Mubadalah.id – Dalam banyak tafsir keagamaan, identitas seorang perempuan sebagai istri sering kali ditentukan oleh suaminya. Perempuan seolah kehilangan otoritas atas dirinya sendiri, larut dalam kehendak dan aturan yang ditetapkan oleh suami.
Pandangan ini bisa kita lihat dari penjelasan ulama Syekh Nawawi al-Bantani. Dalam kitabnya, ia menegaskan sejumlah kewajiban istri yaitu harus merasa malu terhadap suami, tidak boleh menentang, menundukkan muka dan pandangan, selalu taat selama bukan pada perkara maksiat, diam saat suami berbicara, berdiri ketika suami datang atau pergi, dan senantiasa menyenangkan hati suami.
Tak hanya itu, potensi fitnah dianggap inheren melekat pada diri perempuan. Pemikiran keagamaan klasik sering menempatkan perempuan sebagai sumber kekacauan moral publik. Untuk “melindungi” masyarakat dari fitnah tersebut, perempuan didomestikasi.
Syekh Nawawi bahkan menegaskan, sekalipun seorang perempuan shalihah, jika ia melakukan tiga hal, maka ia layak menjadi fasik atau bahkan seperti pelacur. Tiga hal itu yakni keluar rumah di siang hari sambil memperlihatkan perhiasan dan kecantikannya kepada pria lain; memandang lelaki selain suaminya. Serta dengan sengaja memperdengarkan suaranya kepada lelaki bukan mahram.
Hadis-hadis yang sering dikutip pun semakin memperkuat narasi ini. Salah satunya menyebut, setiap langkah perempuan yang keluar rumah diikuti setan yang membisikkan godaan kepada laki-laki.
Hadis lain bahkan menegaskan, “shalatmu di rumah lebih baik daripada di mushala kampungmu, dan shalatmu di mushala kampungmu lebih baik daripada di masjidku (Nabi).” Dalam riwayat lain, menyebutkan bahwa shalat perempuan yang paling Allah cintai adalah di sudut rumahnya yang paling gelap.
Tidak Boleh Keluar Rumah
Narasi seperti ini membuat perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa keperluan penting. Kalau pun harus, sebaiknya tidak sendirian. Alasannya karena kehadiran tubuh perempuan di ruang publik, otomatis akan menggoda dan merangsang laki-laki.
Syekh Nawawi menegaskan, seorang suami yang terhormat wajib melarang istri dan anak perempuannya keluar rumah dalam keadaan berhias atau berdandan. Kalaupun keluar, sebaiknya malam hari dan harus dengan mahram atau perempuan lain yang terpercaya.
Akhirnya, larangan perempuan keluar rumah bukan semata demi “kesucian masyarakat” dari fitnah tubuhnya. Tapi juga sebagai cara melindungi perempuan dari fitnah dirinya sendiri terhadap laki-laki. Begitulah, tubuh perempuan kerap dianggap biang masalah yang mesti diisolasi.
Ironisnya, konstruksi ini menafikan tanggung jawab moral laki-laki. Padahal, fitnah seharusnya lebih kita maknai sebagai persoalan pengendalian diri laki-laki, bukan malah membatasi gerak perempuan.
Bahkan jika kita terus membiarkan tafsir seperti ini, perempuan akan selalu berada dalam posisi sebagai pihak yang wajib menanggung beban moral. Sementara laki-laki tinggal berlindung di balik dalih syahwatnya. []