Mubadalah.id – Belakangan tren lelaki tidak bercerita memenuhi linimasa media sosial dan orang-orang ramai membuat konten dengan tagline “lelaki tidak bercerita tapi tiba-tiba bengong, tiba-tiba badan menjadi kurus, tiba-tiba mendaki ke gunung bahkan melakukan hal-hal yang absurd”. Dari fenomena ini jadi mempertanyakan “Memangnya kenapa sih laki-laki kok tidak bercerita?”
Pertanyaan itu tidak lain karena pola asuh dari orang tua, sedari kecil jika ada anak laki-laki menangis, orang tua akan bilang “Laki-laki kok cengeng.” “Jadi laki-laki itu harusnya kuat, apa-apa ditahan bukan malah nangis”, “Laki-laki nangis, itu cemen”, “Laki-laki tak boleh menangis” dan masih banyak lagi. Padahal secara alamiah anak menangis adalah bentuk mengungkapkan ekspresi emosi agar lebih tenang.
Mengapa sih orang tua bersikap demikian?
Hal tersebut disebabkan karena adanya peranan gender tradisional yang mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Seperti laki-laki kita harapkan memiliki karakter kuat, dapat melindungi keluarga. Tidak boleh menunjukkan kelemahan sementara perempuan harus lemah lembut, dapat melakukan pengasuhan, boleh memperlihatkan kelemahan atau emosinya, dan pandai melakukan kerja-kerja domestik.
Maka tak heran ini melahirkan standar feminin dan maskulin yang jika perempuan serta laki-laki tidak sesuai standar tersebut akan mendapat stigma bukan laki-laki gentleman atau bukan perempuan seutuhnya.
Budaya Patriarki dan Kesehatan Mental Laki-Laki
Budaya patriarki yang menciptakan peranan gender tradisional ini membuat citra kuat bahwa laki-laki yang maskulin itu tidak menunjukkan emosi. Seperti takut atau sedih karena itu sama saja menandakan kelemahan dan sangat kontradiksi dengan harapan masyarakat. Adanya harapan serta stigma membuat laki-laki terpaksa cenderung menghadapi masalah secara individual tanpa dukungan emosional dari orang lain.
Ketidakterbukaan akibat budaya patriarki memberikan dampak terhadap kesehatan mental laki-laki di antaranya: pertama penekanan emosi, karena laki-laki tidak berani membicarakan kerentanannya ini akan menyebabkan emosi menumpuk. Sehingga menjadi bumerang bagi dirinya sendiri seperti amarah yang meledak-ledak. Jika tak teratasi dapat pula berujung pada tindak kekerasan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Kedua toxic masculinity, toxic masculinity ini yang membuat laki-laki harus sesuai dengan tuntutan di mayarakat dengan melakukan apa yang disebut sebagai “maskulin”. Di mana laki-laki tak boleh mengarah pada perilaku “feminin” sehingga merasa lelah, tertekan, stress, depresi atau bahkan penyalahgunaan obat.
Stigma yang berkaitan dengan berbagi emosi identik dengan “kurang maskulin” menjadi penghalang laki-laki untuk berbagi perasaan atau mencari bantuan ke psikolog. Maka dari itu stigma tersebut menjadikan laki-laki merasa tertekan untuk terus mempertahankan citra yang kuat. Meskipun sebenarnya mereka juga butuh dukungan emosional.
Ketiga, tingginya angka bunuh diri. Ketidakmampuan untuk bercerita karena stereotip yang melekat. Laki-laki mudah mengalami kecemasan, depresi dan jika tidak tertolong dapat melakukan tindakan paling ekstrem yaitu bunuh diri. Mengutip dari Youtube Narasi Newsroom data dari WHO tingkat kasus bunuh diri di Indonesia tahun 2000-2019 lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.
Pentingnya Bercerita
Cerita menurut Dr. Jiemi Ardian Sp.K.J dalam artikel kompas.com ialah cara alamiah seseorang meredakan dan melepaskan emosinya. Sehingga seharusnya bercerita tak mengenal gender baik perempuan maupun laki-laki sebaiknya berbagi perasaan. Karena bercerita salah satu cara untuk membantu kesehatan mental seseorang menjadi lebih baik.
Berbagi cerita dapat melepas beban yang seseorang rasakan. Dengan begitu mampu meredakan stress serta mengurangi kecemasan meskipun tak dapat menyelesaikan persoalan. Bercerita memungkinkan kita mendapat dukungan emosional yang kita butuhkan apalagi saat kita merasa kalut.
Dengan saling mengungkapkan perasaan kita lebih mudah membangun hubungan yang mendalam dengan orang lain. Ketika berbagi kisah menandakan bahwa kita telah membuka diri yang membuat orang lain merasa lebih dekat dengan kita.
Selain itu juga bercerita membuat diri kita akan kaya sudut pandang dan pilihan. Misalnya kita bingung untuk menyelesaikan persoalan lalu kita bercerita, bisa saja kita memperoleh pilihan lain, saran dan mendapat sudut pandang yang lebih objektif.
Sudah Saatnya Laki-laki Bercerita
Karena bercerita mempunyai peranan dan manfaat terlebih untuk kesehatan mental. Agaknya mulai sekarang sudah saatnya berhenti untuk menuruti konstruksi sosial dan berani mendobrak stereotip. Lelaki boleh bercerita tanpa perlu takut dianggap lemah, nyatanya memendam perasaan sendirian lebih berbahaya dibandingkan dengan penilaian mengenai maskulinitas lelaki.
Kamu tak perlu merasa kurang maskulin hanya karena kamu menceritakan apa yang kamu rasakan atau kerentanan yang kamu alami. Sebab bercerita bukti bahwa kamu memedulikan diri sendiri dan itu juga maskulin kok!
Mari mulai bercerita, temukan seseorang yang dapat mendengarkan tanpa menghakimi. Buatlah lingkungan yang nyaman, dan mulailah dengan cerita-cerita kecil. Jika kamu kesulitan untuk membuka diri, menulis jurnal bisa jadi pilihan.
Menulis jurnal harian seringkali identik dengan kegiatan perempuan. Mungkin karena berkaitan dengan budaya patriarki tapi lagi-lagi hal itu tak ada hubungannya dengan ke-perempuanan atau kelaki-lakian sehingga menulis jurnal siapapun dapat melakukannya.
Dan kalau kamu merasa kesulitan mengatasi masalah sendiri jangan ragu untuk mencari bantuan professional. Ingat, membutuhkan bantuan serta bercerita bukan tanda kelemahan melainkan kekuatan!
Sebagai penutup saya ingin bilang kepada laki-laki:
“Mari mendobrak stereotip meski dianggap kurang laki-laki serta tak sesuai dengan konstruksi, sebab nilaimu bukan tergantung pada ekspektasi yang melekat pada hal-hal di luar dirimu. Jadi cari definisi laki-laki versi terbaikmu dan lepaskan beban dengan mulai bercerita bukan memendam hanya karena dianggap kelemahan”.
Lelaki boleh bercerita karena itu kekuatan bukan kelemahan. []