• Login
  • Register
Jumat, 23 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Kafaah, Untuk Apa?

Tujuan kesetaraan (kafaah) itu adalah meraih kemaslahatan dalam berkeluarga dengan meminimalisir perselisihan.

Nur Kholilah Mannan Nur Kholilah Mannan
23/01/2021
in Hukum Syariat, Khazanah
0
Kafaah

Kafaah

316
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam dunia perjodohan kebanyakan orang tua ingin anak-anak mereka mendapatkan pasangan hidup yang terbaik. Karenanya, tak jarang mereka menjatuhkan pilihan pada orang yang lebih dari anaknya, misal dalam hal pendidikan, profesi, strata sosial, atau minimal setara. Inilah yang disebut kafaah dalam hukum Islam atau bahasa gampangnya kafaah adalah level.

Kafaah semacam filter dalam memilih pasangan dan biasanya sesuai dengan kecenderungan si calon dan keluarganya. Seperti sahabat saya, asli Sumenep tapi tidak mau memiliki suami orang Madura, maka lelaki yang melamarnya jika masih berdarah Madura ya tidak akan diterimanya.

Padahal orang Madura manis-manis, sopan-sopan pula tapi ya terserah dia, hidup dia kok. Anda juga pasti memiliki filter sendiri dalam memilih pasangan hidup. Ada yang ingin pasangannya hafal Alquran karena ingin keturunannya menjadi penjaga Alquran. Ada pula yang ingin pasangannya sudah memiliki profesi mapan karena tak ingin hidup susah, dan masih banyak lagi filter yang menjadi standar dalam memilih jodoh. Itu semua terserah calon mempelai dan keluarga.

Tapi sebenarnya kafaah itu ada nggak sih dalam Islam? Dan apa tujuannya? Bukankah tidak adil jika yang kaya dengan yang kaya, sementara yang miskin tidak punya kesempatan memperbaiki keturunan. Atau yang bangsa darah biru dengan selevelnya, lalu tidak adakah kesempatan bangsa selainnya akan naik strata sosial?

Oke mari perinci satu persatu. Hampir semua kitab fikih empat madzhab menjelaskan kafaah, itu berarti entitas ini memiliki perhatian khusus dalam hukum Islam. Memilih pasangan yang setara dengan dirinya adalah hak setiap individu, utamanya bagi wali dan perempuan. Oleh karenanya hak ini boleh diambil atau ditinggalkan.

Baca Juga:

Jalan Mandiri Pernikahan

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

Wajah Perempuan Bukan Aurat, Tapi Keadilan yang Tak Disuarakan

Sementara mengenai standar kafaah bukanlah suatu hal yang final. Syekh Zainuddin Al-Malibarī membatasi kafaah pada lima sifat; kemerdekaan, nasab, profesi, aib nikah dan agama keluarga. Hal ini disimpulkan dari Nabi yang menikahi Aisyah dan Hafshah yang masih keturunan bangsa Quraisy. Karena dikatakan bahwa bangsa Quraisy levelnya dengan bangsa Quraisy juga.

Berbeda dengan Ibn Hazm yang mengabaikan standar-standar itu, semuanya baik selama tidak berzina. Buktinya Nabi pernah menikahkan Zainab ummul mukminin  dengan Zaid bin Hāritsah budaknya. No problem. Maka anak saudagar sah-sah saja menikah dengan anak pengangguran, atau anak priyayi menikah dengan anak tukang kuli. No problem. Lagi-lagi ini kembali pada kecenderungan atau privilej keluarga masing-masing.

Inilah yang dimaksud bahwa kafaah adalah hak perempuan dan walinya maka ia boleh memperhitungkan atau mengabaikan sifat-sifat itu.

Saya sendiri lebih setuju pada standar kafaahnya Ibn al-Qayyim yang menjadikan tolok ukur level terpenting adalah agama sebab dalam Alquran dikatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (QS Alhujurat:13) dan Nabi pernah berkata “Manusia itu sama, sebagaimana gigi sisir.”

Namun lain kepala lain pula pemikirannya. Tidak sedikit keinginan orang tua dan anak dalam hal ini berseberangan, orang tua inginkan jodoh yang sekufu sementara anak tidak mementingkan itu. Saat inilah tujuan kafaah harus dijelaskan agar semua pihak bisa menemukan jalan keluar.

Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa kafaah ditinjau dari psikologi dan sosiologi bertujuan untuk meraih kemaslahatan dalam perkawinan ((http://digilib.uin-suka.ac.id/22089/). Saya ingin menambahkan lebih rinci lagi bahwa pasangan yang memiliki latar belakang sama akan meminimalisir perselisihan.

Sebaliknya pasangan yang berbeda, latar belakang pendidikannya, pekerjaannya dan orientasi hidupnya riskan menimbulkan perselisihan. Perselisihan dalam hal apapun, cara pandang, cara mendidik anak, cara bersikap pada pasangan. Dan inilah yang ingin dihindari oleh para penggagas syariat (mujtahid). Dengan demikian dipertimbangkanlah kafaah dalam hukum Islam untuk mencari pasangan hidup agar menjauh dari madarat percekcokan antar anggota keluarga.

Jadi intinya patokan kafaah tertinggi adalah takwa (agama) sebab jika terpaksa beberapa hal atau semuanya berbeda sementara keyakinan dan tingkat ketakwaan kedua mempelai sama-sama kuat maka perbedaan yang terjadi akan menemukan titik temu dan jalan keluar.  Akhir kata, tujuan kesetaraan (kafaah) itu adalah meraih kemaslahatan dalam berkeluarga dengan meminimalisir perselisihan. []

 

 

 

Tags: Hukum IslamKesalinganKesetaraanperkawinan
Nur Kholilah Mannan

Nur Kholilah Mannan

Terkait Posts

Filosofi Santri

Filosofi Santri sebagai Pewaris Ulama: Implementasi Nilai Islam dalam Kehidupan Sosial

23 Mei 2025
Obituari

Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim

23 Mei 2025
KB perempuan

Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

23 Mei 2025
KB dan Politik

KB dan Politik Negara

22 Mei 2025
KB Modern

5 Jenis KB Modern

22 Mei 2025
Kontrasepsi

Bolehkah Dokter Laki-laki Memasangkan Alat Kontrasepsi (IUD) kepada Perempuan?

22 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hj. Biyati Ahwarumi

    Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yuk Belajar Keberanian dari Ummu Haram binti Milhan…!!!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Filosofi Santri sebagai Pewaris Ulama: Implementasi Nilai Islam dalam Kehidupan Sosial
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab
  • Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim
  • Yuk Belajar Keberanian dari Ummu Haram binti Milhan…!!!
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version