• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Kurangnya Sensitivitas APH dalam Penanganan Kasus KDRT

Kasus KDRT yang menewaskan perempuan kembali terjadi, padahal korban sempat membuat laporan di kepolisian, namun pelaku tidak kunjung diproses secara hukum.

Mifta Sonia Mifta Sonia
15/09/2023
in Publik
0
Penanganan Kasus KDRT

Penanganan Kasus KDRT

1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu tersebar berita seorang ibu muda di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang tewas setelah dibunuh oleh suaminya di depan kedua anaknya yang masih balita.

Kronologi yang beredar di berbagai media menyebutkan bahwa karena tersulut emosi saat adu mulut, tersangka menampar lalu menyeret korban ke dapur. Pelaku kemudian menggorok leher korban menggunakan pisau dapur.

Korban (M) dan tersangka (N) telah menikah selama tiga tahun, menurut reportase yang Kompas lakukan, M diduga sering menerima KDRT dari sang suami.

Bahkan M sudah sempat melaporkan suaminya ke polisi. Namun suaminya itu tak kunjung tertangkap. Padahal, M selaku korban memiliki bukti visum dan bukti-bukti lain terkait KDRT yang ia alami.

Bukti-bukti itu korban kumpulkan diam-diam selama tiga tahun terakhir. Keluarga pun heran mengapa polisi memutuskan untuk menyetop kasus laporan KDRT itu hanya berdasarkan pengakuan sepihak dari pelaku.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Kurangnya Sensitivitas Aparat Penegak Hukum (APH)

Dalam kasus tersebut terlihat bagaimana pihak kepolisian tidak menganggap serius kasus KDRT. Bukti-bukti yang korban kumpulkan tidak berlaku hanya dengan pernyataan pelaku yang membantah telah melakukan KDRT.

Kepolisian mengabaikan laporan yang korban buat. Bahkan tidak ada tindakan yang kepolisian lakukan untuk melindungi korban. Hal inilah yang kemudian membuat korban mengalami perlakuan KDRT yang lebih parah dari sebelumnya.

Padahal Indonesia memiliki UU KDRT yang harusnya kita gunakan dalam penanganan kasus KDRT yang dilaporkan. Sementara dalam Undang-undang KDRT pasal 5-7 telah menyebutkan bahwa KDRT termasuk Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Serta Kekerasan psikis sebagaimana maksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Korban yang menerima kekerasan psikis seusai yang disebutkan dalam undang-undang harusnya bisa melapor dan laporannya diterima. Apalagi korban yang sudah membawa banyak bukti dan visum tidak selayaknya laporan tersebut kita abaikan.

Kurangnya sensitivitas APH dalam menangani kasus KDRT bisa jadi penyebabnya karena pemikiran yang tertanam kuat bahwa KDRT merupakan ranah personal atau privat seseorang.

Sehingga hukum tidak perlu ikut campur dalam urusan rumah tangga seseorang. Lalu apa gunanya ada UU KDRT? Apakah kepolisian baru akan bertindak setelah korban tewas seperti yang terjadi pada M di Bekasi, Jawa Barat?

Kepolisian dan Lingkungan Turut Andil dalam Tewasnya Korban KDRT

Secara tidak langsung kepolisian juga mengambil bagian dalam kasus tewasnya M, karena laporan yang M buat tidak teratasi dengan serius. Bayangkan saja apabila kepolisian menerima laporan tersebut dan melakukan pemeriksaan sesuai prosedur serta melindungi korban. Mungkin nasib buruk seperti ini bisa terhindarkan.

Pelaku KDRT yang dibiarkan tetap bebas tidak menimbulkan efek jera. Bahkan perilaku kekerasannya bisa semakin parah. Tidak hanya polisi, tetangga korban juga turut andil dalam pembunuhan M dalam kasus ini. Tetangga korban mengatakan mendengar korban teriak meminta tolong dan sering melihat pelaku melakukan KDRT.

Namun apa yang mereka lakukan? TIDAK ADA. Sekali lagi KDRT mereka anggap urusan personal, sehingga tidak ada yang menolong korban ketika kekerasan terjadi. Perlu untuk kita ingat bahwa KDRT bukan urusan personal, ketika kita melihat ada tindak kekerasan seharusnya itu menjadi urusan publik untuk membantu menghentikannya.

Apa dampak apabila orang-orang terdekat abai dalam tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga? Korban akan terus-terusan menerima kekerasan bahkan paling buruk meninggal dunia. Berdasarkan pemantauan media massa, terdata 421 kasus pembunuhan terhadap perempuan. Sebanyak 42,3 persen dilakukan oleh suami. (kompas.com)

Implementasi UU KDRT

UU KDRT telah menyebutkan dengan jelas bagi setiap orang atau masyarakat yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya. Yakni untuk : mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Dalam kasus ini kepolisan tidak hanya mengabaikan laporan korban. Namun juga mengabaikan hak-hak korban untuk mendapatkan perlindugan dan tidak melakukan kewajiban mereka sebagai APH untuk memberikan perlindungan seperti yang tertera pada pasal 17-20 UU KDRT.

Kepolisian menjadi abai ketika menyangkut urusan rumah tangga padahal mereka seharusnya menjadi pilar utama dalam penegakan hukum. Mau berapa banyak lagi perempuan yang menjadi korban KDRT bahkan tewas karena APH tidak menganggap serius laporan korban?

Tidak adanya penguatan yang diberikan kepada korban membuat korban akan kembali lagi pada pelaku dengan alasan adanya anak.

Apabila dari awal korban membuat laporan, kepolisian langsung bekerja sama dengan pekerja sosial dan tenaga kesehatan untuk memberikan hak-hak korban. Maka kembalinya korban kepada pelaku bisa kita minamilisir.

Sehingga korban tidak merasa sendirian dan kembali pada pelaku seperti siklus KDRT yang banyak terjadi. Anak tidak lagi kita jadikan alasan untuk kembali pada pelaku ketika korban mendapat pendampingan secara psikologis. Selain itu pelaku kita proses secara hukum. Rumah tangga yang penuh dengan kekerasan lebih buruk dampaknya pada psikologi anak-anak.

Femisida dalam Relasi Personal

Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang terdorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

Karena itu, femisida muatannya berbeda dari pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. Femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya. Melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis dan terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara.

Kasus femisida terus meningkat setiap tahunnya di Indonesia. Menurut pemantauan Komnas Perempuan, femisida paling banyak terjadi dalam relasi personal yaitu terkait relasi perkawinan di ranah rumah tangga dan keluarga atau pacaran. Komnas Perempuan menganggap kasus pembunuhan terhadap ibu muda di Bekasi sebagai femisida (kompas.com).

Kasus kekerasan hingga pembunuhan terjadi karena ada rasa kepemilikan kepada perempuan yang membuat laki-laki atau suami boleh berbuat sesuka hatinya. Dalam kasus ini Mapolsek Cikarang Barat sempat menjelaskan saat Konferensi Pers bahwa salah satu alasan pelaku membunuh korban karena faktor ekonomi.

Korban diketahui memiliki penghasilan lebih besar dari pelaku. Di mana dalam budaya patriarki suami yang selalu kita posisikan sebagai pihak superior merasa terintimidasi, sehingga melakukan kekerasan sebagai upaya untuk mempertahankan powernya.

Karena belum ada perubahan hukum dan kebijakan terkait femisida. Motif, modus dan kekerasan berbasis gender sebelum atau yang menyertainya tidak menjadi faktor pemberat hukuman. []

Tags: APHFemisidaIbuKDRTkekerasankeluargakepolisianKomnas PerempuanpembunuhanperempuanperkawinanUU KDRT
Mifta Sonia

Mifta Sonia

Seorang perempuan yang sedang menggeluti dunia Jurnalistik dengan keinginan bisa terus menyuarakan suara-suara perempuan yang terpinggirkan.

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version