• Login
  • Register
Senin, 20 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Mencintai karena Allah dalam Perspektif Mubadalah

Semua cara pandang, perilaku, dan tindakan-tindakan kebaikan dalam relasi mubadalah, selama seseorang meyakininya sebagai ajaran Allah Swt, dan melakukannya karena Allah, maka ia sedang beribadah kepada Allah Swt

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
21/02/2023
in Hikmah, Rekomendasi
0
Mencintai Karena Allah

Mencintai Karena Allah

721
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Cinta karena Allah Swt termasuk amalan terpuji dalam Islam. Tinggi nilainya di mata Allah Swt, besar pahalanya di akhirat, dan besar dampaknya bagi relasi sosial di masyarakat. Ada banyak hadits yang menegaskan hal ini. Di antaranya adalah hadits riwayat Abu Hurairah ra, bahwa dua orang insan yang saling mencintai karena Allah Swt akan memperoleh tempat berteduh di akhirat, saat tidak ada satupun tempat teduh kecuali dari-Nya (Sahih Bukhari, no. 663 dan Sahih Muslim, no. 2427).

Hadits lain, juga riwayat Abu Hurairah ra, ada kisah tentang seseorang yang  pergi mengunjungi orang lain. Di tengah jalan, ada malaikat dalam rupa manusia yang bertanya: “Mau kemana?”. “Mau mengunjungi saudaraku”, jawabnya. “Kamu memiliki hajat kebutuhan darinya?”, tanya malaikat. “Tidak”, jawabnya. “Lalu ada mengunjunginya?”. “Aku hanya mencintainya karena Allah, jadi aku perlu mengunjunginya”. “Oh, ketauhilah, aku adalah seorang malaikat. Allah mengutusku untuk menyampaikan padamu, bahwa Dia mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena Allah Swt”, ungkap sang malaikat (Sahih Muslim, no. 6714).

Daftar Isi

    • Makna Mencintai Karena Allah Swt
  • Baca Juga:
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?
  • Ngaji Rumi: Patah Hati Dengan Dunia, Puasa Sebagai Obatnya
  • Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad
  • Pada Masa Pra-Islam, Perempuan Menjadi Manusia Paling Lemah dan Tidak Dihargai
    • Perspektif Mubadalah
    • Cara Pandang Maslahah

Makna Mencintai Karena Allah Swt

Imam al-Ghazali (w. 555 H/1111 M) dalam magnun opusnya Ihya Ulumuddin (Juz 2, hal. 250-258, Cetakan Dar al-Hadits, Cairo, 11994) menjelaskan tentang empat macam praktik mencintai. Pertama, mencintai sesuatu atau sesorang karena di dalam diri dia ada sesuatu yang secara tabiat manusia patut untuk kita cintai. Misalnya mencintainya karena baik hati, indah, cantik, ganteng, pintar, atau yang lain. Mencintai seperti ini adalah wajar, manusiawi, boleh, tetapi jika berhenti di sini saja, tidak termasuk mencintai karena Allah Swt.

Kedua, mencintai sesuatu atau seseorang, sebagai jalan pada sesuatu yang ia cintai. Misalnya seorang berilmu karena akan mengantarkannya pada ilmu yang ia cintai dan diinginkannya. Mencintai pejabat karena membuatnya bisa memperoleh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya. Ini juga manusiawi, boleh. Bahkan baik jika mengantarkannya pada hal-hal yang baik. Sebaliknya, ia juga bisa menjadi buruk, jika mengantarkannya pada hal-hal buruk. Jika hal-hal baik ini tidak kita kaitkan dengan ajaran dan hukum Allah Swt, maka cintanya juga tidak bisa masuk sebagai cinta karena Allah Swt.

Ketiga, mencintai sesuatu atau seseorang, bukan karena diri dia. Bukan juga karena sesuatu yang ada pada dirinya. Tetapi lebih karena bisa mengantarkannya pada hal-hal yang Allah Swt perintahkan. Maka cinta ini masuk sebagai cinta karena Allah Swt. Seseorang yang mencintai orang berilmu, karena ilmunya dapat mengantarkannya mengenal Allah Swt, beriman kepada-Nya, dan meyakini keagungan-Nya. Kemudian mematuhi ajaran-Nya, maka cintanya pada orang berilmu tersebut adalah cinta karena Allah Swt.

Baca Juga:

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

Ngaji Rumi: Patah Hati Dengan Dunia, Puasa Sebagai Obatnya

Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad

Pada Masa Pra-Islam, Perempuan Menjadi Manusia Paling Lemah dan Tidak Dihargai

Bahkan Imam al-Ghazali mencontohkan: seseorang yang menikah, dengan tujuan agar pernikahannya dapat mengantarkanya pada hal-hal baik yang diperintahkan Allah Swt, seperti agar mudah beribadah dan berbuat baik, menjauhkan dari haram dan segala keburukan. Lalu memprosesnya sebagai laku dalam pernikahannya tersebut, maka ketika ia mencintai pernikahannya tersebut, atau mencintai  pasangannya (istri atau suaminya), atau keluarganya, maka cintanya pada mereka semua adalah bagian dari cinta kepada Allah Swt.

Keempat, mencintai sesuatu atau seseorang, bukan karena diri dia. Atau karena apa yang ada pada dirinya, tetapi benar-benar semata-mata karena Allh Swt belaka, tidak ada alasan lain. Ini adalah cinta karena Allah dalam derajat yang paling tinggi. Seseorang yang mencintai orang lain, bukan karena fisiknya, hartanya, status sosialnya, ilmunya, atau yang lain. Tetapi misalnya hanya karena ia adalah makhluk Allah Swt belaka, dan mengingatkannya pada-Nya, maka ini, kata Imam al-Ghazali, adalah mencintai Allah Swt.

Perspektif Mubadalah

Mubadalah adalah relasi dua pihak dengan basis kesalingan dan kerjasama antara keduanya. Relasi ini bisa antara dua individu dalam keluarga, seperti suami-istri, orangtua-anak, atau antar suadara dalam sebuah keluarga. Bisa juga dua individu dalam ruang-ruang sosial. Seperti antar sahabat, tetatangga, teman kerja, atau organisasi. Baik antara para perempuan, para laki-laki, atau antara perempuan dan laki-laki.

Dalam perspektif mubadalah, setiap kebaikan yang kita harapkan dari relasi ini harus dilakukan dua pihak yang  berelasi tersebut dan dirasakan juga oleh keduanya. Begitupun keburukan dari atau dalam relasi tersebut, harus kita cegah dan kita hindari keduanya. Masing-masing tidak boleh menjadi pelaku keburukan maupun korban darinya.

Untuk menguatkan relasi mubadalah ini, masing-masing pihak dalam relasi tersebut harus memegang teguh tiga prinsip pondasi. Yakni cara pandang bermartabat, adil, dan maslahah. Cara pandang bermartabat artinya masing-masing harus memandang diri dan pihak lain dalam relasinya sebagai seseorang yang bermartabat dan patut untuk kita perlakukan secara baik dan mulia. Apapun posisi dan keadaan masing-masing, harus memulai dengan cara pandang yang bermartabat.

Ketika keadaan dan kapasitas keduanya berbeda, maka yang memiliki kapasitas lebih harus bertandang melindungi dan memberdayakan yang kurang. Baik secara fisik, ekonomi, sosial, maupun pengetahuan. Yang fisiknya kuat melindungi yang lemah. Yang ekonominya berlimpah mendukung yang kekurangan. Begitupun kapasitas dalam hal sosial, spiritual, dan intelektual. Inilah perilaku dari prinsip yang kedua: adil.

Cara Pandang Maslahah

Sementara maslahah artinya masing-masing harus berpikir dan berperilaku untuk kebaikan bersama, untuk diri dan pihak dalam relasinya, serta orang-orang lain. Untuk itu, relasi ini juga harus bisa membuka dan memfasilitasi potensi kedua belah pihak agar bisa maksimal dalam mewujudkan kebaikan dan juga menikmatinya.

Merujuk pada pandangan Imam al-Ghazali di atas, ketika seseorang meyakini bahwa kebaikan dalam relasi mubadalahnya dengan orang lain adalah ajaran Allah Swt, atau kebaikan itu membawanya beriman atau lebih kuat imannya kepada Allah Swt, maka ia  berada dalam ibadah kepada Allah Swt. Begitupun, ketika ia mencintai orang tersebut demi relasi mubadalah yang membuatnya melakukan atau menikmati kebaikan, yang ia yakini sebagai ajaran Allah tersebut, maka ia juga mencintai karena Allah Swt.

Semua cara pandang, perilaku, dan tindakan-tindakan kebaikan dalam relasi mubadalah, selama seseorang meyakininya sebagai ajaran Allah Swt, dan melakukannya karena Allah, maka ia sedang beribadah kepada Allah Swt. Mencintai seseorang, dalam sebuah relasi mubadalahnya, untuk memperoleh kebaikan yang Allah Swt perintahkan, atau menjauhkan keburukan yang dilarang Allah Swt, maka ia juga sesungguhnya sedang mencintai karena Allah Swt. Wallahu a’lam. []

Tags: CintaHikmahKesalinganmanusiaMencintai karena Allahperspektif mubadalah
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir, biasa disapa Kang Faqih adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun, salah satu wakil ketua Yayasan Fahmina, dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan ISIF Cirebon. Saat ini dipercaya menjadi Sekretaris ALIMAT, Gerakan keadilan keluarga Indonesia perspektif Islam.

Terkait Posts

tujuan perkawinan

Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

20 Maret 2023
Poligami

Cara Al-Qur’an Merespon Poligami

20 Maret 2023
Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Poligami Perempuan

Poligami Banyak Merugikan Kaum Perempuan

19 Maret 2023
Poligami

Poligami Bukan Tradisi yang Dilahirkan Islam

19 Maret 2023
Puasa sebagai Obat

Ngaji Rumi: Patah Hati Dengan Dunia, Puasa Sebagai Obatnya

19 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rethink Sampah

    Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Webinar Zakat Peduli Perempuan Korban Kekerasan akan Digelar Nanti Malam
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?
  • Tujuan Perkawinan Dalam Al-Qur’an
  • Meneladani Rethink Sampah Para Ibu saat Ramadan Tempo Dulu
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist