Dalam beberapa kesempatan, saya sering terlibat pada banyak diskusi dan perbincangan terkait dengan peran dan kewajiban seorang perempuan, khususnya istri di dalam rumah tangga. Lalu di sela-sela percakapan, istilah ‘kodrat’ sering sekali digunakan untuk mempertahankan argumen lawan bicara saya mengenai apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab seorang perempuan.
Misalnya saat membicarakan mengenai peran dan posisi seorang istri ditengah keluarga, saya sering mendengar ujaran seperti, “Sudah kodratnya seorang perempuan berada di dapur!”, atau ujaran lainnya yang lebih ironis seperti, “Setinggi apapun pendidikan atau jabatan seorang perempuan, kodratnya tetaplah melayani suami dan anak-anaknya!”
Ujaran-ujaran seperti ini memang sering terlontar di tengah masyarakat kita. Jika ditelaah lebih lanjut, istilah kodrat yang mayoritas melekat pada perempuan ini, memang telah ada dari zaman dahulu, bahkan sempat menjadi sebuah wacana yang digunakan rezim Orde Baru dengan tujuan untuk membatasi gerak perempuan pada masa itu.
Kodrat diserap dari bahasa Arab ‘qudrah’ yang berarti kadar atau kemampuan yang ditentukan, kata ini kemudian mengacu kepada sifat atau karakter yang ditentukan secara biologis/natural. Dalam masyarakat berbudaya patriarki, kata kodrat sering dipakai untuk membatasi gerak perempuan pada ranah yang lebih luas dari ranah domestik.
Penyebab utamanya adalah bahwa identitas perempuan dan laki-laki dikontruksikan oleh karakteristik biologisnya. Perempuan (feminine) diasumsikan mewakili sifat-sifat melayani, patuh, dan mengandalkan perasaan, sementara laki-laki (masculine) diasumsikan mewakili sifat-sifat memimpin, aktif, serta logis.
Konstruksi semacam ini mengacu pada perbedaan biologis sehingga menentukan konstruksi sosial (gender) yang menentukan sikap dan tindakan perempuan dan laki-laki sesuai konvensi yang berlaku di masyarakat tertentu. Konstruksi sosial ini menempatkan perempuan di ranah domestik (rumah) dan laki-laki di ranah yang lebih luas (public).
Dalam tatanan masyarakat yang patriarki, konstruksi semacam ini berlaku untuk membedakan posisi, peran, dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial ini kemudian melahirkan bias gender yang berdampak pada ketidakadilan/marjinalisasi pada perempuan.
Dalam sistem masyarakat patriarki, Kodrat yang seharusnya mengandung arti sifat/karakter manusia secara biogis dikonstruksikan sejalan dengan gender yang lebih mengacu pada konstruksi sosial. Perempuan yang memiliki kodrat menstruasi, hamil, dan melahirkan dikonstruksikan sebagai makhluk yang seharusnya berada dalam ranah domestik.
Sebaliknya, laki-laki yang tidak memiliki beban biologis semacam itu, diasumsikan cocok untuk berada di ranah publik. Konstruksi gender dalam sistem patriarki ini kemudian melahirkan konsep mengenai kodrat. Konsep kodrat ini menghegemoni masyarakat sebagai sebuah aturan untuk mengontrol dan memberi batasan pada perempuan sebagai upaya menghantarkan perempuan pada ranah domestik. Oleh karena itu, istilah kodrat sering dihadirkan dan telah menjadi wacana pada ruang publik, misalnya dalam ceramah-ceramah agama ataupun aturan-aturan bernegara seperti yang berlaku di zaman Orde Baru.
Di masa Orde Baru, ideologi Negara dibangun sebagai suatu sistem berbasis patriarki yang membumikan konsep kodrat pada perempuan. Istilah kodrat, yang berarti sifat yang melekat secara biologis, sering digunakan pemerintah dalam kaitannya dengan perempuan, misalnya kodrat perempuan yang ditakdirkan untuk menjadi penjaga dan pendidik generasi muda. Hubungan sosial dan politik pun terpusat di sekitar gambar ibu (perempuan) dan bapak (laki-laki) sebagai suatu keluarga yang ideal, dengan posisi Bapak sebagai ‘pemimpin’ dan Ibu sebagai ‘pengurus’ keluarga.
Undang-Undang Perkawinan yang dibuat di masa Orde baru, yakni UU tahun 1974 (pasal 31 dan 34) secara eksplisit telah menempatkan perempuan sebagai ‘pengurus rumah tangga’ dan laki-laki sebagai pemimpinnnya. Undang-undang tersebut secara tersirat telah melegitimasi penaklukan perempuan dalam upaya pembangunan keluarga ideal ala Orde Baru melalui peraturan Negara.
Dengan demikian, Orde Baru melihat perempuan sebagai kelompok struktural yang penting dalam masyarakat sehingga mampu memainkan peran mereka dalam memastikan stabilitas sosial, melaksanakan rencana pembangunan, dan mengurangi angka kelahiran. Pada tahun-tahun awal rezim, perempuan dipandang semata-mata sebagai ibu rumah tangga dan ibu.
Orde Baru telah menjalankan kekuasaan gender melalui kebijakan seperti keluarga Berencana (KB) dan kontrol negara terhadap organisasi perempuan dalam model keluarga yang mendaftarkan otoritas laki-laki seperti organisasi Dharma Wanita dan PKK. Kekuatan gender ini beroperasi secara diskursif melalui citra feminitas yang diakui secara resmi.
Pada periode ini, Perempuan Indonesia dilambangkan sebagai second position dalam keluarga dan Negara, dengan tugas kewarganegaraan utama mereka dilaksanakan melalui peran sebagai istri dan ibu. Wacana resmi Orde Baru menjelaskan lokasi sosial perempuan dalam hal kodrat, atau nasib yang ditentukan secara biologis.
Jatuhnya rezim Orde Baru ternyata tidak sepenuhnya meruntuhkan elemen-elemen ideologinya. Wacana mengenai kodrat ala Orde Baru masih santer terdengar terutama dalam pembahasan mengenai perempuan dan pekerjaannya, seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan ini.
Meskipun berbeda rupa kodrat wanita di zaman sekarang sangat terlihat pada peran ganda yang dialami kebanyakan perempuan pekerja. Tampaknya ‘alami’ bahwa setiap perempuan harus menempatkan tanggung jawab mereka sebagai istri dan ibu di atas segalanya dalam hidup mereka, termasuk pekerjaannya di ranah publik. []