Mubadalah.id – Di zaman sekarang, kita banyak melihat dan merasakan peran strategis dari seorang perempuan di bidang pendidikan. Jika dulu perumpamaan pendidikan bagi perempuan seperti barang mewah, bahkan nampak ketimpangan gender juga kerap terjadi, sehingga mendapatkan pendidikan yang baik juga bermutu bukanlah hakikat kebutuhan untuk mereka.
Kini perubahan mindset tersebut perlahan mulai berkurang meskipun masih akrab dengan narasi tentang anggapan kedudukan kaum perempuan sebagai makhluk kelas dua. Pemikiran patriarki tersebut menganggap perempuan di bawah kekuasaan laki-laki.
Hal ini didukung dengan penemuan menarik Worldbank tahun 2020 yang menyatakan bahwa meskipun perempuan Indonesia memiliki akses terhadap pendidikan (tingkat partisipasi pendidikan tinggi), kesetaraan gender belum tercapai sepenuhnya. Sebagian karena dengan adanya ketimpangan gender dalam dunia pendidikan.
Ketimpangan Gender
Menurut Suleeman (1995) ketimpangan gender adalah adanya pembedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan dalam mendapatkan pendidikan formal.
Sedangkan menurut Global Education Monitoring Report tahun 2004, Kesetaraan gender dalam pendidikan dapat tercapai melalui tiga hal, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan (right to education), hak dalam proses pendidikan di dalam lingkungan yang mendukung kesetaraan gender (right within education), dan hak akan hasil pendidikan yang mendukung pencapaian berkeadilan (rights trough education).
Hak untuk mendapatkan kesempatan pendidikan di zaman sekarang mungkin sudah mulai tercapai partisipasinya oleh perempuan. Namun, banyak yang masih perlu kita benahi terkait hak dalam proses pendidikan yang setara.
Sumber Ajar yang Minim Nilai Kesetaraan
Contoh kecil di antaranya adalah masih minimnya sumber ajar yang menanamkan nilai-nilai kesetaraan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Indonesia dan Timur Tengah, bahwa meskipun penggambaran perempuan dan laki-laki seimbang jumlahnya namun penggambarannya itu masih bias.
Misalnya dalam buku teks, penggambaran tokoh perempuan lebih sering mereka letakkan dalam konteks domestik sedangkan tokoh laki-laki dalam konteks profesi. Pun dengan pemilihan warna, perempuan mereka gambarkan dengan warna-warna feminim seperti pink, dan biru untuk laki-laki.
Selain itu, murid laki-laki dan perempuan di kelas mereka persepsikan dalam pencapaian hasil belajar. Jika perempuan mendapat nilai lebih rendah dari laki-laki akan dikatakan bermasalah. Pasalnya, kelumrahan ini muncul dengan paradigma perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah daripada laki-laki seharusnya mendapat nilai yang lebih tinggi karena banyak waktu di rumah untuk ia gunakan sebagai kesempatan belajar.
Nilai sosial dan budaya dan stereotipe gender dapat dengan tidak sengaja terjadi di dalam kelas dan di sekolah melalui interaksi antara guru dan murid maupun di antara murid.
Selain itu perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid, dan murid-murid. Baik yang terjadi di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung, maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi ketimpangan gender yang terbangun selama ini. Di antaranya adalah penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut.
Penempatan siswa laki-laki selalu dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, dan, diskusi kelompok. Ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.
Pada kasus ketimpangan gender tersebut, dibuktikan dengan adanya teori dari sebuah study oleh John B. Watson pada tahun 1925. Menurut teori ini adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut yang membuat perempuan tertinggal dan terabaikan.
Salah Paham Makna Gender
Secara tidak langsung kesalahan gender yang terjadi sekian abad silam menjadi membudaya. Jika mengingat kembali pelajaran sejarah pada materi Zaman pra-sejarah, ternyata anggapan bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah sudah terjadi sejak saat itu. Sehingga tugasnya hanya meramu dan menjaga anak.
Sedangkan yang laki-laki berburu. Dan dewasa ini perempuan masih juga di subordinasikan sebagai perempuan yang kurang mampu mengemban tugas yang terasa berat. Karena perempuan lebih cenderung lebih memakai perasaannya dibanding dengan logika.
Jika ini masih kita teruskan, akan mengakibatkan nilai-nilai tersebut merasuk dan bersarang di pikiran mereka. Maka ketimpangan gender ini tentu saja akan semakin melekat dan berturun kepada generasi-generasi berikutnya. Sehingga masalah ketimpangan gender ini tidak akan pernah pudar.
Saya rasa diperlukan keluwesan dan kemauan dari pihak pengembangan kurikulum dan instruksi pendidikan untuk melihat ketimpangan-ketimpangan gender yang ada, perlunya kesadaran masyarakat bahwa peran domestik ini juga tidak selalu melekat kepada perempuan. Dengan demikian, secara perlahan norma-norma yang bias gender mulai dapat diubah dan kesetaraan gender mulai dapat kita wujudkan dimulai dari lembaga pendidikan itu sendiri. []