Mubadalah.id – Al-Qur’ân dalam banyak ayat menegaskan bahwa kewajiban bekerja berlaku bagi manusia laki-laki dan perempuan. Ini dikemukakan dalam banyak ayat. Tuhan sama sekali tidak membedakan antara keduanya. Artinya ada kesetaraan hak tenaga kerja lelaki dan perempuan. Tuhan juga menegaskan kewajiban berbuat keadilan dan melarang tindakan yang bersifat eksploitatif terhadap orang lain.
Al-Qur’ân juga mendesak kaum muslimin, lelaki dan perempuan untuk tidak menahan hak orang lain. “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu bertindak sesuka hati di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Qs. Al-Syu’ârâ’ [26]: 183).
Kesetaraan dalam Islam dibuktikan dengan, seorang buruh/tenaga kerja (laki-laki atau perempuan) sama-sama punya hak untuk memperoleh makanan dan pakaian yang baik dengan ukuran yang cukup, dan tidak dibebani dengan pekerjaan di luar kesanggupan, serta kemampuannya.
Nabi pernah mengatakan tentang komitmen Islam pada kesetaraan dan keadilan ini. : “Jika kamu punya seorang pekerja, maka jika ia perlu isteri, carikan isteri baginya, jika ia tidak punya pembantu, usahakan pembantu untuknya, dan jika ia tidak punya tempat tinggal, sediakan tempat yang layak”. (HR. Abû Dâwud, Sunan, II/121).
Berbeda dengan apa yang disampaikan al-Qur’ân, kebudayaan masyarakat kita seringkali menciptakan kondisi-kondisi yang tidak adil dan eksploitatif terutama terhadap orang-orang, lelaki dan perempuan yang dipandang lemah atau sengaja dilemahkan.
Dalam kasus Indonesia mutakhir, banyak perempuan terpaksa bekerja di luar negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita), menjadi buruh di negeri orang, agar bisa tetap survive. Jumlah mereka jauh lebih besar dari Tenaga Kerja Laki-laki. Ini adalah sebuah pengorbanan yang luar biasa kaum perempuan bagi keluarganya, termasuk untuk suaminya.
Akan tetapi kenyataan menunjukkan seringkali keringat dan pengorbanan mereka dibalas dengan ‘penghargaan’ yang menyakitkan. Terlampau banyak kisah pekerja buruh migran perempuan yang menyayat hati dan melukai perasaan kemanusiaan. Upah yang mereka terima bukan saja lebih rendah dari upah untuk laki-laki melainkan tubuh mereka juga dieksploitasi untuk kesenangan orang lain dan amat sering juga dengan cara-cara kekerasan baik secara fisik, psikis maupun seksual.
Boleh jadi kita kehilangan akal untuk mengerti bagaimana makhluk Tuhan berjenis kelamin perempuan dihinakan, tanpa kesetaraan dan direndahkan sedemikian rupa, padahal belum terbukti salah. Dan ini harus diproses di pengadilan. Nabi Muhammad saw,sendiri sepanjang hidupnya tidak pernah memukul isteri maupun pembantunya, meski dikecewakan.
Al-Qur’ân menyatakan: “Dan janganlah suatu bangsa merendahkan bangsa lain karena boleh jadi bangsa yang direndahkan lebih baik dari bangsa yang merendahkan. Dan Janganlah kaum perempuan merendahkan kaum perempuan yang lain karena boleh jadi mereka yang direndahkan lebih baik dari mereka yang merendahkan”. (Qs. al-Hujurât: 11).
Realitas buruh dan pekerja perempuan di atas memperlihatkan dengan jelas praktik-praktik ketidakadilan sekaligus penindasan manusia atas manusia. Ini tentu saja melanggar prinsip-prinsip Islam, kesetaraan dan kemanusiaan. Pelanggaran-pelanggaran ini pada gilirannya akan melahirkan krisis sosial lelaki dan perempuan yang jauh lebih luas dan dapat menghancurkan masa depan kemanusiaan sendiri. Maka adalah tanggung jawab kita semua untuk membebaskan ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan tersebut.
“Ada tiga golongan yang akan menjadi musuhku pada hari kiamat: seorang yang mengatasnamakan aku, tetapi mengkhianati, seorang yang mengeksploitasi orang lain untuk keuntungan dirinya, dan seorang majikan yang mempekerjakan orang lain dengan penuh, tetapi tidak memberi imbalan upah yang seharusnya” [Hadis Nabi Saw] []