Mubadalah.id – Kasus pemerkosaan yang melibatkan seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) terhadap seorang anak pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung memberikan sorotan nasional yang memilukan.
Priguna Anugerah Pratama, sebagai tenaga medis yang seharusnya berperan sebagai pelindung dan penyembuh, justru berubah menjadi predator di tempat yang semestinya menjadi ruang teraman rumah sakit.
Korban, seorang anak perempuan, mengalami kekerasan seksual yang sangat traumatis. Ironisnya, insiden ini terjadi saat ia menjaga ayahnya yang dalam kondisi kritis di ruang ICU. Di tengah duka mendalam akibat sakit ayahnya, ia malah harus melewati pengalaman mengerikan ketika diperkosa oleh orang yang seharusnya ia percayai, di ruang yang seharusnya memberikan rasa aman, dan bahkan dalam keadaan dibius.
Peristiwa ini menegaskan kenyataan yang menyedihkan. Rumah sakit tak aman, dan tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi perempuan dan anak-anak di negeri ini.
Ruang Publik dan Kekosongan Pengawasan
Salah satu hal mencengangkan dari kasus ini adalah lokasi terjadinya pemerkosaan, sebuah ruang publik di rumah sakit. Tempat yang seharusnya ramai dan terpantau, dengan sistem pengawasan yang ketat. Namun, tindakan kriminal ini dapat berlangsung tanpa terdeteksi oleh aparat keamanan atau pengawasan sistem CCTV.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan keamanan di fasilitas kesehatan kita. Rumah sakit, sebagai institusi vital dalam kehidupan masyarakat. Seharusnya memiliki standar keamanan yang tinggi, terutama dalam melindungi pasien dan keluarga mereka. Terlebih lagi, ruang perawatan dan ICU seharusnya menerapkan akses terbatas serta sistem pengawasan visual (CCTV) yang aktif dan terevaluasi secara berkala.
Pertanyaan penting yang muncul adalah: mengapa tidak ada alarm yang menyala ketika seorang tenaga medis membawa anak ke ruangan, membiusnya, dan melakukan tindakan tidak senonoh? Mengapa rekaman CCTV tidak segera ditinjau setelah kejadian tersebut terlaporkan oleh keluarga atau korban? Siapa yang bertanggung jawab atas minimnya pengawasan ini?
Ketidakadilan Berlapis
Dari perspektif keadilan gender, kasus ini jelas menunjukkan bagaimana sistem patriarkis dan budaya yang permisif terhadap kekerasan seksual terus berlanjut dalam institusi formal. Perempuan, terutama anak perempuan, berada pada posisi rentan dalam masyarakat yang sering mengabaikan perlindungan terhadap mereka. Bahkan dalam kondisi duka dan ketidakberdayaan, tubuh perempuan tetap menjadi objek kekerasan.
Korban menanggung dua lapis penderitaan. Pertama, trauma akibat pelecehan dan pemerkosaan yang dialaminya. Kedua, duka yang mendalam atas kehilangan ayahnya yang tengah sekarat, dan akhirnya meninggal dunia. Ini merupakan contoh nyata dari “double kill” kekerasan fisik, psikologis, dan emosional.
Dalam kerangka keadilan gender, kita tidak bisa memandang kejadian ini hanya sebagai tindak pidana belaka. Ini mencerminkan kegagalan sistem sosial dalam menjamin keamanan dasar bagi perempuan dan anak. Dari pendidikan kedokteran, sistem rumah sakit, hingga mekanisme hukum, semuanya perlu kita reformasi untuk menempatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai prioritas utama.
Kegagalan Sistemik yang Perlu Dievaluasi
Kejadian ini bukan sekadar soal “oknum”, tetapi juga masalah sistem yang membiarkan kekerasan terjadi. Beberapa poin penting yang harus menjadi refleksi adalah:
Pendidikan dan Etika Profesi Kedokteran
Seorang dokter spesialis tidak hanya kita bekali dengan keterampilan medis, tetapi juga pendidikan tentang etika. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seseorang dengan latar belakang pendidikan yang tinggi dapat melakukan kekerasan sekeji ini? Apakah sistem seleksi dan pendidikan moral dalam dunia medis sudah terlaksana dengan baik?
Evaluasi Sistem Pengawasan Rumah Sakit:
Kondisi seperti CCTV yang tidak terpantau, tidak adanya SOP untuk menangani tindakan mencurigakan, serta lemahnya sistem keamanan internal sangat perlu dievaluasi secara menyeluruh. Rumah sakit seharusnya bukan hanya menjadi tempat untuk menyembuhkan luka fisik, tetapi juga ruang yang aman dari segala bentuk kekerasan.
Respons Institusi yang Lambat:
Sejauh mana pihak rumah sakit mengambil tindakan setelah laporan dari korban? Apakah mereka aktif melibatkan kepolisian, psikolog, dan Lembaga Perlindungan Anak? Jika tidak, sikap ini merupakan bentuk kelalaian yang sangat serius.
Memperjuangkan Ruang Aman dan Pemulihan Korban:
Ruang aman bukan sekadar jargon, melainkan harus kita wujudkan secara nyata melalui kebijakan, infrastruktur, dan budaya organisasi. Rumah sakit perlu memiliki unit perlindungan perempuan dan anak yang responsif dan proaktif. Selain itu, pemantauan CCTV harus dilakukan oleh petugas khusus, bukan sekadar sebagai formalitas.
Dalam hal ini, korban juga harus mendapatkan pemulihan yang komprehensif. Dukungan yang korban perlukan tidak hanya psikologis, tetapi juga pendampingan hukum, jaminan untuk pendidikan, dan perlindungan identitas. Negara serta institusi sosial memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa trauma ini tidak berlarut-larut menjadi luka seumur hidup.
Kita perlu memberi penghargaan kepada keberanian korban dan keluarganya yang berani bersuara. Dalam masyarakat kita yang seringkali masih menyalahkan korban. Sikap ini menjadi bentuk perlawanan yang sangat penting. Dukungan dari publik, media, dan para aktivis gender perlu terus kita suarakan agar kasus ini tidak terlupakan seperti banyak kasus lainnya.
Jangan Biarkan Tragedi Ini Terulang
Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter PPDS terhadap anak pasien di RSHS Bandung adalah pengingat serius bahwa kita masih hidup dalam sistem yang membiarkan ruang publik menjadi arena kekerasan seksual. Bahkan, tempat yang seharusnya menjadi simbol keselamatan dan penyembuhan bisa berubah menjadi tempat yang menyakitkan dan penuh luka baru.
Kita tidak bisa lagi hanya menyalahkan individu tertentu. Apa yang diperlukan adalah evaluasi sistemik dari pendidikan tenaga medis, manajemen rumah sakit, hingga regulasi keamanan publik. Lebih dari itu, kita harus membangun kesadaran kolektif bahwa keamanan perempuan dan anak adalah tanggung jawab bersama.
Keadilan gender bukan hanya tentang perempuan, tetapi juga mencakup bagaimana kita dapat membangun masyarakat yang berperikemanusiaan, melindungi, menghormati, dan mendengarkan semua suara yang selama ini terabaikan.
Karena jika bahkan rumah sakit pun tidak aman, di mana lagi perempuan dapat merasa terlindungi? []