan pendidikan, suami dan istri bisa saling mendorong dan mendukung pasangannya. Bahkan untuk menyelesaikan pendidikannya atau dengan menguatkan kapasitas intelektualnya.
Bentuk keseimbangan yang menjadi modal relasi harus orang tua serahkan sepenuhnya kepada kedua mempelai. Masing-masing pasangan bisa berbeda. []