Mubadalah.id – Melihat fenomena agama yang seakan menjadi “kendaraan” dalam melaksanakan tindakan kekerasan. Maka kita teringat dengan pernyataan Karl Marx “agama itu candu”. Karl Marx menyatakan demikian karena pada awal abad 19 kondisi agama –agama Kristen- sering menjadi kendaraan politik. Bahkan sebagai alat kekuasaan untuk melakukan penindasan dan pembohongan terhadap publik, bukan spirit perdamaian.
Meskipun demikian, pada saat itu agama begitu digandrungi tanpa alasan, walaupun efeknya secara sosial jelas tampak buruk. Maka fenomena ketidaksadaran manusia yang akibatkan oleh doktrin agama bagi Karl Marx sebagai candu. Hal ini memperlihatkan bahwa agama seperti pisau yang tajam, tergantung siapa yang memegang kendalinya.
Pada hal ini juga, Agama yang seharusnya memberikan ketenangan dan kedamaian bagi umatnya, namun justru terkadang memperlihatkan wajah bengisnya ketika tertopang kepentingan. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan Jose Casanova. Ia pernah mengatakan bahwa ambivalensi dalam penampakan agama pada ranah publik sebagai “bermuka dua”. Di satu sisi terkadang agama menampilkan wajah garang yang begitu bengis dan pada di sisi yang lain agama menampakkan wajah anggun perdamaiannya.
Agama Islam Sebagai Rahmatan Lil’alamin
Merujuk pada pandangan para tokoh di atas, pernyataannya kemudian sesuatu yang kontradiktif seperti inikah yang ada dalam agama Islam? Dalam satu kesempatan al-Qur’an menyebutkan bahwa agama Islam rahmatan lil ‘alamin, namun pada kesempatan lain al-Qur’an juga menyebutkan tentang ayat jihad atau perang.
Memang dalam al-Qur’an menyebutkan tentang konsep jihad, namun hal itu harus secara temporal dan dalam rangka untuk melawan musuh. Dalam konteks ini, perang sebagai langkah umat Islam ketika musuh memulai peperangan. Bahkan dalam melakukan peperangan al-Qur’an mengingatkan jangan sampai melampaui batas (QS. Al-Baqarah: 190).
Kalau dimungkinkan untuk berdamai maka hal itu yang harus dilakukan (QS. An-Anfal: 61). Selain itu juga, apabila kekerasan atau radikalisme sebagai langkah untuk menciptakan sebuah perdamaian, maka yang akan timbul nanti bukanlah sebuah perdamaian yang akan terwujud. Justru sebaliknya, kekerasanlah yang akan muncul. Sebab perdamaian tidak mungkin tercapai dengan cara kekerasan.
Wacana Keislaman Selalu Berkembang
Wacana teologi Islam tidak sedikit yang beranggapan bahwa menjadi sesuatu yang baku dan normatif. Namun yang perlu menjadi pemahaman bahwa teologi juga sebagai ilmu teologi Islam yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Ia bersifat non dogmatik dan merespon persoalan yang realistis dan umat Islam hadapi pada masa itu.
Berkembangnya aliran teologi seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan sebagainya merupakan bukti dari perkembangan serta dinamika teologi Islam dalam merespon persoalan umat pada saat itu.
Dalam perspektif ilmu keislaman, ajaran yang bersifat qath’i (pasti) adalah ajaran tauhid yang menyangkut enam pokok keyakinan: Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-Kitab, Rasul Allah, Hari akhir dan Qadha’ dan Qodar Allah. Persoalan prinsip inilah yang disebut sebagai aqidah Islamiyah yang bersifsat pasti dan tidak dapat dipungkiri lagi.
Di catatan sejarah perkembangan pemikiran Islam, teologi Islam (ilmu kalam) semula al-fiqh yang berarti al-fahmu (paham, memahami). Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi’i keduanya menyebut karyanya yang berkaitan dengan teologi dengan nama Al-fiqh al-Akbar, karena objek yang menjadi pembahasan dalam ilmu tersebut adalah Allah yang Akbar. Sebaliknya ketika kedua tokoh tersebut menyebut kitab fikih yang membicarakan tentang ibadah disebut sebagai al-Fiqh al-Ashghar.
Menggagas Teologi Perdamaian
Ini artinya ilmu teologi Islam bukanlah ilmu yang statis, dogmatik, tidak berkaitan dengan persoalan masyarakat. Akan tetapi justru sebaliknya bahwa teologi Islam adalah ilmu yang dinamis, progresif, serta berusaha menjawab persoalan–persoalan yang kaum muslimin saat itu hadapi. Karenanya membicarakan teologi Islam dalam konteks kedamaian bukanlah sesuatu yang tabu dan mengada ada.
Dalam hal ini, wilayah pembahasan teologi Islam, dapat terkelompokkan menjadi dua bagian.
Pertama, teologi Islam klasik teoritik, kajian hanya membahas secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya.
Kedua, teologi Islam kontemporer praktik. Disiplin ilmu ini, secara praktik membahas ayat-ayat Tuhan dan sunnah-sunnah Rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial. Dari teologi kontemporer ini muncullah teologi lingkungan, teologi pembebasan dan teologi sosial.
Teologi ini dalam rangka untuk memberikan sebuah spirit bahwa agama Islam itu menghendaki adanya sebuah perdamaian. Secara normatif banyak sekali dalil-dalil dalam al-Qur’an dan Hadits yang menjadi landasan normatif.
Selain itu, Nabi berjuang menciptakan keamanan dan kedamaian bagi seluruh penduduk Madinah tanpa melihat perbedaan suku, bangsa dan agama. Karena itulah Piagam Madinah ini menjamin hak semua kelompok sosial dengan prinsip kesetaraan dalam masalah kesejahteraan umum, sosial dan politik.
Paradigma Perdamaian Sebagai Teologi Islam
Hal ini bisa kita lihat dalam peristiwa besar ketika Nabi di Arafah pada haji wadha’ (haji perpisahan).
قَالَ: شَهْرٌ حَرَامٌ ، قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا (رواه البخاري)
Nabi bersabda: “ini adalah bulan haram (suci)”. Lalu beliau bersabda lagi: “sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampais) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR. Bukhari).
Berangkat dari landasan normatif, maka untuk membangun paradigma perdamaian sebagai Teologi Islam sudah menjadi keharusan bersama. Dengan Teologi Islam yang dapat menjadi driving force (penggerak) bagi terwujudnya perdamaian dapat terejawantahkan dengan cara mengedepankan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Misi agama bukanlah kekerasan, namun perdamaian. Ketika ada yang melakukan tindak kekerasan mengatasnamakan agama atau bahkan Allah, maka sesungguhnya bukan karena itu ia melakukan. Tidak ada salahnya kalau kita memperhatikan kaidah yang terdapat Dalam al-qawaid al-fiqhiyah, kaidah tersebut berbunyi “al-dlarar la yuzal bi al-darar” (kemudaratan tak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang lain). []