Mubadalah.id – Di bulan Maulid Nabi ini, penting bagi kita untuk mengenang serta mengenal sepak terjang perjuangan Nabi Muhammad SAW. Mungkin setiap komunitas Muslim memiliki cara masing-masing untuk memperingati Maulid Nabi. Namun yang tidak boleh kita lupakan adalah esensi dari Maulid Nabi itu sendiri. Yakni meneladani kisah-kisah mulia dari perjuangan Nabi Muhammad SAW, termasuk misi sosial profetik Beliau.
Allah mengutus Nabi Muhammad SAW bukan sekadar menyampaikan risalah Islam. Nabi Muhammad SAW juga mengemban misi yang mulia. Sebuah tanggung jawab sosial yang kemudian saya menyebutnya sebagai misi sosial profetik.
Masyhur dalam berbagai sirah Nabawi bahwa akhlak mulia Nabi Muhammad SAW tidak hanya Beliau tunjukkan kepada Umat Islam saja, Bahkan kepada kelompok nonmuslim, sekalipun musuhnya, Nabi Muhammad saw masih menyimpan sifat mulia kepadanya. Apalagi jika mereka berada dalam posisi yang tertindas. Hal tersebut menunjukkan betapa Nabi Muhammad SAW menjunjung tinggi rasa kemanusiaan sebagai bagian dari misi sosial profetiknya.
Sekilas Tentang Ilmu Sosial Profetik
Istilah profetik mulai popular setelah diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Sosok sastrawan dan sejarawan ini mencetuskan gagasan Ilmu Sosial Profetik (ISP) sebagai sebuah paradigma dalam disiplin ilmu sosial. Menurut Kuntowijoyo, substansi dari universalitas ajaran agama bisa menjadi ilmiah sekaligus menjadi pisau analisis dan paradigma keilmuan jika dimulai dengan objektivikasi bersama ilmu-ilmu modern lainnya.
Gagasan tersebut muncul sebagai respons adanya perdebatan antara kelompok Islam konservatif dan Islam transformatif terhadap pemaknaan wahyu. Kuntowijoyo menilai bahwa Islam tidak hanya sekadar menjadi dogma, namun juga sebagai sistem dan gerakan sosial budaya untuk mewujudkan tranformasi masyarakat yang lebih baik dan berkeadaban.
Terminologi profetik ini sendiri berasal dari kata “prophetic” yang bermakna kenabian. Berdasarkan analisis dari Kuntowijoyo, misi kenabian tidak hanya untuk menyebarkan Islam. Namun bagaimana Islam itu sendiri menjadi pendorong terwujudnya perubahan sosial. Ciri utama kenabian menurut Kuntowijoyo adalah adanya efek sosial terhadap masyarakat dan kebudayaan yang berkembang di dalamnya. Dan itu semua didukung oleh teks-teks keagamaan.
Gagasan Kuntowijoyo ini muncul setelah pembacaannya terhadap Q.S Ali ‘Imron ayat 110.
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ ( آل عمران: ١١٠ )
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah….” (Q.S. Ali-‘Imron:110).
Berangkat dari ayat ini kemudian muncul tiga pilar dari Ilmu Sosial profetik yaitu humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minuuna billah). Sebagai sebuah paradigma, ISP kemudian terintegrasi-interkoneksikan dengan ilmu sosial lainnya. Ketiga pilar dalam ISP ini pun juga menjadi dasar dari misi sosial profetik Nabi Muhammad SAW.
Tiga Pilar ISP: Sebuah Misi Sosial Profetik Nabi Muhammad saw
Pilar pertama yakni humanisasi, sebuah upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari humanisasi (amar ma’ruf) dapat bermakna menghilangkan sifat kebendaan, ketergantungan, kekerasan, serta kebencian dari manusia. Hal ini karena dalam masyarakat industrialis kerap kali manusia hanya dipandang sebagai suatu hal yang abstrak dan jauh dari nilai kemanusiaan.
Kedua, liberasi (nahi Munkar). Pilar ini dapat berarti sebuah upaya yang berorientasi pada pembebasan. Serta upaya memerdekakan manusia dari struktur sosial yang kurang menguntungkan pihak rentan. Dalam hal ini posisi kelompok rentan (mustadl’af) dalam struktur sosial masyarakat perlu kita perhatikan.
Ketiga, transendensi. Humanisasi dan liberasi hendaknya selalu berlandaskan pada dasar-dasar ketuhanan (teologis). Pemahaman seperti inilah yang kemudian menjadi pembeda antara paradigma ISP dengan paradigma humanisme atau liberalisme dari Barat. Spirit menuju transendensi bertujuan untuk mensucikan tata laku manusia yang kemudian termanifestasikan melalui humanisasi dan liberasi
Melihat Tafsir Ali ‘Imran ayat 110
“Mengapa pilar ISP yang pertama adalah humanisasi? Bukan transendensi yang notebene-nya adalah menyeru keimanan kepada Tuhan?”
Kira-kira begitu pertanyaaan yang muncul saat sidang skripsi kemarin. Saya sebelumnya agak bingung dengan pertanyaan ini. Karena dari beberapa referensi yang saya baca terkait ISP, saya belum menemukan penjelasan demikian. Kuntowijoyo hanya memaknai Q.S Ali-Imron ayat 110 dengan kaca mata makna sosial.
Itu saja dipengaruhi oleh gagasan Muhammad Iqbal dan Roger Geraudi, seorang filsuf barat. Mereka melihat bahwa perjumpaan dengan Tuhan adalah awal pencerahan untuk menyelesaikan permasalahan sosial.
Namun ketika penguji saya menyuruh untuk mencari tafsir dari Q.S Ali-Imron ayat 110, pemahaman saya mulai tercerahkan. Humanisasi atau amar ma’ruf merupakan kunci utama bagi umat Islam. Mengutip dari Tafsir Al-Munir karya Wabah Az-Zuhaili, Beliau menyebutkan bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar disebut lebih awal dalam ayat tersebut.
Hal demikian karena dua perintah itu adalah cerminan keutamaan bagi umat Islam. Amar ma’ruf nahi munkar yang kemudian berlandas pada keimanan akan menjadikan umat islam sebagai umat terbaik (khoiru ummah).
Senada dengan hal tersebut, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbahnya menyebut bahwa umat Islam akan memperoleh predikat khoiru ummah jika mereka senantiasa melakukan sesuatu yang membawa kebermanfaatan bagi banyak orang. Dengan demikian pilar humanisasi, liberasi, dan transendensi adalah sebuah urutan yang tidak boleh diacak dalam konteks sosial masyarakat.
Maksudnya begini, sebagai seorang pendakwah khususnya ketika melakukan misi dakwah di lingkungan baru hendaknya mendahulukan berbuat baik kepada masyarakat. Bukan malah teriak-teriak ini haram, bid’ah, takhayul, khurafat dan anggapan-anggapan lainnya.
Hal tersebut bukannya mendapat simpati masyarakat malah akan mengundang kebencian dan kemarahan mereka. Baru ketika masyarakat telah bersimpati, merasa mereka terbantu dengan kehadiran kita, nilai-nilai keimanan dan keislaman pun akan mudah mereka pahami dengan sendirinya.
Meneladani Misi Sosial Profetik Nabi Muhammad SAW
Hal tersebut juga Nabi Muhammad SAW lakukan ketika awal perkembangan Islam. Sejak kecil, Nabi Muhammad SAW telah masyarakat Quraisy kenal sebagai sosok yang terpuji dalam tindakan, halus dalam tuturan, dan mulia dalam akhlak. Beliau tidak serta merta mengharamkan khamr dan perbuatan buruk lainnya. Melainkan hal tersebut Beliau lakukan secara bertahap ketika masyarakat sedikit demi sedikit mulai mengenal Islam.
Selain itu, Beliau SAW termasuk sosok yang paling bersimpati kepada kelompok rentan seperti perempuan, hamba sahaya, dan para fuqara supaya mendapat hak-hak yang setara dalam struktur sosial masyarakat.
Dengan demikian, misi sosial profetik Nabi Muhammad SAW menjadi strategi dakwah yang seharusnya menjadi pegangan bagi para da’i dan setiap umat Islam pada umumnya dalam kehidupan masyarakat.
Merayakan maulid Nabi tidak hanya sekadar berbahagia dengan kehadiran Beliau, namun bagaimana kita dapat mengambil hikmah dan teladan sekaligus melanjutkan perjuangan Beliau. Karena Nabi SAW telah mencontohkan saatnya kita melanjutkan.
Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad……