Pertanyaannya, apakah sebenarnya publik layak mengonsumsi tontonan sidang perceraian yang merupakan ranah privat?
Mubadalah.id – Pada 19 Februari 2024 kemarin menjadi agenda sidang pertama kasus perceraian antara Ria Ricis dan Teuku Ryan. Sidang digelar di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Rekaman persidangan perdana tersebut sudah tersebar di banyak platform, baik twitter, Instagram, Tiktok, Youtube dan platform lainya.
Perceraian antara Ricis dan Ryan tersebut seakan menjadi berita hangat, mengingat popularitas Ricis yang pernah menjadi Youtuber dengan followers jutaan di Indonesia. Isu perceraian yang ada sebelumnya juga sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan khalayak umum.
Banyak masyarakat yang menganggap isu tersebut sebagai settingan demi mendongkrak popularitas Icis, namun adapula yang mempercayai dengan terendusnya bau keretakan rumahtangga antara keduanya.
Masyarakat mulai mengoreksi dan mencari kebenaran beritanya. Melalui video persidangan yang tampil akhirnya terjawablah semua rasa penasaran masyarakat. Namun tidak puas sampai di situ, netizen masih terus mengulik beritanya semakin dalam dengan menggali alasan perceraian keduanya. Bahkan semakin banyak konten-konten yang tersebar menampilkan saling tuding antara kubu masing-maisng.
Sedikit aneh memang kebiasaan kelewat kepo yang semakin merajalela. Hal ini semacam mengandung nuansa bahwa masyarakat kita suka turut campur dalam urusan rumah tangga orang lain. Pertanyaannya, apakah sebenarnya publik layak mengonsumsi tontonan sidang perceraian yang merupakan ranah privat?
Sifat Sidang Perceraian
Jalannya persidangan diatur dalam sebuah aturan yang bernama Hukum acara. Perceraian yang merupakan urusan privat menjadi ranah hukum privat atau hukum perdata dalam penyelesaianya.
Dalam buku Hukum Acara Perdata karangan Yahya Harahap memiliki pengertian bahwa Hukum acara perdata mengatur prosedur persidangan mulai dari pengajuan gugatan hingga penjatuhan putusan yang memiliki sifat terbuka untuk umum.
Sidang yang terbuka untuk umum memberikan peluang bagi masyarakat melihat jalannya proses persidangan. Namun dalam kasus tertentu persidangan bisa berjalan secara tertutup, sehingga pihak yang tidak berkepentingan tidak bisa melihat prosesnya, salah satunya seperti pada sidang kasus perceraian.
Sidang perceraian dilakukan secara tertutup dengan hanya dihadiri oleh para pihak yang berperkara. Penggugat dan Tergugat, Majelis Hakim pemeriksa pekara, Panitera dan Kuasa hukum para pihak apabila menggunakan jasa kuasa hukum.
Tujuan dari adanya sidang tertutup tidak lain guna melindungi privasi masing-masing pihak. Namun jika para pihak mengizinkan agar sidang berjalan secara terbuka, maka Hakim akan memberikan kesempatan bagi yang ingin mengikuti jalannya sidang dengan tenang di tempat yang tersedia.
Kembali ke pertanyaan awal, jadi persidangan pada perkara perceraian pada dasarnya adalah suatu yang privat dan tertutup, sehingga masyarakat harusnya tidak perlu ikut campur terlalu dalam pada urusan privat masing-masing individu, terlebih karena dalam pernikahan masing-masing pasangan harus saling menutup aib masing-masing.
Mendorong Keberhasilan Perdamaian
Turut campurnya masyarakat umum yang memiliki kepentingan komersil dari adanya kasus perceraian antara Icis dan Ryan tersebut akan berdampak positif jika media berita mampu menjadi penjembatan keduanya untuk bisa bersepakat damai. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka tak ayal kesepakatan damai antara keduanya akan sangat susah terealisasi.
Sesuai prosedur, pedamaian dalam tiap sengketa akan terus menjadi upaya untuk menghasilkan kesepakat damai. Namun upaya tersebut juga membutuhkan sikap kooperatif dari masing-masing pihak. Tidak hanya itu, keluarga dari pihak Penggugat dan pihak Tergugat juga harus mendorong pedamaian antara kedua pihak yang beselisih.
Ingat kembali bahwa perselisihan adalah suatu hal yang membawa kehancuran bagi pihak yang bersengketa, sedangkan bagi pihak yang melihat perselisihan hendaknya memiliki empati untuk ikut mendamaikanya.
Sebagaimana pernikahan, perceraian juga melibatkan dua keluarga yang seharusnya sama-sama menjadi juru damai (Hakam) untuk mencarikan solusi perdamaian antara keduanya. Bukan saling mencaci dan adu argumentasi siapa yang salah dan yang benar dalam sengketa yang terjadi. []