Mubadalah.id – Di tengah maraknya proyek penulisan sejarah nasional yang kini tengah digagas negara, Marzuki Wahid, MA., Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), menegaskan pentingnya kewaspadaan terhadap kecenderungan narasi sejarah yang maskulin dan negara-sentris.
Menurutnya, pola ini bukan hanya menyingkirkan peran perempuan, terutama ulama perempuan. Tetapi juga mengingkari kontribusi spiritual, intelektual, dan politik mereka dalam membentuk wajah keislaman dan kebangsaan Indonesia.
“Sejarah yang tidak menghadirkan peran ulama perempuan adalah sejarah yang timpang secara epistemik, sekaligus tidak utuh secara moral,” tegas Marzuki Wahid saat membuka Halaqoh Nasional bertajuk “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia: Sebuah Pendekatan Dekolonial”, Ahad (6/7/2025) di Kampus Transformatif ISIF, Majasem, Kota Cirebon.
Ruang Dekolonisasi Pengetahuan
Halaqoh nasional ini digagas bukan semata untuk menghadirkan deretan pembicara ahli, melainkan juga sebagai ruang awal bagi upaya dekolonisasi pengetahuan.
Marzuki menjelaskan, dekolonisasi di sini berarti menempatkan ulama perempuan sebagai subjek sejarah bukan sekadar objek catatan yang diceritakan ulang dalam sudut pandang dominan laki-laki dan negara.
“Kita ingin melihat sejarah Islam Indonesia dari perspektif perempuan, dari tubuh-tubuh yang mengalami langsung, dari suara-suara yang selama ini dipinggirkan,” ujarnya.
Sebagai penekanan, ISIF sengaja menghadirkan Dr. Samia Kotele, peneliti asal Lyon University Prancis, untuk memandu peserta menyusuri jejak ulama perempuan Indonesia dari akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.
Samia membawa perspektif dekolonial yang menantang kerangka Barat-sentris dan patriarkis dalam studi agama dan sejarah. Ia menunjukkan bagaimana perempuan Muslim Indonesia kala itu justru aktif membangun wacana keilmuan, mendirikan institusi pendidikan, serta membuka ruang publik dengan caranya sendiri.
Tak hanya itu, diskusi juga diperkaya oleh Prof. Farish A. Noor dan Kamala Chandrakirana yang memaparkan refleksi kritis tentang sejarah pengetahuan, spiritualitas, serta perjuangan sosial yang lahir dari akar lokal dan melintasi generasi.
Sejarah Tak Hanya Soal Revisi
Selain itu, Marzuki mengungkapkan bahwa menulis ulang sejarah bukan sekadar mengoreksi kronologi atau melengkapi data. Lebih dalam, ini adalah upaya membongkar struktur pengetahuan yang timpang serta memulihkan otoritas epistemik dari mereka yang selama ini tersingkirkan.
“Ulama perempuan bukan hanya pelengkap dalam sejarah keislaman Nusantara,” katanya. “Mereka adalah aktor epistemik yang turut membentuk kerangka teologi, pendidikan, hingga gerakan sosial dari masa ke masa,” jelas Marzuki Wahid.
Ia menyebut proses ini sebagai penataan kembali peta pengetahuan yang mengangkat pengalaman lokal, spiritualitas perempuan, dan kontribusi intelektual yang selama ini tidak terakui dalam kerangka kolonial maupun patriarkis.
Komitmen ISIF: Ilmu Pengetahuan Harus Berpihak
Lebih lanjut, Marzuki menuturkan bahwa bagi ISIF, agenda halaqoh ini merupakan bagian dari komitmen epistemik dan moral kampus.
“Ilmu pengetahuan tidak boleh netral ketika ketidakadilan terjadi. Ia harus berpihak pada keadilan, pada kebenaran yang disuarakan dari pinggiran, pada ingatan yang selama ini dilupakan,” jelasnya.
Karena itu pula, ISIF menginisiasi Program Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) yang ia rancang untuk menumbuhkan nalar kritis, keadilan. Serta keberpihakan melalui riset, penyadaran, dan aktivisme yang membebaskan.
“Kami percaya bahwa setiap upaya akademik harus mengandung komitmen etis untuk menyuarakan yang tersingkir. Inilah esensi pengetahuan yang adil dan transformatif,” ujar Marzuki.
Halaqoh ini, bagi Marzuki, tak hanya berhenti sebagai ruang diskusi intelektual. Ia memandangnya sebagai bagian dari gerakan kultural dan spiritual untuk memulihkan martabat kolektif bangsa.
“Menulis ulang sejarah dengan perspektif keadilan adalah kerja akademik sekaligus kerja kultural dan spiritual. Ini adalah jalan untuk mengembalikan sejarah kepada semua pemilik sahnya. Termasuk para ulama perempuan yang selama ini jauh dari ingatan publik,” pungkasnya. []