• Login
  • Register
Kamis, 10 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Konsultasi

Melihat Istri Marah, Benarkah Suami Cukup Berdiam dan Sabar agar Berpahala?

Dalam bingkai Mubadalah, kemarahan bukan untuk dilawan atau diabaikan, tetapi untuk diurai akarnya. Saat marah diurai, hubungan pun kembali hangat.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
17/06/2025
in Konsultasi, Rekomendasi
0
Istri Marah

Istri Marah

1.8k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ada ungkapan populer di banyak ceramah rumah tangga: “Suami yang sabar ketika istri marah, akan diganjar pahala yang besar.” Sayangnya, nasihat ini sering disalahpahami menjadi pembenaran untuk pasif: “Biarkan saja istri marah-marah, saya diam saja, toh diam ini berpahala.”

Lebih parah lagi ungkapan: “Banyak-banyakin istri marah, biar pahala kita cukup dengan diam dan sabar, langsung segunung tuh pahala suami. Lumayan, daripada berpahala dengan memberi dan berbuat sesuatu”.

Akibatnya, tidak jarang seorang suami membanggakan diri sebagai lelaki sabar, padahal yang dilakukannya hanyalah abai — membiarkan pasangannya bergulat dengan lelah, penat, beban emosional, dan tumpukan masalah yang sebenarnya bisa diurai bersama.

Dalam perspektif Mubadalah, kesabaran bukanlah pasif dan membisu. Kesabaran adalah kesediaan untuk hadir, mendengar, merespon, dan turut terlibat menyelesaikan sumber masalah.

Relasi suami-istri bukanlah satu pihak “berhak marah” dan pihak lain “wajib diam”, tetapi sebuah persekutuan dua orang dewasa yang sama-sama berhak dimengerti, didengar, dan ditenangkan, serta terlibat aktif mengurangi sebab kemarahan dan menghadirkan kenyamanan dan kebahagiaan.

Baca Juga:

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis

Kemarahan Punya Sebab

Marah, dalam banyak relasi rumah tangga, sering kali bukan datang tiba-tiba. Jarang sekali seorang istri marah tanpa pemicu. Di balik suara meninggi, nada sinis, atau tatapan tajam, hampir selalu ada penat yang mengendap: beban kerja rumah yang tak habis-habis, anak-anak yang rewel, tekanan pekerjaan di luar rumah, atau bahkan rasa terabaikan karena suami sendiri terlalu sibuk dengan gawai atau pekerjaan, atau urusan sosial keumatan.

Dalam Islam, ash-shabr (sabar) adalah menahan diri dari reaksi buruk dan tetap berada pada jalan kebaikan. Maka, sabar seorang suami justru teruji dengan bagaimana ia mengambil tanggung jawab atas apa yang bisa ia bantu perbaiki. Diam saja sambil menikmati gelar “sabar” adalah sikap setengah hati, dan tidak ada ajaran Nabi Saw yang mendukung kepasifan seperti itu.

Nabi Muhammad Saw sendiri bukan tipe yang hanya berdiam. Beliau menenangkan kegelisahan istrinya, mendengarkan keluhan, bahkan membantu pekerjaan rumah. Kana fi khidmati ahlihi — Beliau selalu siap membantu keluarganya. Inilah bentuk sabar aktif: hadir, peduli, dan membantu.

Jika kemarahan adalah sebuah “kemungkaran” yang tidak baik dalam relasi, kedua belah pihak harus aktif mencari sebab dan mengubahnya (fal yughayyir-hu), baik berupa tindakan (bi-yadihi), atau berbicara baik-baik (bi-lisanihi), atau dengan hati dan perasaan (bi-qalbihi).

Bersabar adalah Tindakan Aktif

Coba kita balik logikanya. Jika istri marah karena lelah, apa guna suami hanya diam? Bukankah lebih berpahala jika suami mendekat, mendengar, kemudian bertanya: “Apa yang membuatmu lelah? Apa yang bisa aku bantu?”

Dengan pertanyaan sederhana ini, seorang suami membuka ruang dialog dan mengundang pasangannya untuk berbagi beban. Jika penyebabnya adalah anak-anak yang rewel, maka suami bisa mengambil alih menjaga anak.

Sedangkan jika penyebabnya adalah cucian menumpuk, suami bisa melipat lengan baju dan membantu. Jika penyebabnya adalah masalah di kantor, pekerjaan, tetangga, atau keluarga jauh, suami bisa menawarkan telinga dan pelukan.

Dalam prinsip Mubadalah, relasi suami-istri terbangun di atas kesalingan: saling mendengar, saling membantu, saling menenangkan. Sabar adalah upaya untuk menahan diri dari menyakiti, sekaligus bertindak menenangkan hati pasangan.

Sabar yang Berpahala Lebih Besar

Ada orang yang bilang: “Diam kan gratis, dapat pahala sabar. Kalau membantu kan capek, keluar modal tenaga.”

Betul, diam itu mudah. Tetapi pahala dari diam tidak sebanding dengan pahala membantu orang lain. Bukankah: tangan yang bekerja lebih dicintai Allah Swt dibanding tangan yang hanya diam atau meminta-minta.

Demikian pula dalam rumah tangga: suami yang ikut menyapu, mencuci, atau menggantikan istri menjaga anak — pahalanya berlipat ganda. Ia berpahala sabar, berpahala kerja, berpahala membahagiakan istri, dan berpahala meneladani akhlak Nabi Saw.

Mengurai Marah, Menjahit Cinta

Dalam bingkai Mubadalah, kemarahan bukan untuk dilawan atau diabaikan, tetapi untuk diurai akarnya. Saat marah diurai, hubungan pun kembali hangat.

Suami dan istri bukan lawan yang saling menjatuhkan, atau subjek-objek piala kesabaran. Mereka adalah sahabat seperjalanan. Dalam sahabat, diam berlebihan hanya menciptakan jarak. Sementara sabar yang aktif — penuh empati dan aksi nyata — menjahit kembali ikatan hati yang sempat koyak oleh lelah dan penat.

Maka, wahai para suami, jika melihat istrimu marah, jangan hanya bangga diam dan menahan diri. Bersabarlah dengan cara terbaik: hampiri dia, genggam tangannya, dengarkan ceritanya, bantu bebannya, dan usap letihnya.

Itulah sabar yang sebenarnya: sabar yang menyejukkan, membahagiakan, dan berpahala besar. Itulah sabar yang Islami dan teladan Nabi Saw. Tentu saja, secara Mubadalah, berlaku juga sebaliknya, ketika istri melihat suaminya marah-marah, perlu mengenali sebabnya, dan terlibat aktif meredakanya, sesuai kemampuannya.

Tidakkah sabar yang Mubadalah ini jauh lebih baik daripada sabar yang diam, abai, dan membiarkan, sehingga kemarahan terus terjadi lagi dan lagi?

Sulit?

Emang sulit, tapi masa tidak mau memulai dan mencobanya, sebagai bukti cinta, bakti keimanan, dan atau minimal komitmen berpasangan. []

 

Tags: Istri Marahkeluargaperkawinanperspektif mubadalahRelasirumah tanggaSuami Sabar
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Film Rahasia Rasa

Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

6 Juli 2025
Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pelecehan Seksual

    Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID