Mubadalah.id – Tulisan ini menguraikan tentang perkembangan media Mubadalah sebuah media online yang mengusung tema kesetaraan gender. Media Mubadalah ini dilahirkan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, atau biasa disapa Kang Faqih, sejak tahun 2015. Meskipun dilakukan sebagai tanggung jawab personal, proses kesejarahan media ini tak dapat dipisahkan dari perjuangan Yayasan Fahmina Cirebon yang sejak reformasi mendampingi kaum perempuan dalam berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dianggap tidak adil.
Ketidakadilan itu bukan saja karena teks seolah mengutamakan lelaki tetapi sekaligus dianggap mendiskriminasikan perempuan. Sesuai tema besar dari buku Bunga Rampai ini tentang “Demokrasi dan Pandemi”, media Mubadalah diambil sebagai contoh bagaimana sebuah media online yang relatif baru, mampu mengusung isu demokrasi secara khas yaitu mengangkat soal hubungan antara lelaki dan perempuan. Hal yang menonjol adalah, di tengah pandemi Covid-19 ini, media Mubadalah mampu tetap menghadirkan kajian-kajian seputar isu gender yang secara spesifik menawarkan konsep baru dan genuine yaitu konsep mubaadalah atau “kesalingan”.
Pandemi Covid-19 yang menghantam Negara Cina sejak Desember 2019, pada akhirnya menyebar juga ke seluruh dunia, dan diakui pemerintah masuk ke Indonesia pada Maret 2020. Sejak pemerintah melakukan kampanye besar-besaran untuk sedapat mungkin warga masyarakat berakivitas di dan dari rumah, komunikasi yang diandalkan sepenuhnya menggunakan media online.
Jelaslah, pandemi Covid-19 telah mempengaruhi masyarakat di berbagai sektor kehidupan, kesehatan, ekonomi, sosial. Ketika semua orang pada akhirnya dikondisikan harus menggunakan media online, sebagai platform media sosial media Mubadalah berusaha memecah kebuntuan berkomunikasi dengan tetap menawarkan agenda yang membahas isu ketidakadilan gender di masa pandemi ini.
Dalam perannya, Mubadalah berusaha mendiskusikan berbagai hal nyata yang dihadapi perempuan sehari-hari berhadapan dengan pandemi. Banyak perempuan segera harus bekerja rangkap “multi-tasking” di luar peran tradisionalnya sebagai istri dan ibu. Tak sedikit yang tiba-tiba harus menjadi kepala keluarga dengan mengambil alih tugas-tugas suaminya dalam mencari nafkah setelah suaminya kena PHK. Banyak yang tiba-tiba terpaksa menjadi guru, guru ngaji bagi anak-anaknya, sekretaris, perawat, dan ragam beban baru lainnya. Perempuan pun menjelma seperti “ibu perkasa” yang harus serba tangkas.
Setelah 11 bulan kita berada dalam situasi ini, problem ini mungkin telah dibicarakan media lain. Namun media Mubadalah berusaha agar isu gender tetap dibahas bahkan dikaitkan dengan problem-problem baru akibat Covid-19 ini. Sesuai dengan kekhasannya, sedapat mungkin tulisan-tulisan itu berpijak pada nilai-nilai kesalingan antara lelaki dan perempuan.
Dengan narasi alternatif yang diusungnya itu, media Mubadalah berusaha membuka mata para pembacanya, bahwa isu perempuan adalah isu penting dan layak untuk disuarakan dan didengar. Apalagi dalam konteks pandemi ini, mereka menjadi korban yang paling terdampak namun paling tak terdengar karena keterbatasan ruang media tempat kaum perempuan bersuara. Melalui media Mubadalah, betatapun sederhananya, kaum perempuan berkesempatan untuk bersuara, membangun pemikiran serta harapannya bahwa pandemi bukanlah akhir dari kehidupan.
Sejarah Mubadalah
Mubadalah diinsiasi oleh Faqihuddin Abdul Kodir pada 2008-2009. Gagasan itu lahir saat ia jeda dari dunia aktivismenya selama dua semester ketika ia berkesempatan belajar di Australian National University (ANU) Canberra Australia. Di tahun-tahun tersebut, seluruh pertanyaan tentang relasi laki-laki dan perempuan, serta pertautannya dengan teks-teks Islam menemukan ruang temu, melalui berbagai literatur dan referensi yang melimpah di perpustakaan kampus tersebut.
Menurutnya, konsep “Mubādalah” adalah kisah mengenai pergumulan bagaimana tradisi Islam diakui, dirujuk, dan dimaknai dalam konteks transformasi sosial masyarakat muslim Indonesia kontemporer untuk keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Sepanjang pengalaman aktivisme untuk pemberdayaan perempuan, Kang Faqih dihadapkan pada tantangan dan pertanyaan bagaimana teks-teks rujukan Islam memiliki makna bagi kerja transformasi sosial ini. Lebih khusus pada teks-teks hadis, yang dianggap banyak pihak sebagai sumber ajaran yang misoginis di satu sisi (Mernissi, 1990; Hassan, 1991; Abou El Fadl, 2001; dan Engineer, 2004), tetapi di sisi lain, ia menjadi menjadi rujukan utama dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.[2]
Secara kronologis, berdasarkan pemaparan Kang Faqih, konsep “Mubādalah” lahir dari rahim aktivitas kerja-kerja pemberdayaan perempuan sejak tahun 2000. Adapun benih-benihnya mulai tumbuh saat ia terlibat dalam kajian kitab Uqudulujian dengan kelompok Kajian Kitab Kuning yang dipimpin Ibu Sinta Nuriyah pada tahun 1995-1998. Setelah itu ia mengasuh rubrik Dirasah Hadits di Swara Rahima sejak tahun 2001. Akan tetapi secara konsep, peta gagasannya baru mulai terlihat pada saat nyantri di kampus ANU di Canberra itu.
Gagasannya kemudian dimatangkan dengan membangun fondasi akademiknya melalui penelusuran kajian terhadap pemikiran Syekh Muhammad Abdul Halim Abu Syuqqah pada studi program doktor di ICRS UGM Yogyakarta, 2009-2015. Momentum mubadalah sebagai satu kesatuan konsep, perspektif, metode tafsir, dengan contoh-contoh praktis lahir yang utuh baru lahir bertepatan dengan perhelatan KUPI, 25-27 April 2017, di Cirebon. Konsep itu kemudian disempurnakan sebagai buku rujukan pada akhir tahun 2018. Setahun sebelumnya, pada bulan Puasa di pertengahan 2016, gagasan-gagasan kecil itu telah lebih dulu disebar melalui website www.mubadalah.com dan www.mubaadalahnews.com.[3]
Gagasan dari Kang Faqih ini terus bergulir dan didiskusikan banyak kalangan, terutama di lingkungan pesantren dan jaringan alumni KUPI. Sejak itu Mubadalah melahirkan gagasan-gagasan ikutan yang tertuang ke dalam berbagai karya, baik buku, tulisan singkat berupa artikel ringan atau populer dan penelitian sejumlah akademis. Dari Kang Faqih sendiri lahir beberapa kitab dan buku dengan tema mubadalah. Diantaranya, pada tahun 2011, Kang Faqih menulis kitab berbahasa Arab untuk kalangan pesantren mengenai relasi suami-istri yang adil dan seimbang.
Kitab ini diharapkan menjadi alternatif dari kitab-kitab yang ada yang dianggap bias cara pandang dan kepentingan lelaki. Sebetulnya kitab ini pertama kali diterbitkan jauh sebelum Mubadalah dilahirkan. Kitab ini terbit pada Januari 2012 oleh Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) dengan judul “Manba’ as-Sa’ādah fi Usus Husn al-Mu’āsyarah wa Ahammiyat ash-Shihhah al-Injabiyyah fi al-Hayāh az-Zawjiyyah” (Telaga Kebahagiaan mengengai Prinsip-prinsip Relasi Baik dan Pentingnya Kesehatan Reproduksi dalam Kehidupan Pasutri).” Tahun berikutnya buku ini diterbitkan Rābithah al-Ma’āhid as-Salafiyyah Cirebon. Saat ini, kitab ini sudah terbit sekitar 3500 eksemplar yang menyebar di kalangan Pesantren, terutama jaringan ulama perempuan Indonesia.[4]
Sepengetahuan saya, kitab ini, bersama dengan kitab karangan Kang Faqih yang lain “Nabiyur Rahmah” (Nabi Penuh Kasih Sayang) dan “Sittin ‘Adliyah” (60 hadis Keadilan Relasi), dibaca oleh banyak santri pada bulan Ramadhan tahun 2020. Ini bertepatan dengan ketika masa awal pandemi covid-19 menerpa Indonesia. Secara online Kang Faqih membacakan kitab-kitab tersebut melalui kanal youtube Faqih Abdul Kodir, Mubadalah.id, dan Swara Rahima. Di dalam kitab ini, semua isu-isu relasi suami istri sejak meminang, akad nikah, hak dan kewajiban, dibahas dengan perspektif kesalingan, kemitraan, dan kerja sama.[5] Harapannya gagasan tentang relasi setara suami istri, baik dalam ranah privat maupun publik benar-benar bisa dimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh suatu pasangan.
Kitab Manba’ussa’adah ini ternyata dibahas juga oleh beberapa kyai dan nyai di pesantren dan komunitas masing-masing. Seperti oleh Nyai Hj. Arikhah di Pesantren Dar al-Falah Semarang, Ustadz Muhyiddin di Pesantren Kebon Jambu, Nyai Erik Rachmawati di Pesantren Mahasiswa Al-Azkiya Malang, Nyai Hj. Hindun Anisah di Pesantren Hasyim Asy’ari Jepara dan Kantor PWNU Jawa Tengah, dan Ustadz Ahmad Baihaqi yang membacanya secara online, serta beberapa yang lain yang belum teridentifikasi.
Karya Kang Faqih yang juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah kitab Sittina al’adliyah. Ini adalah kitab tentang 60 hadis yang membahas soal hak-hak perempuan dalam Islam sebagaimana dinarasikan dalam hadis-hadis itu. Saat ini terjemahan itu telah menjadi aplikasi android “Qiraah Mubadalah: 60 hadis Nabi tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam”, yang dapat diunduh melalui platform Google Play Store. Dengan cara itu tanpa koneksi internet siapa pun bisa belajar lebih mendalam tentang mubadalah.
Sementara untuk karya berbahasa Indonesia, lahir buku utama dari referensi perspektif mubadalah, yakni “Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif Keadilan Gender dalam Islam” (IRCISOD, 2019). Selain itu buku “60 hadis Sahih tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam: Teks dan Penjelasannya” (Diva Press, 2019), “Sunnah Monogami: Mengaji al-Qur’an dan hadis” (Umah Sinau Mubadalah, 2020), dan buku lainnya sebagai karya bersama dengan para kolega jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia KUPI). Dalam waktu dekat Kang Faqih telah menyiapkan terbitnya buku “Perempuan Bukan Fitnah: Mengaji hadis–hadis Populer tentang Perempuan dengan Metode Mubadalah”, untuk menyemarakkan bulan Ramadan 1441 H.
Mubadalah sendiri dalam amatan saya merupakan gagasan yang dapat diadaptasi dengan berbagai pengetahuan serta pengalaman hidup seseorang. Terlebih bagi mereka yang mengalami persoalan dalam membangun relasinya baik invidu, keluarga, maupun masyarakat.[6] Karenanya, tema-tema itu kemudian menjadi basis ekspresi para penulisnya. Melalui tulisan itu mereka dapat mengungkapkan pengetahuan serta pengalamannya dengan tetap menggunakan referensi utama dari karya-karya buku serta kitab insiatornya.
Untuk lebih mempopulerkan gagasan ini, dua tahun setelah KUPI, diselenggarakan Festival Mubadalah pada April 2019. Dalam Festival Mubadalah ini didiskusikan rencana-rencana penulisan akademik terkait isu-isu relasi keadilan gender dalam perspektif Islam. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai program bekerjasama dengan Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan diikuti oleh para calon sarjana, magister hingga doktor yang tengah menggarap tugas akhir skripsi, tesis serta disertasi. Diharapkan,mubadalah dapat hadir sebagai tulisan populer, atau berada dalam ruang lingkup yang luas namun bisa dipertanggungjawabkan dalam tradisi akademis dan intelektual.
Sebagai gagasan, Mubadalah adalah bagian dari aktivisme keadilan gender Islam di Indonesia. Gagasan tentang kesetaraan dan keadilan gender telah diawali oleh program fiqh An-Nisa yang dikelola P3M menjelang konferensi kependudukan di Kairo pada tahun 1994 dan Konferensi Beijing tahun 1995. Pada saat itu tema Fiqh An-Nisa terfokus pada isu hak-hak reproduksi perempuan yang dibahas dengan pendekatan keadilan gender dari perspektif Islam.
Gagasan itu kemudian dilanjutkan banyak lembaga dan individu termasuk oleh Kang Faqih sejak tahun 2000 bersama Rahima dan Fahmina. Saat itu, isu gender mulai dikenalkan kepada istilah-istilah yang lebih egaliter dan menggambarkan hubungan dua pihak seperti “timbal-balik”, “resiprositi”, “kesalingan”, dan “tabaduliyah”. Semua kata ini mengandung gagasan serupa , namun baru menjadi konsep utuh pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Mubadalah sebagai Gerakan Berkelanjutan
Tampaknya, gairah mubadalah merambah melampaui tataran konsep akademik. Gagasan itu melaju menjadi gerakan kultural yang mengilhami upaya pemberdayaan perempuan. Secara lebih luas mubadalah telah memberi harapan atas stagnasi pemikiran konsep gender yang berhenti kepada pemilahan dua domain peran lelaki dan perempuan sebagaimana dimaknai secara sosiologis seperti produksi – reproduksi, peran publik dan domestik. Mubadalah menawarkan konsep tentang relasi timbal balik yang mengharuskan pemberian tempat, posisi dan penghargaan yang sama antara peran perempuan dan lelaki secara timbal balik.
Dengan cara itu mubadalah berusaha merelatifkan peran dan sekaligus memberi penghargaan yang setara atas peran-peran itu siapapin yang menjalankannya. Dengan cara itu, kehadiran mubadalah dianggap tidak timpang. Artinya, ia hadir membela perempuan sekaligus juga menguatkan perannya, baik dalam ruang domestik maupun publik. Di sisi lain, laki-laki yang kerap dituduh sebagai pelaku ketidakadilan, dalam mubadalah diberi kesempatan agar lebih memahami peran dan posisinya, untuk bersama-sama dengan perempuan menjadi khalifah fil ard, atau mandataris Tuhan di muka bumi, untuk melakukan seluas-luasnya kemanfaatan bagi sesama manusia serta seluruh makhluk di semesta raya.
Dengan membangun kesadaran seperti ini, wajar jika konsep mubadalah banyak dipinang, diadaptasi dan dipilih menjadi bagian terintegrasi dalam banyak program di berbagai lembaga. Dalam catatan saya, hampir 200 forum mubadalah disosialisasikan sejak Februari 2019. Sebagai pelopor gagasannya Kang Faqih diundang di berbagai forum akademik di perguruan tinggi Islam, negeri dan swasta, sampai lembaga-lembaga di komunitas seperti pesantren, pengajian remaja, majlis ta’lim, remaja masjid, acara kawinan dan perkumpulan-perkumpulan di komunitas akar rumput.
Sementara dari kelompok pengambil kebijakan, diskusi dilakukan dengan Pemerintah Daerah di berbagai daerah, jajaran Kementerian Agama dan jajaran Peradilan Agama di lingkungan Mahkamah Agung. Cakupan wilayah juga sangat luas bahkan sampai di luar negeri yang tak terbatas hanya diikuti oleh warga Indonesia di rantau. Di berbagai negara Kang Faqih diundang untuk memaparkan gagasannya seperti di Malaysia, Thailand, Inggris, Belanda, USA, Jerman, Prancis, Belgia, dan Qatar UEA. (Bersambung)
[1] Saya berterima kasih banyak kepada Ibu Lies Marcoes yang telah membantu menstrukturkan kembali tulisan ini, dan kepada Dr. Faqihuddin Abdul Kodir yang membantu dalam mengisi subtansi tulisan, serta Rosidin, direktur Fahmina Institute yang mendorong saya untuk berani menulis tulisan ini. Namun begitu, seluruh tanggung jawab atas isi tulisan ini ada pada saya.
[2] Faqihuddin Abdul Kodir dalam penulisan bersama “Terobosan Akademik Australia-Indonesia: Refleksi Sosiologis dan Antropologis Alumni PIES 2008-2019”, (dalam rencana penerbitan) hal. 31
[3] Ibid, hal. 29
[4] Ibid, hal. 34
[5] Ibid, Hal. 34
[6] Faqihuddin Abdul Kodir, dalam buku “Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam, (Yogyakarta : Ircisod 2019) Hal. 49
*)Artikel ini diterbitkan dalam penulisan bersama buku “Pandemi dan Demokrasi: Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil Indonesia”, editor Lies Marcoes, Lisisastra Lusandiana dan Naomi Srikandi, (Jakarta, CIVICA 2021)