• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Makna Isra’ Mi’raj bagi Keluarga

Zahra Amin Zahra Amin
16/04/2018
in Kolom
0
Isra’ Mi’raj

Isra’ Mi’raj

34
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Hal yang paling penulis ingat dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, yang merupakan bagian dari perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW ke dimensi lain itu, adalah perintah shalat lima waktu dalam sehari semalam, sejak fajar menjelang hingga petang temaram tiba. Sebelum memulai aktivitas harian, sampai menutup kegiatan di hari yang sama. Mengawali hari dengan berdoa, menutup hari pun dengan berdoa pula. Shalat tidak hanya sekedar ibadah fisik, karena ada ruang komunikasi yang kita bangun dengan kekuatan tak terlihat yakni Allah SWT.

Tetapi banyak orang yang masih menyepelekan tentang pentingnya shalat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan catatan ini bukan berarti shalat penulis juga sudah lebih baik, tetapi minimal kita selalu ada usaha terus menerus untuk memperbaiki diri. Setiap dari diri kita pasti ingin berubah ke arah yang lebih baik, termasuk juga yang kita harapkan untuk orang-orang yang disayangi seperti pasangan hidup dan anak-anak. Sejauh mana kita mampu memaknai Isra’ Mi’raj dalam kehidupan keluarga, terutama tentang perintah shalat yang menjadi sarana beribadah umat Islam.

Baca juga:
Nabi Mengapresiasi Perempuan Bekerja untuk Keluarga

Mengutip catatan Chandra Malik dalam tulisan Menembus Dimensi Ruhaniah (Renungan Isra’ Mi’Raj 1), bahwa Rasulullah SAW menempatkan shalat dan waktu dalam satu garis kedudukan yang mulia, menjadikannya pasangan yang tak terpisahkan. Pada doa iftitah menyatukan shalat dan segala ibadah lain dengan hidup dan mati, dalam ikatan keberserahan kepada Allah SWT.

“Inna shalatii wa nusukii wa mahyaya wa mamaatii lillahi rabbil ‘aalamiin. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Rentang antara hidup dan mati itulah waktu bagi manusia di dunia, yang kita sebut usia. Dan di sepanjang usia itulah shalat dan ibadah diwujudkan sebagai penghambaannya kepada Allah.  Jelas menurut Chandra Malik, hal itu terdapat pada QS. Az Zariyat : 65, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” Jika telah tiba waktu kematian, dan amal pertama yang ditanya adalah shalat, kelak apa jawaban kita?

Lalu bagaimana jika anak-anak susah sekali untuk melakukan shalat, apalagi jika usianya sudah baligh dan berkewajiban melaksanakannya, apa yang harus dilakukan oleh kita sebagai orang tua, yang diserahi amanat untuk mendidik dan membimbing anak-anak. Dari berbagai sumber penulis merangkumnya yakni antara lain, pertama contoh atau keteladanan yang baik. Menjadi contoh atau keteadanan yang baik bagi anak-anak adalah sangat penting untuk dilakukan.

Maka ketika tiba waktu shalat, jangan hanya menyuruh anak-anak untuk shalat sementara orang tua malah asyik menonton tv atau bersosial media melalui gawai. Jangan pernah memaksakan anak untuk melakukan sesuatu yang baik, jika orang tua tidak melakukan hal yang sama, bahkan hasilnya akan berbeda bila keadaannya seperti itu. Anak akan menjadi anak yang akan selalu menentang orang tua.

Kedua, nasehat yang baik. Ketika sudah memberikan contoh atau keteladanan selanjutnya adalah memberi nasehat pada anak-anak kita masukan positif yang tentunya sesuai dengan apa yang diberikan dan dilakukan anak-anak. Ketiga, kebiasaan baik. Ketika adzan sudah berkumandang maka wajib hukumnya kita meninggalkan semua aktivitas dan bersegeralah ambil wudhu dan melakukan shalat.

Baca juga:
Visi Revolusioner Nabi Mengangkat Derajat Perempuan

Keempat, kontrol dan pengawasan yang terus menerus. Ketika kita percaya dan yakin anak-anak sudah terbiasa dengan kebiasaan yang baik, jangan lupa untuk selalu mengontrol dan mengawasi perbuatan atau tindakan anak lainnya, agar perbuatan baik yang sudah dibiasakan itu tidak hilang karena salah pergaulan.

Kelima, hukuman yang mendidik. Ketika anak lalai, keliru atau lupa dengan perbuatannya, jangan langsung menjatuhi hukuman kepada anak. Bicarakan baik-baik terlebih dahulu, jangan langsung menghakimi anak. Namun kalau sudah ada bukti langsung, berilah hukuman sesuai dengan perbuatan  atau tindakan yang dilakukan oleh sang anak. Begitu juga dengan shalat, jika anak tidak shalat misalnya subuh, maka hukuman yang masuk akal adalah dikurangi uang jajannya atau tidak mendapatkan uang jajan sama sekali.

Keenam, doa. Orang tua yang baik adalah yang selalu menjaga anak-anaknya setiap waktu dan dalam kondisi apapun. Tidak hanya menjaga dalam keadaan fisik saja, tetapi juga menjaga anak-anak dalam doa adalah alat paling ampuh yang akan selalu menjadi kebaikan yang menyertai mereka.

Untuk semakin mempertegas perlakuan orang tua terhadap anak-anak, terkait dengan perintah menjalankan shalat lima waktu itu, maka antara Ayah dan Ibu harus saling bekerjasama dalam memberi teladan, menasehati, melakukan pembiasaan, melakukan pengawasan, memberi hukuman dan mendoakan anak.

Kalaupun posisi orang tua saling berjauhan, peran Ayah atau Ibu bisa digantikan oleh orang lain yang masih tinggal bersama dalam satu rumah. Sehingga anak-anak tidak kehilangan figur orang tua, dan dia mendapatkan teladan utuh dari sosok Ayah dan Ibu tanpa ada perbedaan dan pembedaan perlakuan. Maka dengan disiplin dalam shalat, dan pola relasi yang seimbang ini diharapkan anak akan tumbuh dengan jiwa yang matang, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman.

Jadi makna Isra’ Mi’raj menurut penulis adalah sarana untuk mengingatkan diri tentang perilaku kita sebagai hamba, yang dikorelasikan dengan shalat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Jika shalat kita sudah baik, maka akan nampak pada perilaku yang juga baik. Namun kebaikanpun harus menyeluruh melibatkan seluruh keluarga, terutama anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita sebagai orang tua, bagaimana mengajak anak agar turut mematuhi perintah shalat tanpa paksaan dan kekerasan fisik.

Maka, melalui Isra’ Mi’raj semoga kita belajar, dengan melihat kembali kualitas shalat, agar menjadi pribadi yang lebih baik untuk diri sendiri maupun orang lain di sekitar kita. []

Tags: Isra mi'rajkeluargaMuludannabi muhammad
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version