Pemaknaan Surat Yusuf ayat 28 dengan hanya melihat teks tapi melupakan konteks bisa saja menimbulkan pemaknaan yang diskriminatif dan menyalahkan perempuan.
Mubadalah.Id- Seringkali masyarakat kita senang menyebutkan dalil pilihannya sebagai rujukan utama untuk merespon sesuatu. Tetapi di sisi lain pemaknaannya pada teks memunculkan jawaban kontradiktif yang justru meminggirkan subjek lain untuk menjadi dan semakin lemah.
Beberapa bulan yang lalu, saya kembali geram tiba-tiba teringat obrolan di warung kopi antara saya dengan beberapa teman mempersoalkan tulisan di belakang kaos seorang teman. Setelah melalui satu jam obrolan, hanya saya kiranya yang menyadari bahwa tulisan kaos tersebut membuat saya yang membacanya justru mengernyitkan dahi. Bertuliskan kurang lebih seperti ini, “Sesungguhnya godaan terbesar adalah perempuan”.
Tersadar akan tulisan kaos yang akhirnya memantik saya untuk mempersoalkan maksud dari makna tulisan tersebut. Setelah mencari-cari berasal dari surat apa tulisan tersebut, salah satu teman menjawab bahwa itu adalah penggalan Surat Yusuf ayat 28.
اِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya tipu daya (godaan) kalian wahai para perempuan begitu besar”, (QS. Yusuf: 28).
Di tengah obrolan, teman laki-laki mengafirmasi ayat tersebut bahwa perempuan memang menjadi sumber godaan laki-laki. Ia mencontohkan dengan perempuan yang memakai pakaian ketat sebetulnya seakan ingin memantik laki-laki tergoda dengannya. Perempuan yang menampakkan bagian tubuh yang menurutnya ‘aurat’ memantik nafsu lawan jenis.
Jika kita cermati, surat Yusuf ayat 28 di atas menunjukkan bahwa pemaknaan mereka atas teks cenderung timpang dan leterlek saja. Belum lagi dengan pemaknaan seperti itu terkadang lawan bicara masih kekeh dengan membawa dalil atau referensi yang sama. Bahwa perempuan lah yang menjadi sumber atau jalan terjerumusnya laki-laki untuk tergoda.
Kemudian pula setelah saya mencoba mencari refensi lain dari ayat tersebut ternyata hasilnya cukup mencengangkan. Banyak highlight berita dan artikel yang menarasikan dengan narasi sensional dan bombastis. Memberikan penekanan seolah hal tersebut merupakan ujian terberat dan terbesar. Bahwa tipu daya yang muslihat adalah perempuan yang tertulis dalam Al-Qur’an.
Makna yang Timpang
Teks Al-Qur’an dan hadits sebagai dalil menjadi acuan banyak orang untuk mengafirmasi, mengikuti, serta panduan dalam menyikapi banyak hal dalam realitas yang kompleks. Penting dalam mengacu dalil-dalil tersebut untuk tidak sekedar taklid dan mengutip tanpa membaca secara utuh konteks dan latar belakang dalil itu turun.
Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qiraah Mubadalah menjelaskan bahwa memahami maksud maupun interpretasi teks merupakan kerja ijtihad untuk menggali dan menemukan kehendak Allah SWT. Untuk memahami maksud teks perlu melakukan kerja pertautan antara teks dan konteks dengan melihat perkembangan zaman dan waktu.
Pemaknaan Surat Yusuf ayat 28 dengan melupakan konteks bisa menimbulkan pemaknaan yang diskriminatif dan menyalahkan perempuan. Bahwa perempuan tertulis sebagai sumber penggoda paling berat untuk laki-laki. Bahkan ada juga yang memaknai bahwa godaan perempuan lebih hebat dari godaan setan.
Tertulis dalam surat An-Nisa’ ayat 76 yang artinya Sesungguhnya tipu daya (godaan) setan itu lemah. Pengaitan kedua ayat ini seolah mengartikan bahwa perempuan lah makhluk penggoda paling hebat ketimbang setan. Sebab dalam dalil tersebut mengungkapkan bahwa godaan setan itu lemah.
Quraish Shibab dalam buku Perempuan menjelaskan bahwa kesimpulan godaan perempuan lebih berbahaya rayuannya daripada setan berdasarkan dua ayat di atas itu keliru. Surah Yusuf ayat 28 menjelaskan bahwa ucapan suami kepada istri merupakan ungkapan kekecewaan dan kemarahan karena istri sudah berbohong padanya dan telah selingkuh.
Sementara pernyataan “tipu daya setan itu lemah” merupakan ucapan untuk menggambarkan keteguhan hati orang-orang yang berimah dan berjuang di jalan Allah SWT. Daripada keimanan dan ketakwaan sangat kuat, tentu bujuk rayu atau tipu daya setan itu sangat lemah. Dari sini berarti ada kejadian tertentu yang mendahuluinya dan tidak bisa bisa disamakan dalam semua keadaan untuk semua perempuan.
Menemukan Makna dalam Perspektif Mubadalah
Najmuddin ath-Thufi, seorang ulama bermadzhab Sunni Hanbali mengungkapkan bahwa tujuan utama dari teks adalah kemaslahatan. Karena kerja interpretasi harus menghasilkan pandangan keagamaan yang menjamin kemaslahatan publik.
Apabila teks dan kemaslahatan bertentangan, bisa jadi kemaslahatan belum nyata atau makna yang dipahami dari teks adalah salah. Tetapi jika kemaslahatan sudah nyata dan berbeda dengan makna literal suatu teks, maka makna literal harus ditinggalkan. Sebab kembali pada premis awal bahwa tujuan utama teks adalah kemaslahatan.
Dengan konsep mubadalah maka proses pemaknaan teks akan menyapa subyek yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Manual Mubadalah menjelaskan bahwa teks itu menyapa keduanya yakni untuk laki-laki dan juga untuk perempuan. Selama telah menemukan makna atau gagasan utama dari teks yang bisa mengaitkan dan berlaku untuk keduanya.
Laki-laki Juga Menggoda dan Tergoda
Dalam ungkapan ayat lain yang masih selaras bahwa perempuan sebagai “perhiasan dunia” yang mewarnai dan menghiasi dunia laki-laki. Ungkapan ini menjadi salah satu turunan dari perempuan yang dipersepsikan sebagai sumber pesona laki yang menggiurkan. Sehingga nantinya laki-laki harus selalu waspada terhadap mereka. Ungkapan tersebut tertulis dalam surat Ali Imran ayat 14.
Akan tetapi dalam ayat tersebut juga memperingatkan bahwa apa yang ada di sisi Allah SWT lebih kekal dari semua pesona termasuk (pesona perempuan). Realitasnya tidak hanya perempuan yang menggoda tetapi juga digoda oleh dunia salah satunya laki-laki. Jadi tidak menutup kemungkinan bahwa keduanya baik laki-laki dan perempuan dapat menjadi penggoda dan tergoda.
Maka, interaksi umat terhadap teks yang berupa interpretasi-interpretasi itulah yang menggerakkan dan menciptakan perubahan. Pemaknaan teks yang cenderung tidak menempatkan kemaslahatan untuk keduanya akan mengubah cara pandang kita menjadi timpang tidak seimbang dalam merespon permasalahan yang terjadi.
Jangan sampai pemaknaan atas teks hanya mengacu pada konteks permasalahan yang terjadi di masa lalu dan tidak melihat konteks saat ini serta kultur yang berbeda dari setiap tempat. Dan jangan sampai pula pemaknaan terhadap teks justru mengantarkan pada pemahaman yang salah dan berakibat pada praktik ketimpangan yang bisa saja terjadi. []