Mubadalah.id – Di samping berdakwah dan mengajar, Fatimah al-Banjari juga menulis kitab fiqh berjudul Perukunan Jamaluddin.
Kitab ini berisi tentang persoalan fiqh, seperti shalat, puasa, dan penyelenggaraan jenazah. Banyak orang tidak tahu bahwa kitab ini adalah karya seorang perempuan ulama bernama Fatimah.
Mereka hanya tahu bahwa penulisnya ialah Syekh Jamaluddin. Nama kitabnya dihubungkan dengan ulama laki-laki ini: Perukunan Jamaluddin.
Pertanyaan banyak orang ialah mengapa begitu? Ya, mengapa identitas penulis buku tersebut bukan Fatimah al-Banjari?
Analisis Martin van Bruinessen menduga kuat bahwa hal itu karena ada anggapan bahwa pada masa itu, menulis kitab adalah “pekerjaan” laki-laki.
Lebih jauh, guru besar studi Islam dari Belanda ini berpendapat, kalau sejarah digali, tidak mustahil kita akan menemukan sejumlah perempuan lain yang menguasai ilmu-ilmu agama dan telah menulis kitab.
Tetapi sumbangan atau peran mereka tak cukup dipercaya. Budaya patriarki di banyak tempat di dunia sering kali menyembunyikan kehebatan intelektualitas perempuan.
Kitab Sederhana
Muhammad Ramli, dalam artikelnya di alif.id, 17 Februari 2018, menulis bahwa kitab tersebut sederhana saja. Sesuai dengan namanya perukunan, isinya ialah uraian dasar mengenai rukun Islam dan iman.
Dalam istilah Banjar, menyebutnya dengan rukun-marukun. Walaupun sederhana, kitab ini merupakan salah satu yang paling populer di antara kitab-kitab sejenis, dan sering mereka cetak kembali.
Belakangan, beredar kitab sejenis yang diberi judul Kitab Perukunan Besar, disusun oleh Haji Abdurrasyid Banjar.
Menurut Alfani Daud (1997), kemungkinan dari kitab yang Fatimah karang inilah, kemudian ia tambah dan adakan perubahan sekadarnya.
Sudah sejak lama, salah satu dari kedua kitab tersebut senantiasa terdapat di hampir setiap rumah tangga muslim di Kalimantan Selatan, berjejer dengan al-Qur’an. Kitab lainnya berjudul Rasam Parukunan. []