• Login
  • Register
Sabtu, 25 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Pemikiran Kiai Afifuddin Muhajir: Pancasila Sudah Islami

Pemikiran Kiai Afifuddin Muhajir tentang Pancasila mengutip petuturan Kiai Wahab Hasbullah bahwa nasionalisme yang diawali dengan bismillah (nilai-nilai agama) tak lain adalah Islam itu sendiri

Wafiroh Wafiroh
01/06/2022
in Featured, Publik, Rekomendasi
0
KH. Afifuddin Muhajir

KH. Afifuddin Muhajir

302
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berbicara tentang Kiai Afifuddin Muhajir, maka kita tidak bisa lepas dari berbicara tentang kemasyhurannya dalam bidang Usul Fikih. Sosok Kiai rendah hati ini beberapa waktu silam mendapat gelar doktor honoris causa dari UIN Walisongo Semarang.

Tentu hal ini wajar mengingat kealiman dan kepakaran beliau dalam bidang Usul Fikih sudah diakui bahkan hingga level internasional. Dikisahkan bahwa Said Aqil Siradj pernah mendeklarasikan bahwa Kiai Afif (panggilan akrab beliau) adalah salah satu dari dua pakar Usul Fikih di Indonesia. Bahkan Syaikh Wahbah Zuhaili seringkali menggantikan tugasnya di Indonesia kepada Kiai Afif.

Dalam momen penganugerahan doktornya, beliau menyampaikan sebuah orasi ilmiah berjudul Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushush dan Maqashid). Melalui orasinya tersebut, beliau menegaskan bahwa Pancasila yang menjadi dasar negara kita tidak bertentangan dengan teks-teks agama (nushush) dan dengan makna-makna yang dituju dari adanya syariat (Maqashid Syariah).

Tulisan ini tak lain hanya ingin menyajikan pokok-pokok pemikiran Kiai Afifuddin Muhajir dalam orasinya tersebut. Tentu saja, dengan sedikit uraian sesuai dengan kadar keilmuan penulis yang masih minim ini. Selain itu, tulisan ini merupakan seri kedua dari tulisan Pancasila dan Agama yang ditulis dalam rangka memperingati-mengenang hari besar bangsa kita: hari Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni.

Orasi yang beliau sampaikan, tanpa tedeng aling-aling menunjukkan bahwa beliau adalah seorang ulama dan pakar agama yang sangat nasionalis. Alih-alih membawa narasi yang rentan memecah persatuan, seperti yang banyak ditemukan belakangan ini dari tokoh-tokoh agama, beliau justru tampil membela keutuhan negara melalui orasinya tentang Pancasila. Bagi beliau, Pancasila tidak hanya dasar negara semata. Namun ia sesuai dan sama sekali tidak bertentangan dengan agama Islam.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI
  • Membincang Perempuan Pemimpin, dan Pemimpin Perempuan
  • Ketika Mahasantriwa SUPI ISIF Belajar Keberagaman
  • Intervensi Langsung Perkara Dispensasi Perkawinan
    • Uraian Pandangan Kiai Afifuddin Muhajir tentang Pancasila

Baca Juga:

Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

Membincang Perempuan Pemimpin, dan Pemimpin Perempuan

Ketika Mahasantriwa SUPI ISIF Belajar Keberagaman

Intervensi Langsung Perkara Dispensasi Perkawinan

Uraian Pandangan Kiai Afifuddin Muhajir tentang Pancasila

Sebagaimana judul orasi ilmiah yang beliau sampaikan, berikut pandangan Kiai Afifuddin Muhajir tentang Pancasila dalam timbangan syariat. Dalam hal ini dari aspek teks-teks (nushush) dan maqashid syari’ah.

Pertama, dari aspek teks agama, menurut beliau Pancasila berkisar di antara tiga kemungkinan. Yaitu tidak bertentangan, selaras atau bahkan bisa jadi agama itu sendiri. Dikatakan tidak bertentangan, karena tidak ada butir-butir Pancasila yang menyalahi Tauhid dan keimanan umat Islam.

Sementara dalam urusan relasi sosial (muamalah) dalam Islam sendiri hukumnya adalah boleh (mubah) selama tidak terdapat dalil yang melarangnya. Tak lain yang dijadikan acuan adalah terwujudnya maslahat dan terhidar dari mafsadar atau kerusakan. Jadi selama dua hal tersebut bisa terwujud, apa yang salah kemudian?

Dikatakan selaras, menurut beliau ini adalah jawaban yang moderat. Hingga pada satu titik, Pancasila terentas dari objek perdebatan antara menolak atau menerimanya. Karena berdasarkan kajian yang beliau lakukan, ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang secara konten sesuai dengan isi Pancasila.

Pancasila adalah agama itu sendiri, karena ternyata dalam teks-teks syariat ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang patut menjadi dalil dan landasan bagi masing-masing sila.

Kedua, sementara Pancasila dikatakan selaras dengan Maqashid Syari’ah, dari aspek bahwa keduanya merupakan asas universal yang menjadi rujukan bagi setiap undang-undang partikular di negeri ini. Hemat penulis, kedua hal ini mengalir pada satu muara yang sama.

Pancasila maupun Maqashid sama-sama tidak akan mengizinkan adanya kebijakan negara yang bertentangan dengan asas-asasnya. Tidak boleh ada kebijakan yang melanggar sila keadilan, misalnya sebagaimana tidak boleh pula kebijakan yang tidak memperhatikan terwujudnya maslahat sebagaimana dalam teori maqashid. Bahkan tidak boleh melakukan apapun –meski terdapat maslahat partikular– namun dapat merusak kemaslahatan universal.

Sebagaimana pada seri pertama tulisan ini, Kiai Afifuddin Muhajir juga menguraikan masing-masing sila dengan nushus. Penulis tidak ingin menguraikan masing-masing sila berdasarkan perspektif Kiai Afif karena keterbatasan ruang. Sekedar contoh, penulis akan menjabarkan pandangan Kiai Afif mengenai sila ketiga. Sementara selebihnya, pembaca bisa merujuk langsung kepada sejumlah media-media yang menyiarkan langsung orasi ilmiah beliau.

Persatuan Indonesia, menurut Kiai Afifuddin Muhajir sejatinya adalah keyakinan bahwa bangsa Indonesia merupakan satu bangsa yang disatukan oleh bahasa, budaya, sejarah, letak geografis dan kepentingan yang sama tanpa perasaan istimewa di antara bangsa-bangsa lain. Pemahaman ini sedikitpun tidak bertentangan dengan syariat maupun ukhuwah Islamiyah. Justru keberlangsungan negara dengan semua aspeknya hingga urusan agama sekalipun bergantung pada itu semua.

Beliau mengutip sejarah bahwa praktik sila ketiga dapat ditemukan dari perjuangan para ulama dan umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan. Mereka berkorban harta hingga darah untuk memperjuangkan bangsa mereka. Terkait dengan hal ini, H.O.S. Cokroaminoto berpandangan bahwa alih-alih menghalangi nasionalisme, justru Islam mengukuhkannya. Kiai Afifuddin Muhajir juga mengutip petuturan Kiai Wahab Hasbullah bahwa nasionalisme yang diawali dengan bismillah (nilai-nilai agama) tak lain adalah Islam itu sendiri.

Dari sini kita dapat menilai, bahwa Kiai Afifuddin Muhajir dengan kepakarannya dalam ilmu agama dan Usul Fikih secara khusus, tampil sebagai pemuka agama yang nasionalis. Alih-alih memicu sensitifitas negatif terhadap negara seperti banyak kita temui dari tokoh-tokoh lain, beliau justru sebaliknya. Menampilkan wajah Islam yang nasionalis, toleran, rukun, guyub dan berdiri kukuh dengan Pancasila dengan seluruh pengamalannya sebagai pondasi. Allahu A’lam. []

Tags: cinta tanah airIndonesiaKebangsaanKiai Afifuddin MuhajirNasionalismePancasila
Wafiroh

Wafiroh

Alumni Ma'had Aly Situbondo - Perintis Pesantren Anak Tarbiyatul Quran wal Kutub

Terkait Posts

kitab Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan

25 Maret 2023
Zakat bagi Korban

Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

25 Maret 2023
Puasa dan Intoleransi

Puasa dan Intoleransi: Betapa Kita Telah Zalim Pada Sesama

25 Maret 2023
Asy-Syifa Binti Abdullah

Asy-Syifa Binti Abdullah: Ilmuwan Perempuan Pertama dan Kepala Pasar Madinah

24 Maret 2023
Perceraian di Luar Pengadilan

Bagaimana Menghentikan Perceraian di Luar Pengadilan?

23 Maret 2023
Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui Saat Ramadan

23 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Puasa dan Intoleransi

    Puasa dan Intoleransi: Betapa Kita Telah Zalim Pada Sesama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Pernah Menyalahkan Agama Seseorang yang Berbeda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nabi Muhammad Saw Berpesan Jika Berdakwah Sampaikan Dengan Tutur Kata Lembut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan
  • 3 Tips Jika Target Ibadah Ramadan Berhenti di Tengah Jalan
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI
  • Wahai Ayah dan Ibu, Jadilah Sahabat Bagi Anakmu!
  • Nabi Muhammad Saw Berpesan Jika Berdakwah Sampaikan Dengan Tutur Kata Lembut

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist