Mubadalah.id – Melanjutkan tulisan sebelumnya, membahas soal prinsip keagamaan moderasi sebagai keniscayaan pilihan dalam rangka membangun dialog. Mengapa harus ada keniscayaan moderasi? Sebab dalam beragama adalah dua kecenderungan ekstrem yang sangat berbahaya dalam kehidupan beragama dan berbangsa, yakni kecendrungan ekstrem kanan (al-tatharruf al-yumni) dan kencederungan ekstrem kiri (al-Tatharruf al-Yasari).
Ekstrem kanan seringkali disebut “pengamba teks” (ubbad al-Nusush), yang selanjutnya identik dipahami sebagai kelompok tekstualis-skriptualis. Kelompok ini berbahaya sebab ia memahami teks keagamaan apa adanya, yang tidak ada dalam teks diangap salah dan kafir. Contoh yang mudah dipahami adalah Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dianggap sebagai ideologi bertentangan dengan Islam, bahkan disebut thaghut mengingat ia tidak didasari oleh ajaran Islam.
Padahal secara substansi nilai-nilai luhur yang ada dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, misalnya Islam mengajarkan soal tauhid, keadilan sosial, anjuran bersatu, dan anjuran bermusyarawah.
Karenanya, cara pandang tekstualis menjadi sebab orang mudah bertindak radikal. Pasalnya, ia menganggap dirinya paling benar (truth claim). Ada kesan ia melakukan tindakan kebencian atau kekerasan atas nama membela Islam. Padahal, cara bertindaknya yang salah sangat merusak cintra Islam yang mengajar kedamaian dan cinta kepada sesama (rahmah li al-‘Alamin).
Kita memiliki hak untuk meyakini keyakinan kita benar, tapi dalam ruang sosial kita tidak diperkenankan juga memaksakan pilihah tafsir atau keyakinan tertentu agar dianut oleh orang lain secara seragam. Bukankah la ikraha fi al-din adalah petunjuk penting yang harus diamalkan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Atau prinsip cinta dalam la yu’minu ahadukum hatta li akhihi ma yuhibba linafsihi.
Sementara ekstrem kiri sering dikenal dengan kelompok rasional-liberalis. Kecenderungannya selalu menggunakan akal secara dominan ketidak memaknai pesan agama. Contoh, paling mudah adalah sholat prinsipnya adalah do’a. kalau sudah berdo’a mengapa kita harus ada gerak rukuk, sujud dan seterusnya. Puasa sejatinya mengajarkan kejujuran. Kalua sudah tergolong jujur, mengapa kita harus berpuasa.
Kelompok ini dipandang berbahaya sebab berpontensi mengenyampingkan teks-teks keagamaan dan ajaran pokok. Bukan hanya itu, liberasi beragama menjadi sebab seseorang mudah terjebak menghamba pada nafsu kemanusiaan-duniawi sehingga berpotensi akan mendegragasi pesan agama yang bertujuan hasanah fi al-dunya dan hasanah fi al-akhirat atau menjaga nuansa dhahir dan batin.
Oleh karenanya, moderasi berdiri tegak di tengah (wasathiyyah) dengan keyakinan bahwa teks dan akal tidak perlu dihadap-hadapkan. Dengan begitu, tidak perlu kita memandang orang lain secara berlebihan, dan radikalis, apalagi atas nama agama sebagai pembenar.
Prinsip moderat mengajak kita untuk terus menggunakan narasi dialog, ketika terjadi perbedaan. Bukan saling menegasikan antara yang satu dengan yang lain. Prinsip moderat mengajak kita agar lapang dada melihat perbedaan, yang merupakan sunnahtullah.
Akhirnya, mari kita kembangkan cara pandang moderasi dalam berkehidupan agar nuansa keagamaan dan kebangsaan ini tidak dikotori oleh nafsu kebencian. Pasalnya, jika tidak berarti ada yang kurang tepat, untuk tidak mengatakan salah, dalam kita memahami sesuatu sebagai agama, keagamaan dan keberagamaan dalam praktis kehidupan kita. Semoga Allah terus membimbing kita dalam jalur moderasi dalam bingkai beragama dan berbudaya secara damai. Amin. []