Konsep gender mengacu pada sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi, baik secara sosial maupun secara kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, emosional, dan keibuan; laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa.
Berbeda dengan jenis kelamin, ciri dan sifat gender dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang lemah lembut, emosional, dan keibuan; ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri gender dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, atau dari suatu kelas ke kelas lain. Contohnya, di suku tertentu perempuan lebih kuat dari pada laki-laki.
Selain itu, konsep gender juga menghendaki adanya kesetaraan dalam relasi di semua ranah kehidupan. Kesetaraan yang mampu menciptakan sebuah keadilan tanpa diskriminasi baik secara jenis kelamin, ras, suku , agama dan sebagainya.
Islam adalah agama rahmatan lil’alamin, yang mengusung konsep keadilan maupun kesetaraan. Agama manapun, tanpa terkecuali, tidak menghendaki adanya diskriminasi antar sesama manusia. Nilai-nilai yang diusung oleh Islam pun bertujuan untuk pembebasan manusia dari kebodohan maupun keterbelakangan.
Akan tetapi banyak pula ayat-ayat yang masih menjadi perdebatan namun dijadikan rujukan. Seperti halnya ayat asal-usul manusia yaitu surat an-nisa 1, yang kemudian ditafsirkan dalam bahasa patriarki dan bias gender, sehingga lebih cenderung mensuperioritaskan kedudukan laki-laki.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Banyak penafsir mengartikan kata nafs wahidah sebagai Adam, sedangkan kata zawjaha adalah Hawa. Seiring dengan ungkapan az Zamakhsyari, bahwa yang dimaksud nafs wahidah adalah Adam, sedangkan zawjaha adalah Hawa yang diciptakan Tuhan dari salah satu tulang rusuk Adam yang bengkok.
Tafsiran ini memiliki efek negatif bagi perempuan, sebab dengan mengatakan perempuan berasal dari bagian diri laki-laki, tanpa laki-laki maka perempuan tidak akan ada. Merujuk pada al-Qur’ân banyak ayat menjelaskan tentang prinsip-prinsip kesetaraan gender. Nasaruddin Umar mencoba mengkompilasinya sebagai berikut:
Pertama, prinsip kesetaraan gender mengacu pada suatu realitas antara laki-laki dan perempuan, dalam hubungannya dengan Tuhan, sama-sama sebagai seorang hamba. Tugas pokok hamba adalah mengabdi dan menyembah. Ini dapat dipahami dalam firman-Nya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” (QS. al-Dzâriyât (51): 56).
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang dijadikan ukuran untuk memuliakan atau merendahkan derajat mereka hanyalah nilai ketaqwaannya.
Prestasi ketaqwaan dapat diraih oleh siapa pun, tanpa memperhatikan perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Al-Qur’ân menegaskan bahwa hamba yang paling ideal ialah muttaqûn, sebagaimana disebutkan dalam firman- Nya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allâh ialah orang yang paling bertaqwa diantara kalian. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al- Hujurât/49: 13).
Kedua, adalah fakta bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai khalîfah. Jika dicermati, Allâh Swt. Sama sekali tidak menegaskan jenis kelamin seorang khalîfah. Jadi dalam Islâm prinsip kesetaraan gender telah dikenal sejak zaman `azalî. Lihatlah surah al-Baqarah ayat 30 yang menegaskan:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalîfah di muka bumi…” (QS. al-Baqarah/2: 30).
Menurut Nasaruddin Umar, kata khalîfah pada ayat di atas tidak menunjukkan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalîfah, yang akan mempertanggung jawabkan kekhalîfahan- nya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Saat itu jenis kelamin bayi belum diketahui apakah laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, Allâh telah berbuat adil dan memberlakukan kesetaraan gender dengan terlebih dahulu ia harus menerima perjanjian dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam firmannya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allâh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. al-A`râf (7): 172).
Deskripsi tersebut dapat memberi gambaran kepada kita bahwa al-Qur’ân menjunjung tinggi kesetaraan gender. Kesetaraan gender adalah merupakan bagian dari nilai Islâm yang berlaku universal.
Jadi, analisis gender yang memperjuangkan kehidupan yang adil dan lebih manusiawi tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam. Oleh karena itu, tindakan yang diskriminatif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan.
Termasuk di dalamnya pemahaman-pemahaman keagamaan yang mengarah kepada dehumanisasi dan tindak diskriminasi tentu sangat tidak dibenarkan, karena agama sejatinya diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh umat manusia tanpa memandang perbedaan dalam bentuk apapun. []