• Login
  • Register
Minggu, 13 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Kenali Resiko Menikah Muda

Zahra Amin Zahra Amin
21/10/2019
in Keluarga
0
35
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Menikah muda memang punya banyak resiko, kenali dan waspada sejak dini agar mampu menghadapinya.

Pernikahan yang dihelat dengan meriah itu hanya berumur sepohon jagung. Kabar santer terdengar jika pasangan belia Ryan (25 tahun) dan Mariana (20 tahun) itu telah bercerai, bahkan sebelum itu sudah pisah rumah dengan orangtua masing-masing. Kisah mereka menjadi pelajaran agar mengetahui resikonya, terutama pasangan yang memilih nikah muda.

Padahal pernikahan mereka sudah dikaruniai seorang anak perempuan yang menggemaskan. Mulanya perpisahan mereka ditutupi dengan rapat oleh pihak keluarga, mungkin karena malu dan menganggap hal yang demikian itu adalah aib keluarga. Namun lama-lama kelamaan menjadi hal yang lumrah.

Saya masih ingat ketika mereka menyiapkan pesta pernikahan yang begitu meriah digelar. Terlihat antusias dan bahagia, betapa tidak sang calon penganten lelaki terlihat gagah dan tampan, mencoba beskap baju pernikahan. Bersamaan dengan itu, sang calon perempuan terlihat sama cantik dan anggun mengenakan baju kebaya yang akan dipakai saat prosesi akad nikah berlangsung.

Sang penganten bagai raja dan ratu sehari yang bertahta di kerajaan negeri dongeng. Maklum keduanya berasal dari keluarga berada dan terpandang. Banyak tamu undangan yang memberi doa restu agar pernikahan memberi keberkahan dan kebahagiaan bagi kedua keluarga. Dilimpahi rejeki yang melimpah dan keturunan yang banyak.

Baca Juga:

Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Memahami Tafsir

Merebut Kembali Martabat Perempuan

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

Kala Kesalingan Mulai Memudar

Semakin banyak anak semakin banyak pula rejeki, begitu anggapan sebagian orang. Namun tak di sangka, harapan yang ditaburkan itu luluh lantak bersamaan dengan kabar retaknya rumah tangga penganten yang belum genap 2 tahun.

Sebelum perceraian terjadi, kabarnya mereka sudah pisah rumah selama 3 bulan. Selama itu pula Ryan tidak memberikan nafkah batin dan lahir. Anak yang masih berusia 5 bulan tinggal bersama ibunya. Alasan berpisah pertama karena Ryan jarang pulang ke rumah, sekali pulang selalu malam hari. Dan setiap ada di rumah selalu marah-marah hingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga, berani memukul dan menampar istri.

Mariana hanya bisa pasrah diperlakukan seperti itu. Tak berani melawan dan hanya menangis diam-diam tak berani mengadukan kepada orangtuanya. Peristiwa ini berlangsung sejak satu tahun usia pernikahan hingga anak mereka berusia 2 bulan. Mariana pernah menuturkan kesedihannya saat Ryan di PHK dari perusahaan, dan setelah itu menganggur tak mempunyai penghasilan.

Sejak saat itu terlihat Ryan menjadi temperamental dan mudah emosi. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Mariana meminta pada orangtuanya. Karena Mariana anak pertama dan perempuan satu-satunya dalam keluarga itu, maka orangtuanya tak pernah curiga. Baru setelah pisah rumah itu akhirnya Mariana berani bicara, dan orangtuanya mendukung keputusan Mariana.

Usia yang masih muda dan belum matang, membuat pasangan ini terjebak dalam pola relasi yang salah dalam pernikahan. Ryan tak memenuhi tugas dan tanggungjawabnya sebagai suami bagi Mariana dan Ayah untuk anaknya. Emosi yang labil membuatnya tak mampu mengendalikan amarah, hingga istri dan anaknya yang menjadi korban.

Mariana yang masih belia tak mampu melawan, kebingungan tak mampu menyelesaikan persoalan rumah tangganya, tak berani bicara bahkan dengan orangtua sendiri dan keluarga Ryan. Pola relasi dalam pernikahan yang salah akan menjadi bom waktu di kemudian hari. Tinggal menunggu waktu siapa yang akhirnya akan memutuskan berpisah, meruntuhkan bangunan rumah tangga yang sudah diikrarkan di depan penghulu, orangtua dan Tuhan.

Pernikahan yang pernah dimimpikan Mariana seperti Kisah Pangeran dan Putri dalam Negeri Dongeng “Happily Ever After ; Bahagia Selamanya” malah menjadi “Kesengsaraan yang Berkepanjangan”.Mariana menjadi janda dalam usia yang masih belia (22 tahun), dan harus bertanggung jawab membesarkan putri semata wayangnya yang masih berumur 5 bulan.

Mariana masih harus menghadapi anggapan miring masyarakat yang masih menilai negatif status janda. Mariana kehilangan masa mudanya, tak bisa bebas bermain dengan teman-temannya karena terikat dengan kehadiran anak, bahkan Mariana harus rela meninggalkan bangku kuliah yang baru ditempuh 2 tahun.

Mariana telah kehilangan dua kesempatan masa depan, karena pernikahan yang dilakukan terburu-buru sebelum waktunya. Masa depan pendidikan dan pernikahan yang bahagia. Sedangkan Ryan tak berbeda jauh dengan kondisi Mariana, ada tanggung jawab anak yang masih harus diberi nafkah, dan kehilangan kesempatan mempertahankan keluarga yang utuh serta bahagia.

Semua ini terjadi karena pertama pilihan menikah dalam usia yang masih relatif muda, emosi yang masih labil sehingga belum bijaksana mengambil keputusan. Kedua akibat pola relasi yang salah dalam pernikahan.

Lalu bagaimana membuat pola relasi yang ideal dalam pernikahan?. Saya mengumpamakan seperti timbangan yang diletakkan beban sama beratnya di kedua sisi. Peran, tugas dan tanggung jawab antara lelaki perempuan pun harus seimbang. Tak boleh ada yang merasa paling berjasa dalam rumah tangga.

Artinya, masing-masing sadar dengan tugas dan fungsinya menjadi suami, istri dan orangtua bagi anak-anak. Kedua belah pihak punya kewajiban yang sama agar timbangan selalu stabil dan seimbang. Mungkin sesekali akan goyah, namun harus segera dikembalikan ke posisi semula biar keseimbangan tetap terjaga.

Selain itu tidak ada pekerjaan rumah tangga mutlak domain lelaki atau perempuan, tetapi antar pasangan harus saling membantu, saling melengkapi untuk mencapai kesempurnaan. Ibarat sebuah sistem, dalam pernikahan antar satu sama lain harus saling menguatkan, bukan melemahkan.

Bagaimana menguatkan sistem yang sudah susah payah di bangun dengan komunikasi yang terjaga dengan baik, saling menghargai dan menghormati masing-masing pihak, yakni dengan tetap mengutamakan kepentingan bersama dalam keluarga. Keduanya, antar suami istri itu harus mengupayakannya bersama.

Maka bukan tak mungkin harapan agar “Happily Ever After ; Bahagia Selamanya” seperti dalam kisah Pangeran dan Putri di Kerajaan Negeri Dongeng menjadi terwujud nyata. Bukan hanya mimpi semu belaka.[]

Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Praktik Kesalingan

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

12 Juli 2025
Relasi Imam-Makmum

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

9 Juli 2025
Jiwa Inklusif

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

8 Juli 2025
Pemimpin Keluarga

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

4 Juli 2025
Marital Rape

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mas Pelayaran

    Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kala Kesalingan Mulai Memudar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merebut Kembali Martabat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Perspektif Keadilan Gender dalam Memahami Tafsir
  • Merebut Kembali Martabat Perempuan
  • Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan
  • Kala Kesalingan Mulai Memudar
  • Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID