Asap Karhulta yang pernah aku hirup di Riau menjadi simbol dari rusaknya hubungan manusia dengan alam. Kita tidak bisa terus-menerus mengorbankan generasi mendatang hanya demi keuntungan sesaat.
Mubadalah.id – Aku masih ingat betul bagaimana pagi itu terasa berat. Bukan karena beban hidup atau tugas sekolah, tapi karena kabut asap yang menyelimuti seluruh kampung. Langit tampak abu-abu dan udara dipenuhi bau terbakar dari lahan gambut.
Sekolah di kampungku seringkali diliburkan, bukan karena hujan deras atau bencana banjir, melainkan karena udara yang tidak bisa lagi kami hirup dengan tenang. Ini terjadi di Desa Banjar Seminai, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau, tempatku tumbuh dan menyaksikan pembakaran hutan yang mengakibatkan kami sulit bernafas dengan bebas.
Kebakaran hutan dan lahan (Karhulta) bukanlah kejadian langka di tempatku tinggal dulu. Kejadian tersebut hampir setiap tahun terjadi. Kabar Karhutla selalu muncul, dan kami harus tetap bertahan dalam keadaan asap menyelimuti rumah kami selama berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan.
Dulu aku tidak merasa ini sebagai sesuatu yang mengancam, karena sebagian besar warga di kampungku juga begitu. Tetapi saat ini, setelah kuliah di Cirebon dan jauh dari pengalaman tersebut, rasanya Karhulta itu ternyata bukan sesuatu yang wajar.
Ini termasuk pada kondisi kerusakan alam, yang bisa mengancam kesehatan, pendidikan ekonomi bahkan psikologis manusia. Hal ini bisa aku rasakan dan juga lihat sendiri, ketika rumah kami diselimuti asap akibat kebakaran hutan, warga sekitar akan mengalami batuk berkepanjangan, sesak napas, dan iritasi mata.
Tidak Sekolah Berbulan-bulan
Di sisi lain, kegiatan belajar di sekolah juga akan tiba-tiba diliburkan, dan hanya bisa kembali aktif ketika asap tersebut sudah hilang. Bayangkan saja, jika dalam satu tahun ada 2 atau 3 kasus Karhulta di Kabupaten Siak, sudah pasti selama beberapa bulan anak-anak tidak bersekolah.
Tentu dampak-dampak ini sangat merugikan sekaligus membahayakan keberlangsungan hidup warga di kampungku.
Bahkan melansir dari Greenpeace.org.id kebakaran di lahan gambut juga melepaskan karbon dalam jumlah besar yang selama ribuan tahun tersimpan di bawah permukaan. Dampaknya bukan hanya lokal, tetapi juga berkontribusi besar terhadap krisis iklim global.
Di sisi lain, kebakaran bukan juga bukan hanya merusak lingkungan fisik, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial dan budaya masyarakat. Di Sumatera Selatan, misalnya, kabut asap menyebabkan terganggunya proses pembuatan gulo puan, yaitu makanan warisan budaya lokal dan memaksa warga kehilangan mata pencaharian.
Dalam jangka panjang, hal ini mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat dan komunitas lokal.
Penyebab Karhulta di Riau
Penyebab utama kebakaran lahan gambut di banyak wilayah Indonesia, termasuk di Riau, tidak lain adalah ulah manusia. Praktik membuka lahan dengan cara membakar masih sering dilakukan karena dianggap cepat dan murah.
Padahal, metode ini justru meninggalkan dampak jangka panjang yang merusak. Lahan gambut yang kering sangat mudah terbakar dan sulit dipadamkan. Api bisa menyala hingga ke dalam tanah dan terus merambat secara perlahan. Jika sudah begini, pemadaman menjadi sangat sulit, dan kerusakan pun tak terhindarkan.
Bukan hanya kesehatan manusia yang terdampak. Ekosistem pun ikut rusak. Flora dan fauna kehilangan habitat alaminya. Bahkan, tanah gambut yang menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar akan melepaskan karbon tersebut ke atmosfer saat terbakar, memperparah pemanasan global.
Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, kebakaran lahan gambut adalah ancaman serius yang seharusnya tidak lagi kita anggap sepele.
Lebih dari itu, kebakaran ini juga berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat. Banyak petani yang kehilangan hasil panennya. Infrastruktur desa rusak, dan biaya pemulihan pascakebakaran sangat tinggi.
Upaya Pencegahan Karhulta
Melihat dampak Karhulta yang tidak main-main tersebut, sudah saatnya kita bergerak bersama untuk melakukan upaya pencegahan kebakaran lahan dan gambut. Upaya tersebut bisa dimulai dengan melakukan pemantauan tinggi muka air tanah (TMAT). Pemantauan ini sangat penting, supaya masayarakat lokal bisa memantau dan menjaga kelembaban tanah gambut.
Selain itu, restorasi lahan gambut, patroli rutin di titik-titik rawan, serta pelibatan aktif masyarakat lokal juga menjadi hal yang sangat urgent.
Senada dengan itu, aktivis Greenpeace juga mendorong masayarakat yang hendak membuka lahan untuk menghentikan praktik tebas bakar dan mulai membangun sistem pertanian yang ramah lingkungan.
Kebakaran lahan gambut adalah krisis yang tidak boleh lagi kita anggap sebagai peristiwa biasa. Karena ia bisa merusak lingkungan, kesehatan, ekonomi, budaya dan mengancam keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem di dalamnya.
Asap Karhulta yang pernah aku hirup di Riau menjadi simbol dari rusaknya hubungan manusia dengan alam. Kita tidak bisa terus-menerus mengorbankan generasi mendatang hanya demi keuntungan sesaat.
Menjaga lahan gambut bukan hanya soal konservasi, tapi soal keadilan ekologis dan hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan aman. Karena jika alam terus rusak, maka kita pun akan kehilangan peradaban yang menopang kehidupan bersama. []