Mubadalah.id – Belum lama ini, seorang pria berinisial MI (34), warga Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, ditangkap oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Kudus atas dugaan pencabulan terhadap anak tirinya yang berusia 12 tahun. Perbuatan tersebut dilakukan berulang kali selama periode September hingga Desember 2024, dengan modus memanfaatkan kondisi istrinya yang baru melahirkan.
Kasus ini terungkap setelah pihak sekolah mencurigai perubahan perilaku korban yang menjadi murung dan tertutup. Korban juga menunjukkan tanda-tanda depresi dan sempat mencoba menyakiti diri sendiri. Pihak sekolah kemudian melaporkan hal tersebut kepada kepolisian, yang akhirnya mengamankan pelaku.
Melansir dari Metrotvnews.com AKP Danail Arifin, Kasat Reskrim Polres Kudus, menyatakan bahwa korban mengalami tekanan psikologis berat akibat peristiwa tersebut. Korban saat ini mendapatkan pendampingan dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kudus serta Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA).
Menurut Noor Haniah, Kepala JPPA, kondisi korban telah menunjukkan perbaikan dan berhasil melewati masa-masa terburuknya. Namun, proses pemulihan trauma memerlukan waktu dan dukungan yang berkelanjutan.
Pentingnya Membangun Ruang Aman (Safe Space) bagi Anak
Dari kasus di Kudus tersebut, mengingatkan kepada kita semua tentang pentingnya menciptakan ruang aman bagi anak-anak. Terutama di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan seperti keluarga dan sekolah.
Menurut National Crimes Against Children Investigators Association (NCACIA), terdapat beberapa strategi untuk menciptakan ruang aman bagi anak-anak.
Pertama, pelatihan berbasis trauma, yaitu memberikan pelatihan kepada orang dewasa untuk memahami dan merespons perilaku anak yang mengalami trauma dengan empati dan dukungan.
Kedua, teknik wawancara ramah anak. Gunakan pendekatan yang tidak mengintimidasi dan memungkinkan anak untuk mengekspresikan diri melalui berbagai media seperti gambar atau permainan pada saat melakukan wawancara.
Ketiga, memberdayakan anak dengan pilihan. Berikan anak kebebasan dalam memilih cara mereka ingin berbagi pengalaman, sehingga mereka merasa memiliki kontrol atas situasi.
Keempat, membangun jalur pelaporan yang jelas. Dalam setiap kasus kekerasan terhadap anak, penting sekali untuk memastikan ada ruang aman di mana anak-anak dapat menyampaikan pengalaman mereka.
Anak-anak juga perlu tahu bahwa ada tempat yang bisa mereka andalkan ketika mereka merasa terancam atau tidak aman.
Contoh jalur pelaporan yang bisa diakses anak-anak antara lain pusat advokasi perlindungan anak, layanan konseling, hotline kekerasan anak, atau lembaga-lembaga pendamping anak.
Penting juga untuk mengedukasi anak sejak dini tentang keberadaan jalur-jalur ini, misalnya melalui seminar khusus untuk anak-anak, kelas edukasi, atau diskusi kelompok seperti deep talk yang aman dan ramah bagi mereka.
Bahkan mengedukasi anak tentang ruang aman bukan hanya soal memberi informasi. Tetapi juga membangun keberanian mereka untuk berbicara dan percaya bahwa ada tempat yang siap mendengar dan membantu mereka.
Oleh karena itu, sangat penting memastikan anak-anak mendapatkan perlindungan yang memadai agar terhindar dari segala bentuk kekerasan. Upaya ini bisa diwujudkan melalui berbagai langkah, termasuk menerapkan keempat strategi yang telah disebutkan di atas.
Ruang Aman bagi Anak
Di sisi lain, dalam ajaran Islam, perlindungan dan kasih sayang terhadap anak-anak juga sangat ditekankan. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang mengasuh anak-anak perempuan (menjadi wali atas mereka) dan berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi perisai yang menghalanginya dari api neraka.”
Hadis ini mengingatkan kita akan pentingnya memperlakukan anak-anak dengan baik, memberikan pendidikan, memenuhi kebutuhan mereka. Serta membimbing mereka dalam aspek agama dan moral.
Meskipun secara teks hadis tersebut dengan jelas menyebut perlindungan anak perempuan. Namun jika diaplikasikan menggunakan perspektif mubadalah hadis tersebut mengajak semua orang dewasa untuk mengasuh serta melindungi anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Melindungi Anak adalah Tugas Bersama
Oleh sebab itu, kasus inses yang terjadi di Kudus bisa jadi pengingat bagi kita bahwa kekerasan terhadap anak, khususnya di lingkungan keluarga, adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan tindakan nyata dari berbagai pihak.
Anak-anak adalah generasi penerus yang harus dilindungi dan dijaga, bukan malah menjadi korban kekerasan dari orang terdekatnya.
Membangun ruang aman untuk anak bukan hanya tanggung jawab keluarga inti, tetapi juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat, mulai dari sekolah, komunitas, tokoh agama, hingga pemerintah.
Lebih jauh, penting juga untuk memperkuat edukasi publik terkait hak-hak anak, perlindungan hukum, dan layanan bantuan yang tersedia. Undang-Undang Perlindungan Anak sudah mengatur sanksi tegas bagi pelaku kekerasan. Tetapi pencegahan harus menjadi prioritas utama agar kasus serupa tidak terus berulang. []