• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Ketika Kesempurnaan “Sosok Imajiner” Membuat Hidupmu Ambyar

Zahra Amin Zahra Amin
11/02/2020
in Personal
0
267
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Setiap kali membaca novel, atau menonton film, yang menampilkan karakter lelaki yang charming, cerdas, ganteng, pekerja keras, lembut, penyayang, baik hati, tidak sombong, sholeh dan ditambah mapan, membuat hati meleleh, ambyar tak beraturan. Tentu gambaran sosok lelaki ideal seperti yang digambarkan tersebut, menjadi idaman setiap perempuan.

Karakter lelaki seperti ini akan banyak kita temui dalam film, novel bahkan saat ghibah sehari-hari. Betapa pesona lelaki idaman tak pernah lekang oleh jaman. Kita sebut saja, di era 70 dan 80-an ada film Catatan si Boy, yang tajir dan digandrungi banyak cewek. Lalu film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, yang memunculkan karakter Fahri serta Khairul Azam, yang menjadi rebutan banyak mahasiswi di kampus Al Azhar Mesir.

Dan kini, dalam novel pesantren yang sedang laris manis, yakni Hati Suhita dan Hilda, kita menemukan sosok Gus Birru dan Gus Wafa’ yang bikin hati setiap perempuan yang membaca akan meleleh. Fenomena Gus Birru dan Gus Wafa’ seolah menjadi penegas, jika lelaki pun punya pesona yang bisa menggoda lawan jenis.

Sebaliknya, perempuan sholehah yang digambarkan pinter mengaji, baik budi dan bahasa, pinter masak dan mengatur keuangan, cantik, lemah, lembut dan penyayang terhadap siapa saja. Sebagaimana para tokoh utama di setiap film, sinteron maupun novel, seperti Ana Althafunnisa’, Alina Suhita, Rengganis, Hilda, dan lain-lain.

Mereka yang digambarkan dengan kesempurnaan hakiki ini, seringkali membuat penikmat karya fiksi seperti saya merasa insecure. Pendidikan pas-pasan, penghasilan tak seberapa, penampilan menyesuikan dengan budget dan keadaan, kecerdasan rata-rata saja, dan serba keterbatasan lainnya.

Baca Juga:

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

Mengebiri Tubuh Perempuan

Ya, setiap kesempurnaan yang dihadirkan mewakili sosok lelaki atau perempuan, seketika hidup kita akan terasa ambyar. Merasa diri tak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan para tokoh imajiner itu yang hampir tanpa cela, disukai banyak orang, dan tak punya kekurangan. Sudah sempurna fisik, pintar, baik, sholeh lagi. Huhuhu.. Bikin ngiri deh!

Tetapi akhirnya dengan penampakan kesempurnaan itu, membuat kita introspeksi diri, biar hidup tidak terlalu ambyar banget. Bahwa menjadi diri sendiri itu, jauh lebih penting. Boleh berupaya meniru dalam hal kebaikan dan nilai positifnya. Tetapi juga jangan terlalu memaksakan, karena setiap manusia punya batasan sendiri, sehingga tidak menjadi obsesi yang berlebihan.

Bicara nilai positif dan kebaikan, bagi tokoh imajiner lelaki, bagaimana ia memperlakukan perempuan, menghormati guru dan orang tua, serta bertanggungjawab dalam segala hal. Sementara, dalam tokoh imajiner perempuan, mencerminkan bahwa perempuan juga setara dengan laki-laki, yang sama mempunyai potensi kemanusian, dan dimanfaatkan untuk seluas-luasnya kemaslahatan manusia.

Tidak hanya pandai dalam urusan domestik, tetapi juga peran perempuan yang mampu memberi warna dalam pengelolaan manajemen pesantren, lembaga pendidikan, dan piawai juga dalam menulis. Sedangkan adat, budaya, tradisi dan agama, yang dianggap membatasi peran perempuan, menjadi pembelajaran bagi kita bersama. Tinggal bagaimana pembaca mensikapinya.

Terlepas dari rentetan cerita yang dibangun untuk mendukung karakter tokoh imajiner, saya berharap itu tidak membuat kita merasa rendah diri yang serendah-rendahnya, lantas tak mensyukuri apa yang sudah Tuhan beri. Meski sosok seperti mereka, entah apakah ada dalam kehidupan nyata, tetapi kisah yang disuguhkan pasti telah melewati proses pergumulan panjang penulisnya dengan realitas.

Jadi bagi para pengagum Gus Birru, Gus Wafa’, Fahri, Khoirul Azzam atau Alina Suhita, Rengganis, Hilda, Aisha,dan Ana Althafunnisa, berterimakasihlah pada sang penulis yang telah menghidupkan karakter imajiner. Meski pasangan hidup kita, atau diri kita sendiri tak sesempurna mereka, setidaknya menjadi pengingat, bahwa kita juga memiliki cinta yang luar biasa.

Yakni, cinta pada diri sendiri, di setiap detak jantung, desah nafas, dan denyut nadi, ada diri yang utuh menunggu untuk bisa kita cintai sepenuh hati, dengan penerimaan yang baik serta apa adanya. Cinta pada setiap jiwa, yang kini sedang dekat, di mana setiap kali mengingat, hati kita akan terasa lebih hangat.

Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Pernikahan Tradisional

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

8 Juli 2025
Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Lebih Religius

    Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengebiri Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID