Mubadalah.id – Di dalam ajaran Islam, keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain adalah terletak pada akal intelektual. Dengannya, manusia mendapatkan anugerah pengetahuan tentang segala sesuatu dan berbagai hal.
Akal intelektual atau ilmu pengetahuan merupakan unsur utama mengapa manusia lebih unggul dari ciptaan Tuhan yang lain. Tuhan hanya menyuruh Adam untuk mengenali “nama-nama”. Hal ini tentu mengandung makna yang mendalam dan luas.
Nama adalah simbol-simbol atau tanda-tanda. Ia adalah simbol/tanda bagi seluruh ciptaan Tuhan. Segala entitas, atau yang ada apa pun bentuknya, yang nampak maupun tersembunyi, membutuhkan identitas, dan dengan nama itulah identitas segala hal diketahui.
Karena potensi pengetahuan manusia itu pula, maka ia mendapat tugas untuk mengemban amanat Tuhan. Ke-khilafahan, pada intinya, adalah amanat Tuhan kepada manusia untuk pengelolaan dan pengaturan kehidupan manusia di muka bumi yang sesuai dengan kehendak-kehendak Tuhan.
Dari sinilah, maka sering kita katakan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di muka bumi. Artinya adalah bahwa manusia menjadi wakil Tuhan di muka bumi dan bertanggung jawab atas pengelolaannya.
Dalam ayat al-Qur’an menyebutkan:
اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung: tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.” (QS. al-Ahzab (33): 72)
Pandangan Imam Zamakhsyari
Imam Zamakhsyari, ahli tafsir klasik terkemuka, mengatakan:
“Manusia menjadi terhormat karena dia punya akal. Dengan akalnya, dia bisa menyampaikan gagasan, mampu membedakan, menulis, menggambar dengan baik, dapat berdiri tegak, serta sanggup mengatur kehidupan dan menyiapkan hari esok.”
Tidak ada ciptaan Tuhan yang memiliki fasilitas paling canggih seperti ini, kecuali manusia. Dengan potensi akal pikiran inilah, manusia menjadi makhluk yang bebas menentukan sendiri nasibnya dalam menjalani kehidupan di dunia.
Dengan akal-intelektualnya pula, manusia menciptakan peradaban dan kebudayaan, termasuk teknologi, sesuai dengan kehendak bebas mereka.
Akan tetapi, bersamaan dengan itu, manusia juga harus menanggung risiko dan tanggung jawabnya atas kebebasan menggunakan akalnya tersebut. Ini menunjukkan bahwa kebebasan selalu mengandung konsekuensinya sendiri, baik positif maupun negatif. Kebebasan secara inheren meniscayakan tanggung jawab. []