Mubadalah.id – Hak untuk melangsungkan perkawinan merupakan hak asasi manusia yang melekat pada tiap orang. Termasuk pasangan yang berbeda agama. Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk membentuk dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Undang Undang Dasar 1945 menjamin hak perkawinan dan membentuk suatu keluarga tersebut sebagai hak asasi manusia.
Lebih jauh Pasal 281 ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintahan”. Dalam hal ini, Mahkamah Agung sebagai lembaga negara tentu juga mempunyai kewajiban tersebut.
Kemudian Pasal 4 dan 5 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebut bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat”.
Pengabaian HAM dan Independensi Peradilan
Dengan demikian, Surat Edaran MA untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan umat berbeda agama juga merupakan pengabaian pada asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Sebagaimana tercantum pada bunyi Pasal 4 dan 5 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di atas.
UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) menegaskan sifat dan karakter kekuasaan kehakiman dengan menyatakan : “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
SEMA Nomor 2 Tahun 2023 dengan demikian juga tidak sesuai dengan prinsip hukum Judiciary Independence atau asas independensi peradilan. Dengan adanya SEMA tersebut menandakan bahwa hakim dalam hal ini menjadi terbatas haknya dalam memutuskan perkara permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
Idealnya, Judiciary Independence (independensi peradilan) menjadi prinsip pokok dalam menjaga supremasi hukum serta melindungi hak-hak dan kebebasan individu. Kemerdekaan peradilan seharusnya memastikan bahwa para hakim dan pengadilan untuk membuat keputusan yang adil dan tidak memihak. Tanpa terpengaruh oleh misalnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023.
Bertentangan Dengan UU Adminduk
SEMA No. 2 Tahun 2023 juga dianggap mengabaikan ketentuan UU Nomor UU No. 23 Tahun 2006 jo. UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 35 huruf a menyatakan bahwa pencatatan perkawinan yang diatur dalam pasal 34 UU Adminduk berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Kemudian penjelasan Pasal 35 huruf a menyatakan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Jika SEMA berhadapan dengan Pasal 35 huruf a UU Adminduk, maka (berdasarkan asas lex superior derogat legi inferior) ketentuan Pasal 35 huruf a UU Adminduk tentu seharusnya lebih utama (kuat) daripada SEMA No. 2 Tahun 2023. Hal ini karena kedudukan UU Adminduk dalam hierarki peraturan perundang-undangan lebih tinggi daripada SEMA. Kekuatan hukum SEMA No. 2 Tahun 2023 tidak lebih kuat daripada Undang-undang.
Pasal 79 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk mengatasi problem atau masalah hukum yang belum atau tidak diatur secara rinci dalam Undang-undang. MA dalam hal ini memiliki kewenangan untuk mengeluarkan aturan pelengkap.
SEMA Nomor 2 Tahun 2023 pada dasarnya muncul untuk mengisi kekosongan hukum. Masalahnya adalah aturan mengenai pencatatan perkawinan nikah beda agama sudah tercantum dalam UU Adminduk dan GHR. Sehingga kita tidak dapat menyebutnya sebagai kekosongan hukum.
Quo Vadis Regulasi Nikah Beda Agama
Pasca keluarnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023, legalitas perkawinan beda agama di Indonesia memperoleh sedikit kejelasan penafsiran. Aturan ini menjadi penafsir Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan dalam persoalan keabsahan perkawinan beda agama. Aturan ini juga dengan demikian mengganti keberlakuan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986.
Tetapi sejauh ini, masih saja terdapat konflik norma dalam regulasi nikah beda agama. Termasuk setelah keluarnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023. Karena itu penulis mengamini bahwa mencabut Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Administrasi Kependudukan merupakan keniscayaan, guna mencegah pertentangan norma.
Selain itu, jika hendak mencapai kepastian hukum yang optimal. Pemerintah dapat mengeluarkan regulasi nikah beda agama dalam bentuk undang-undang baru yang ramah terhadap pemeluk agama yang ada (tidak sebatas surat edaran). Sehingga secara kekuatan hukum lebih kuat. Tidak hanya sebatas SEMA, mengingat belum ada konsekuensi hukum apabila hakim tidak melaksanakan aturan tersebut.
KHI juga sebenarnya telah mengatur perkawinan beda agama. Namun masalahnya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbentuk Instruksi Presiden, bukan Undang-Undang. Sehingga tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebenarnya kontroversi regulasi nikah beda agama dapat cepat segera berakhir jika saja pemerintah mau melakukan perubahan atas UU Perkawinan. Terutama dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai larangan perkawinan. Perumus undang-undang dapat menambahkan perkawinan beda agama sebagai perkawinan yang terlarang. []