Di salah satu diskusi terkait seksualitas, seseorang bertanya kepada saya terkait hukum menjadi LGBTQ+. Dia menyatakan bahwa di satu sisi itu sangat terkait dengan kemanusiaan. Ia menceritakan temannya yang merasa berada di tubuh yang salah dan karenanya depresi. Namun di sisi lain, dalil agama yang ia cari selama ini tidak membolehkan tindak LGBTQ+.
Saya ingin menunjukan pada dia berbagai dalil agama yang pernah saya pelajari, tentu yang membolehkan menjadi LGBTQ+. Tapi saya urungkan. Saya tahu bahwa dalil agama yang tidak membolehkan menjadi LGBTQ+ juga sama kuatnya.
Buya Husein di salah satu workshop di Jakarta satu minggu yang lalu bercerita. Ia mengatakan bahwa ada 3 nalar dalam cara beragama seseorang. Yaitu nalar bayani, nalar burhani dan nalar irfani. Ketiganya memiliki sumber, metode dan pendekatan yang berbeda-beda.
Nalar bayani fokus pada halal dan haram, boleh dan tidak boleh, hitam dan putih. Ulama-ulama yang sering memakai nalar ini adalah para Ulama Fiqh, mereka yang merumuskan hukum-hukum. Sumbernya tentu saja al-Qur’an dan hadist. Nalar ini banyak digunakan oleh orang awam. Bayani bersifat dogmatis, defensif dan apologetik. Tapi tentu dengan nalar ini lah ilmu Fiqh dan ushul Fiqh berkembang.
Misalnya terkait LGBTQ+, orang-orang dengan nalar ini hanya fokus pada boleh atau tidak boleh mereka merubah jenis kelamin atau mencintai sesama jenis. Tanpa disadari, saya juga sering sekali menggunakan nalar ini. Jawabannya tentu saja hitam-putih, boleh-tidak boleh. Dengan nalar ini pula banyak orang yang merasa memiliki kemampuan pembacaan teks-teks keagamaan akan sering berdebat.
Kita sering sekali mendengar perdebatan tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal misalnya, atau boleh tidaknya merayakan valentine. Hal itu lalu menyulut perbedaan pendapat yang tidak berkesudahan di media sosial. Padahal pandangan yang hitam-putih sangat mungkin mendorong diri kita untuk merasa benar, sombong dan lalim.
Nalar yang kedua adalah nalar burhani atau kita sering menyebutnya rasio. Orang dengan nalar ini sering menggunakan logika. Menarik pengajian Gus Baha di salah satu videonya tentang logika atau rasio. Beliau menyatakan bahwa Imam Amudy dipuji Allah karena beriman padaNya lewat logika matematika.
Iman seperti itu setingkat keyakinan dan keakurasiannya dengan iman para malaikat. Bahkan Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa benar-benar hebat orang yang beriman padanya tapi tidak melihatnya. Nabi bahkan bersabda seperti itu 7 kali. Apa yang bisa menemukan keimanan seperti itu? Tentu saja logika, rasio.
Namun sayangnya, saat ini memang banyak sekali kaum agamawan yang anti dengan logika. Mereka fokus dengan teks agama dan alergi dengan penafsiran baru yang menggunakan logika. Saya sering sekali mendengar orang menyatakan “pake logika jangan jauh-jauh nanti kebablasan” untuk penafsiran-penafsiran baru yang menggunakan rasio atau logika. Padahal, Khalid Abou el-Fadl menyatakan pembacaan yang ideologis dan tendensius sangat mungkin mengarah pada hermeneutika otoriter.
Tentu saja seharusnya antara nalar bayani dan nalar burhani saling dipadu-padankan. Sehingga teks dan realitas sama-sama tidak diabaikan. Sayangnya, lagi-lagi banyak tokoh agamawan yang melarang orang-orang yang tidak mempelajari agama secara dalam untuk mengomentari masalah agama.
Ini terjadi contohnya pada masalah sunat perempuan. MUI pernah menegur dinas kesehatan agar tidak melarang sunat perempuan. Padahal dari segi kesehatan, sunat perempuan memang sangat berbahaya. Kita sama-sama tahu bahwa seharusnya untuk memahami realitas sosial-keagamaan dibutuhkan transdisiplin keilmuan.
****************
Saya ingat saya pernah membaca sebuah komik kecil berjudul Karung Mutiara Al-Ghazali. Komik ini saya beli di sebuah bazar buku murah di Bandung, ia disarikan dari tulisan-tulisan sufistik Al-Ghazali. Saya masih ingat betul beberapa kisah di dalamnya.
Suatu hari, ada seorang ulama yang ingin berwudhu untuk shalat dzuhur. Waktu dzuhur tinggal sebentar lagi, hanya cukup untuk mengambil wudhu. Ia lalu buru-buru menuju sumur, namun ternyata di tempat untuk menciduk air ada seekor semut, yang jika ulama itu menggeraknya untuk mengambil air wudhu, semut itu akan masuk ke dalam air dan mati. Tentu saja, jika ia menunggu semut itu ke atas terlebih dahulu maka waktu dzuhur akan berakhir.
Namun apa yang dilakukan oleh ulama itu? Ya, beliau mencari cara menyelamatkan semut terlebih dahulu dan waktu dzuhur segera berlalu. Saya kira, cerita ini lah yang bisa menggambarkan nalar ketiga, yaitu nalar irfani atau kebijaksanaan.
Nalar ini lah yang saat ini menurut saya lebih kita butuhkan. Bahwa kebenaran adalah milik Allah dan kita sebagai manusia hanya bertugas untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Implikasi dari ajaran ini tentu saja adalah melihat semangat makna dari sebuah teks. Ia memperlihatkan pada kita tentang esensi dan substansi. Dengan nalar ini, kita bukan hanya mempercayai Allah dengan segala religiusitas tapi juga diimbangi rasa simpati dan empati kepada orang lain dengan adil dan setara.
Sayangnya tentu saja, di zaman ketika kehidupan begitu tidak pasti dan rancu, kebutuhan kepastian masyarakat akan agama semakin tinggi. Mereka menginginkan jawaban pasti, halal atau haram, boleh atau tidak boleh. Namun rasanya, itu tidak adil untuk akal sehat dan kemanusiaan kita. Ada semangat teks yang harusnya kita bawa. Yaitu tentang keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan.
Jadi, masihkah kita hanya menggunakan nalar bayani, sibuk dengan halal dan haram?. []