Mubadalah.id – Orang-orang Tionghoa termasuk komunitas Muslim awal di Nusantara. Statement ini mungkin agak ganjil untuk konteks saat ini. Di mana, selain dikenal dengan perayaan Imlek-nya, etnis Tionghoa lebih identik dengan agama Khonghucu dan Klenteng. Meski begitu, dalam sejarahnya, para pendatang Tionghoa abad 13-15 M di Nusantara justru kebanyakan beragama Islam.
Keberadaan Muslim Tionghoa di Nusantara
Sejak abad ke-7 M, Islam memang telah masuk dan berkembang di Cina, hingga muncul masyarakat Muslim khususnya di wilayah Canton, Yangchou, dan Chanchou. Jadi, sebenarnya tidak mengherankan, jika kemudian banyak pendatang Muslim Tionghoa pada masa sebelum Islam di Nusantara. Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo cukup banyak menyentil sejarah ini.
Ekspedisi Laksamana Cheng Ho merupakan pelayaran Muslim Tionghoa ke Nusantara yang fenomenal. Cheng Ho adalah seorang Muslim, yang memimpin armada besar dalam beberapa kali pelayaran di Nusantara. Sunyoto menjelaskan, sewaktu tiba di Jawa pada kunjungan pertamanya tahun 1405, Cheng Ho sudah menemukan adanya komunitas Muslim Tionghoa di Tuban, Gresik, dan Surabaya. Jumlah mereka di kawasan itu masing-masing sekitar seribu keluarga.
Pada 1407, Cheng Ho berlabuh di Palembang. Di sini, selain untuk menumpas para perompak Hokkian, ia juga membentuk masyarakat Muslim Tionghoa.
Pada 1433, kunjungan Cheng Ho yang ketujuh, Ma Huan yang ikut dalam pelayaran ini mencatat kalau di pantai utara Jawa ada tiga golongan masyarakat. Yaitu, Muslim Cina, Muslim Persia-Arab, dan pribumi yang belum Islam.
Dari sini, kita dapat mengetahui kalau kedatangan Muslim Tionghoa sudah terjadi jauh sebelum ekspedisi Cheng Ho pada permulaan abad 15 M. Bahkan dalam cacatan Marcopolo, sebagaimana penjelasan Sunyoto, pada akhir abad 13 M sudah ada Muslim Tionghoa yang menempati kawasan Perlak, Sumatera.
Hal ini menjelaskan kalau masyarakat Tionghoa termasuk komunitas Muslim awal di Nusantara. Eksistensi mereka bahkan sudah terekam sejak sebelum era Wali Songo, atau sebelum masa penyebaran Islam secara masif di Nusantara.
Sejarah ini, sebagaimana Rizem Aizid dalam Sejarah Islam Nusantara, menjadi satu dasar dari teori Tiongkok dalam diskursus masuknya Islam di Nusantara. Bahwa, orang-orang Tionghoa termasuk koloni Muslim awal yang mengenalkan Islam di kawasan ini.
Peran Muslim Tionghoa dalam Perkembangan Islam di Nusantara
Tidak hanya sebagai koloni Muslim awal di Nusantara, Muslim Tionghoa juga memiliki peran dalam perkembangan Islam.
Dalam sejarah, kita mengenal Raden Patah sebagai pendiri sekaligus sultan pertama dari Demak Bintara, kesultanan Islam awal di Jawa. Ia adalah seorang keturunan Tionghoa. Nama Tionghoa-nya adalah Jin Bun.
Raden Patah merupakan keturunan Tionghoa dari pernikahan Prabu Brawijaya dengan seorang Putri Cina. Sunyoto menjelaskan, nama asli Putri Cina itu adalah Siu Ban Ci. Ia merupakan anak Tan Go Hwat dengan Siu Te Yo. Pasangan ini merupakan penduduk Tionghoa yang hidup di Gresik. Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, Gresik menjadi salah satu kawasan yang banyak dihuni oleh Muslim Tionghoa pada masa itu.
Peran Raden Patah dalam perkembangan Islam di Jawa sangat penting. Ia berhasil mendirikan Kesultanan Demak Bintara. Itu menjadi jalan bagi para wali tanah Jawa untuk semakin mengokohkan pondasi keislaman pada masa transisi masyarakat dari Hindu-Budha ke Islam. Selain itu, ia juga berhasil mengembangkan ajaran dan dakwah Wali Songo, seperti wayang, dalam masyarakat Jawa.
Kakek Raden Patah dari pihak ibu juga punya peran dalam perkembangan Islam. Ia bukan sekadar seorang saudagar Cina di Jawa. Tan Go Hwat juga merupakan seorang ulama. Masyarakat kala itu menyebutnya sebagai Syaikh Bantong.
Dari sosok Syaikh Bantong, kita menjadi tahu bahwa Muslim Tionghoa pada masa itu tidak hanya terlibat aktivitas perdagangan di pesisir utara Jawa. Namun, sebagian dari mereka turut serta dalam aktivitas dakwah Islam di masyarakat.
Muslim Tionghoa antara Jejak Sejarah dan Konteks Masa Kini
Dalam buku Jejak Islam di Nusantara, Endar Wismulyani menjelaskan kalau kata sunan, yang menjadi title bagi para wali penyebar Islam, berasal dari istilah Hokkian; suhu. Jika ini benar, tentu itu karena di era para wali, etnis Tionghoa termasuk koloni pembawa Islam di Nusantara. Sehingga, harmonisasi budaya Tionghoa adalah sesuatu yang lumrah bagi masyarakat Muslim Nusantara kala itu. Kita dapat melihat seni Tionghoa menghiasi banyak arsitektur masjid-masjid tua di Nusantara.
Kelampauan etnis Tionghoa beratus-ratus tahun yang lalu itu memang agak ganjil, kalau kita menggunakan ukuran masa kini. Memang tidak seperti pada abad-abad 13-15 M, saat ini etnis Tionghoa di Indonesia lebih identik dengan Khonghucu. Bahkan, ada masa di mana terjadi momen keterasingan etnis ini dari masyarakat Muslim, yang sampai memunculkan stigma negatif terhadap diksi Cina.
Dalam konteks masa kini, kalau kita bertemu orang Tionghoa, asumsi awal kita adalah ia Khonghucu, mungkin Budha, Protestan, atau Katolik, dan tidak expect kalau ia beragama Islam, kan? Padahal, dalam sejarahnya, keberadaan etnis Tionghoa di Nusantara juga berhubungan dengan penyebaran Islam di negeri ini.
Dari sejarah ini, kita jadi tahu, ada juga orang Tionghoa yang beragama Islam, bahkan keberadaan Muslim Tionghoa di Nusantara sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Kita juga jadi tahu, leluhur Nusantara mengedepankan relasi saling rukun antaretnis, yang memungkinkan orang Tionghoa hidup bersama dengan mereka. Hal ini menunjukkan kalau harmoni dalam keragaman sudah menjadi kearifan hidup masyarakat Nusantara sejak ratusan tahun lalu. []