• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Memahami Kesetaraan dengan Kedewasaan Berpikir

Mela Rusnika Mela Rusnika
11/06/2020
in Personal
0
41
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Kesetaraan gender selalu berkaitan dengan konstruksi sosial yang tumbuh di masyarakat. Konstruksi sosial itu muncul salah satunya disebabkan oleh biasnya pemahaman akan peran laki-laki dan perempuan di masa lalu. Oleh sebab itu perlunya memahami kesetaraan gender di masa kini dengan kedewasaan berpikir agar konstruksi sosial itu perlahan mulai pudar.

Sejumlah masyarakat kita kadang terjebak dengan kisah masa lalu antara laki-laki dan perempuan yang sebenarnya mereka justru berbagi peran yang disesuaikan dengan kondisi saat itu. Sebagai contoh pada abad ke-19 jumlah penduduk dengan kultur agraris masih sedikit sedangkan luas tanah masih banyak.

Orang tua pada masa itu mengharapkan banyak anak karena anak sebagai sumber daya untuk menggarap tanah. Semakin banyak anak maka pekerjaan semakin ringan. Namun, pemahaman tersebut diadopsi oleh sebagian masyarakat era sekarang yang menganggap banyak anak banyak rezeki.

Jika kita mencoba memahaminya dengan kedewasaan berpikir di era sekarang, tanah semakin sedikit dan penduduk terlalu banyak. Modal hidup di zaman sekarang juga lebih ke investasi pendidikan. Banyak anak artinya harus siap menyekolahkan semuanya.

Setiap anak memang memiliki rezekinya masing-masing, tetapi dengan syarat kalau orang tuanya bisa memberikan modal untuk bekal pendidikan anak yang cukup dan mumpuni. Namun, realitanya pernyataan banyak anak banyak rezeki mengharuskan orang tua mencari rezeki yang lebih banyak untuk perencanaan kebutuhan masa depan anak.

Baca Juga:

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

Kemudian orang tua harus investasi pendidikan pengasuhan yang matang untuk mendidik banyak anak dengan karakter yang berbeda-beda. Jika kita melihat realitanya, sebagian orang tua belum siap mendidik anak, sehingga cenderung memarahinya ketika anak tidak bisa melakukan instruksinya.

Di masa pendemi COVID-19 ini menjadi salah satu contoh bagaimana peran orang tua dalam mendampingi anak untuk belajar sangat penting. Namun, tidak semua orang tua mampu melakukannya. Beberapa kasus menunjukkan orang tua memarahi anaknya ketika tidak bisa memahami mata pelajaran yang dijelaskannya.

Realita lainnya, ketika banyak anak maka orang tua harus mencurahkan waktu dan kasih sayang dalam porsi yang sama untuk masing-masing anak. Membedakan porsi waktu dan kasih sayang dapat menimbulkan kecemburuan antara anak dan berujung pada parenting yang toxic.

Dalam hal ini, siapapun yang mengadopsi konsep banyak anak banyak rezeki setidaknya harus mempersiapkan diri untuk bertanggung jawab atas masa depan anak. Setiap anak berhak akan kesehatan, pendidikan, dan kasih sayang yang terbaik dari orang tua.

Untuk memahami konsep banyak anak banyak rezeki pun sebaiknya dibarengi dengan kedewasaan berpikir, baik untuk kebaikan mental dan keuangan kita, serta kondisi lainnya. Tidak berarti semua konsep peran antara laki-laki dan perempuan yang berlaku di masa lalu dapat diberlakukan juga di era sekarang.

Jika memang peran tersebut sudah tidak relevan lagi di era sekarang sebaiknya tidak memaksakan diri dengan alih-alih kepatuhan terhadap manusia atau sebuah konsep yang menjanjikan pahala tetapi merugikan satu pihak, laki-laki atau perempuan.

Apabila pemahaman gender di masa lalu masih diberlakukan di era modern seperti sekarang ini, mungkin kita telah mendukung bangkitnya patriarki. Perempuan akan tetap menjadi objek dan subjek laki-laki, begitupun laki-laki yang sulit berekspresi karena terkungkung dengan konsep bahwa laki-laki itu tidak boleh menangis, harus kuat, atau harus menjadi pemimpin.

Kita harus menyadari, sudah banyak tokoh perempuan dari zaman ke zaman yang memperjuangkan hak perempuan demi mendapat kebebasan berpikir, berekspresi, bertindak, dan lainnya. Bahkan kita sudah memiliki role model jauh sebelum Islam muncul.

Kisah Ratu Sheba yang diceritakan dalam Alquran yang memiliki kemampuan politik yang handal, kecerdasan yang mumpuni, keanggunan, dan tahta yang tinggi telah memberi kita gambaran bagaimana kehidupan perempuan di era itu. Gambaran lainnya bisa kita dapatkan dari kisah Siti Khadijah yang tidak pernah luput dari perannya sebagai perempuan kaya raya dan istri nabi. Bahkan umat Islam selalu membanggakan kepribadian Siti Khadijah atas kemandiriannya.

Kisah berikutnya dilanjutkan oleh Aisyah yang dikenal telah memimpin salah satu perang pada masanya. Di era sekarang perjuangan itu diteruskan oleh Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien sebagai pahlawan wanita di Indonesia. Perempuan-perempuan di atas telah menunjukkan kepada kita semua kalau perempuan itu punya power, hak, dan kebebasan untuk memilih dan bertindak. Hak tersebut kini diperjuangkan kembali di era modern ini oleh perempuan dari berbagai profesi. Sebut saja ada Najwa Shihab, Agnez Mo, Prilly Latuconsina, Kalis Mardiasih, dan Cinta Laura.

Namun, kisah-kisah dan perjuangan perempuan di atas tidak serta merta mengubah konstruksi sosial seperti patriarki menjadi setara dalam kehidupan saat ini. Bahkan zaman yang kian modern dan semakin terbuka bagi perempuan dan laki-laki pun tidak mampu menghilangkan stereotip bahwa perempuan itu manusia kelas dua.

Masih saja ditemukan konten-konten yang membahas kriteria kecantikan untuk memuaskan laki-laki, padahal kecantikan itu milik kita sendiri. Ada juga yang membahas kalau dosa perempuan ditanggung bapak atau suaminya, padahal permasalahan dosa ditanggung oleh diri sendiri. Lalu, peran kita sebagai individu dewasa itu apa kalau urusan pribadi saja harus orang lain yang menaggungnya?

Untuk meruntuhkan konstruki sosial dan stereotip itu memang tidak mudah. Bahkan ayat-ayat dan kisah nabi pun dirasa belum cukup menggebrak konstruki sosial yang mengekang tersebut. Konten yang telah dibuat pun justru malah mengingatkan kita semua ketika posisi perempuan tersubordinasi.

Oleh sebab itulah dibutuhkan kedewasaan dalam berpikir untuk menginternalisasi ayat-ayat, kisah nabi, dan perjuangan para tokoh perempuan yang disesuaikan dengan berbagai kondisi, sehingga laki-laki dan perempuan dapat memahami satu sama lain, bukannya terlena dengan kisah-kisah subordinasi perempuan di masa lalu. []

Mela Rusnika

Mela Rusnika

Bekerja sebagai Media Officer di Peace Generation. Lulusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Part time sebagai penulis. Tertarik pada project management, digital marketing, isu keadilan dan kesetaraan gender, women empowerment, dialog lintas iman untuk pemuda, dan perdamaian.

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID