Laporan Catatan Tahunan (Catahu) 2019, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyebutkan kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan sekitar 14% yaitu sebesar 406.178 kasus dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Catahu 2018) yaitu sebesar 348.446.
Sedangkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat sepanjang tahun 2018, terdapat 5.857 kasus perceraian dan 914 kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Melihat hal itu, Direktur Rahima, Pera Sopariyanti menilai, KUA memiliki peran yang sangat strategis dan penting dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik pada tahap pra-nikah melalui bimbingan perkawinan, hingga penasehatan perkawinan saat pernikahan seperti dalam khutbah nikah.
“Peran penting KUA juga pada tahap pasca-nikah melalui bimbingan konseling bagi pasangan keluarga yang tengah mengalami konflik dalam rumah tangganya,” kata Pera kepada Mubaadalahnews.com, 10 April 2019.
Ia menegaskan, tidak kalah penting lainnya adalah eksistensi KUA, baik itu kepala KUA, penghulu, maupun penyuluh. Meraka merupakan sosok yang ditokohkan di tengah masyarakat atau jemaahnya dan bisa unit fungsional dalam mencegah KDRT.
“Tidak jarang mereka dimintai nasehat, pandangan dan pendapatnya, hingga dimintai untuk mengisi berbagai ceramah agama di berbagai tempat,” terang dia.
Pada konteks ini, lanjut Pera, mereka mempunyai peran penting mempromosikan prinsip-prinsip kesalingan dalam Islam sebagai basis utama ketahanan keluarga sakinah, sekaligus basis untuk mencegah berbagai bentuk KDRT.
Maka dari itu, salah satu yang melatarbelakangi digelarnya workshop SOP khutbah nikah dan penasehatan ini. Sebab masih banyak terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya didalam ranah keluarga.
Terkait peran dan fungsi KUA, Rahima menggunakan pendekatan Islam yang adil jender dengan pendekatan mubadalah. Itu sebagai strategi dimana di dalam konteks budaya masyarakat yang patriarki, baik laki-laki atau perempuan yang lemah, maka ia bisa menjadi korban atas sistem patriarki tersebut.
“Siapa yang lemah, dia yang rentan jadi korban. Memang dalam konteks masyarakat kita, kelompok yang rentan dan lemah ini lebih banyak kelompok perempuan dan anak,” bebernya.
Setelah dibuat SOP untuk khutbah nikah dan penasehatan untuk KUA Kulon Progo dan Gunung Kidul, lanjut Pera, Rahima berencana akan melakukan upaya advokasi baik itu ke Kemenag tingkat kabupaten atau provinsi hingga tingkat pusat.
“Kita punya best practice, salah satunya yaitu adanya SOP khutbah nikah dan penasehatan, dimana kedua fungsi sudah ada namun belum menyentuh, sebagaimana pendapat salah satu peserta KUA,” tuturnya.
Oleh karena itu, SOP dengan menggunakan pendekatan kesalingan ini diharapkan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan untuk pempersiapkan pasangan membentuk keluarga yang sakinah. Sehingga harapannya bisa diadopsi atau digunakan KUA-KUA lain di Indonesia. (WIN)